INTRO II. of amends and remorses.

✳︎
4 min readJan 22, 2023

--

ENHYPEN's Sunghoon as Salvio

tw // mentioning and depicting suicide, mentioning death, depiction of drowning, profanities

Kiranya Salvio berpikir apa sejatinya esensi dari para malaikat maut ini diberikan waktu nyaris beberapa abad lamanya hanya untuk menjadi kurir—tidak, salah, maksudnya untuk membantu Dewan Direktur (manusia mungkin menyebut beliau sebagai “Malaikat Maut”) mengantarkan roh-roh manusia yang tenggat hidupnya telah usai tersebut menuju alam baka.

Kurir malaikat maut kerap kali diambil dari golongan pendosa paling menjijikkan—yang dosanya nyaris tak akan diampuni bahkan jika lahar panas api neraka menggerogoti tulang mereka sampai habis. Semua pengabdian ini dilakukan untuk membantu meringankan timbangan dosa yang mereka punya. Namun tetap, destinasi terakhir mereka adalah neraka.

Jadi, kita tetap ditahan di dunia, dibiarkan setengah hidup tapi juga setengah mati sampai beratus-ratus tahun lamanya, mengantarkan jiwa-jiwa manusia yang tak terkira jumlahnya hanya untuk tetap dilemparkan ke kawah neraka?

Mereka pasti bercanda.

Salvio mengamati jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan, lantas bersedekap. Ia berdiri di bawah pohon rindang pada taman dekat jembatan yang lampunya tak kunjung juga dibenarkan dari beberapa bulan yang lalu. Untuk ukuran taman yang baru saja dipugar, taman ini terlampau sepi akan presensi manusia.

Tentu saja, siapa yang mau menghabiskan waktu berjalan-jalan santai di tempat bekas orang bunuh diri?

Salvio mengamati lamat pemuda paruh baya yang ada jauh di depannya— yang berdiri di tepian pagar jembatan. Ia melirik jam tangannya lagi. Kurang sepuluh menit lagi. Salvio bisa melihat bagaimana pemuda itu mencengkram pagar kuat sampai buku-buku kukunya memutih. Pasti ada banyak hal yang berkelindan di kepalanya; carut-marut layaknya benang jahit yang berselilit satu sama lain. Manusia membutuhkan lebih banyak tenaga untuk membulatkan desisinya melakukan bunuh diri daripada melakukan bunuh diri itu sendiri.

Rasanya seperti tercekik — Salvio paham. Bagi manusia, ada lebih dari sekadar ketidaksanggupan untuk hidup lebih lama, tetapi juga ketidakpuasan, ketidakpantasan, keputusasaan, kelelahan.

Salvio paham.

Si lelaki berambut jelaga melirik lagi ke arah arlojinya. Kurang tujuh menit. Maka jika waktu kematian pemuda itu tepat, ia akan melompat melewati pagar jembatan dalam dua menit, jatuh dan tenggelam selama satu menit, dan menunggu sampai air-air dari sungai itu memenuhi paru-paru dan membinasakan semua kerja sistem tubuhnya selama empat menit lamanya. Tujuh menit sampai Salvio bisa mengantar arwahnya ke alam baka.

Tiba-tiba pemuda itu terisak, ia jatuh terduduk dengan satu tangan masih berpegangan erat pada pagar. Samar-samar dari kejauhan, Salvio bisa mendengar erangannya.

“Ibu … aku tidak mau melakukan ini,” tangisnya. “Ibu kalau hidup tanpa aku, bisa, kan?”

Nagi, kalau kamu hidup tanpa Kakak, bisa, kan?

Kepala Salvio mendadak berdenging, rasanya seperti sebuah mikrofon dinyalakan tepat di samping telinga. Ia memegangi kepala sebab dengingan itu membuat tubuhnya seketika linglung, seolah keseimbangan dirinya sedang diuji di tengah jungkat-jungkit. Suara barusan … kenapa datang lagi?

Nagi, hiduplah lebih baik daripada Kakak. Janji, ya?

Persetan.

Pemuda di depannya lantas bangkit kembali. Ia meregangkan jemarinya, memasok jumlah napas yang begitu banyak ke dalam paru-paru. Air matanya barangkali sudah kering, begitu juga dengan air-air mata yang ia cucurkan dari hari-hari sebelum ia memutuskan untuk datang kesini di ambang keputusasaannya.

Satu menit.

Beberapa sekon selanjutnya, kaki pemuda itu kemudian memanjat pagar, berpindah ke sisi yang berbatasan langsung dengan sungai nan gelap di bawah kakinya.

Tiga puluh detik.

Tangannya masih mencengkram pagar erat. Mungkin saja tengah mencoba mengumpulkan kepingan diri yang sedang hancur berantakan; mencari kepingan diri dimana ia merasa takut mati.

Sepuluh detik.

Mungkin kepingan-kepingan itu juga turut larut dalam air matanya yang tumpah.

Lima detik.

Lima detik selanjutnya, pemuda itu melepaskan cengkeraman dari pagar dan menjatuhkan diri ke sungai. Salvio menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. Menyaksikan saat-saat terakhir hidup manusia tidak pernah mudah untuknya. Tidak seperti Lilith atau Arson yang mungkin sudah terbiasa.

“Kau ini malaikat maut tapi masih tidak kuat melihat momen yang seperti itu?”

Salvio menoleh ke arah sumber suara, menemukan lelaki dengan surai menutupi nyaris seluruh bagian matanya. Ia memakai coat hitam panjang yang lebih formal dan lebih rapi dari miliknya. Tangannya dilipat ke belakang punggung, lantas ia mengikis jarak dari Salvio.

It takes me only a century to get used to everything. Meanwhile, it’s almost three hundread years for you. Tiga ratus tahun, Salve.”

Salvio tak menjawab apa-apa. Maniknya lalu beralih ke arloji untuk mengamati waktu kematian dari si pemuda putus asa tadi.

“Kau sudah memikirkan tawaranku yang sebelumnya?” tanya lelaki itu.

“Diam, Arson. Aku sedang bekerja.”

“Kau masih bisa mengobrol, kan?”

Salvio hanya memberikan lirikan sebelah mata.

“Aku memang bisa mengajak Lilith atau Deirdre, tapi kurasa kali ini akan lebih seru jika mengajakmu.”

“Karena aku dari Jepang?”

“Nah, itu, kau juga paham cara kerjanya.” Arson menurunkan lipatan tangannya. “Konferensi Seratus Tahun kali ini membahas beberapa peraturan tambahan menarik yang nantinya akan ikut kau diskusikan juga, Salve.”

“Aku tidak tertarik.”

Di tengah pembicaraan, arwah seseorang sekonyong-konyong muncul dari tepi jembatan. Salvio lalu mengeluarkan lonceng dan membunyikannya, mengikat perhatian arwah tersebut sampai semua maniknya berwarna putih. Pula dengan itu, bagai dihipnotis, arwah akan berangkat menuju tempat yang sudah Salvio tentukan sebelumnya.

“Semuanya saja kau tidak tertarik.”

“Memang.” Salvio memasukkan kembali loncengnya, sebab ia merasa tugasnya sudah selesai. “Aku duluan.”

Salvio melangkah pergi tanpa menghiraukan Arson yang berdiri jauh di belakangnya.

“Memang kau tidak penasaran akan sesuatu?” tanya Arson, lantang. Sontak membuat Salvio berhenti melangkah tetapi tak cukup membuat Salvio menoleh.

“Kau tidak penasaran kenapa roh adikmu tak pernah terlihat melewati Jembatan Alam Baka padahal sudah tiga ratus tahun berlalu?” []

--

--