初恋 (hatsukoi).

✳︎
4 min readFeb 17, 2023

--

Haruto as Akihito
Minji as Suzu

cw // hanahaki

tw // mention of divorce, suicide thoughts, depiction of suicide attempt, car accident, blood

Read it at your own risk!

Tak peduli seberapa banyak seseorang menyaksikan perpisahan di kedua matanya, diperingatkan atau tidak, dia tidak akan pernah terbiasa.

Selagi ayah dan ibumu menyelesaikan sidang perceraian mereka, bagaimana kalau kamu pergi ke Fukuoka selama beberapa waktu untuk menenangkan diri?” ujar bibi Suzu beberapa hari lalu lewat sambungan telepon. Suzu hanya terdiam, ia tidur terlentang di atas kasur lantainya dengan satu tangan menempelkan ponsel dekat telinga. Maniknya menatap lurus ke arah langit-langit kamar yang gelap. Tak peduli bagaimana Suzu sekuat tenaga mencoba mengalihkan pikiran terhadap hal-hal lain yang tak akan membuatnya kembali mengucurkan air mata pada pukul dua dini hari, isi kepalanya tetap saja berkecamuk. Dadanya lagi-lagi dibuat sesak oleh bayangan bahwa rumah yang ia tinggali dan cintai sepenuh hati ini sedang retak dan tak utuh lagi.

“Bibi, aku hubungi lagi nanti, ya.”

Suzu, kamu mau menangis lagi?

“Sepertinya iya.”

Maka dalam sepersekian sekon, Suzu mematikan sambungan telepon secara sepihak, meletakkan ponsel di sembarang posisi, dan menutupi kedua matanya dengan satu lengan. Air matanya sudah tak bisa ia bendung lagi. Ia pikir, jika ia terus begini, bisa-bisa ia kehilangan seluruh air matanya dan tak akan menangis lagi.

Suzu terisak, tubuhnya berubah meringkuk akibat sesak luar biasa yang kini menghujam dada bertubi-tubi. Si gadis sudah sering menangis, jadi terisak tanpa menimbulkan suara bukanlah suatu hal yang sulit untuknya. Jadi ia membungkam mulut sendiri dengan telapak tangan, sementara satu tangan lagi meremat baju erat-erat selagi air di pelupuk mata tumpah ruah.

Mungkin jika sudah begini, menyetujui tawaran bibinya bukanlah ide yang buruk.

Mungkin, mungkin, jika tempat itu dan seisinya masih sama seperti apa yang ia simpan baik-baik dalam laci memori, Fukuoka dan segala sihirnya bisa menyembuhkannya kembali.

Seperti kala Akihito masih di sana.

Waktu itu Suzu berusia sembilan tahun tatkala maniknya pertama kali menangkap presensi seorang bocah laki-laki yang seenaknya memainkan selang air bibinya untuk mandi.

Mau berteman denganku, tidak? Asal kamu jangan mengadukanku ke bibimu.”

Apa, sih?

Memori yang sekelebat mengetuk kepala membuat Suzu sekonyong-konyong menarik senyum simpul. Akihito yang dulu ia kenal adalah bocah usil yang terkadang suka membuat darahnya mendidih bak sedang direbus emosi. Ketika beranjak memasuki sekolah dasar, Akihito tak terlalu usil seperti sebelumnya. Ia tak banyak bicara padanya, tak banyak menghampirinya, tak banyak berinteraksi dengannya — mungkin ia takut digoda teman-teman sekelasnya. Suzu maklumi itu. Ia juga tak banyak berbicara lagi dengan Akihito, terlebih ketika teman dekatnya mengakui kalau ia menyukai si pemuda.

Sekolah menengah pertama adalah saat dimana Suzu masih tak bisa mempercayai bahwa dia dan Akihito masuk ke sekolah dan kelas yang sama. Rasa canggung sepenuhnya menyelimuti tatkala keduanya mencoba untuk kembali berkonversasi setelah beberapa tahun lamanya.

“Suzu, kamu benar masuk kelas orkestra?”

“Iya.”

“Kamu jadi bermain piano?”

“Iya.”

“Oh, begitu,” ucap Akihito, pendek. “Selamat, ya.”

Sudah? Itu saja?

Tak ada percakapan lagi? Tak ada perpanjangan konversasi meskipun Akihito pastinya ingat benar bagaimana ia dan si pemuda pernah mengikuti les piano dan kerap bermain piano bersama?

Kendati begitu, bilik ingatannya tentang Akihito bukan hanya tentang hal-hal manis, pahit, maupun hambar. Ada satu luka tersembunyi dalam relung hatinya; dan ketika ingatan itu keluar, ia bagaikan meneteskan cuka di atas sayatan yang masih menganga.

Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Akihito nyaris meregang nyawa sendiri untuk menyelamatkannya.

Hari itu, dunia sudah terlampau melelahkan untuk Suzu. Segala macam sumpah serapah yang ia dengar ketika Ayah dan Ibu mengira putri sematawayangnya sudah jatuh terlelap tersebut kerap menghantuinya setiap malam tiba.

Mungkin tak benar-benar ada seseorang yang menghargai presensinya di sini.

Jadi usai menggelegak begitu banyak pil tidur melebihi dosis, Suzu kira kepalanya akan menjadi lebih tenang.

Mungkin orangtuanya akan berhenti bertengkar dan menangisi kepergian si gadis sebagai gantinya.

Mungkin si gadis tak perlu lagi berpura-pura terlelap.

Akihito menemukannya ketika Suzu nyaris menyerah dengan segala hal.

Ia membopong si gadis dan berencana membawanya ke suatu tempat — rumah sakit, mungkin — jika saja sebuah mobil tak secara cepat melaju ke arahnya dan menabrak mereka berdua.

Akihito nyaris sekarat, Suzu apalagi.

Itu adalah hal terakhir yang Suzu ingat mengenai Akihito — hal terakhir yang ingin ia ingat tentang Akihito.

Akihito mungkin mengalami retrograde amnesia.”

Suzu dibawa pergi, agar ketika Akihito terbangun dan mendapati dirinya di rumah sakit, ia tak akan mengingat bahwa Suzu-lah penyebab dari semua itu.

“Bibi, aku sudah di taksi. Mungkin sebentar lagi akan sampai,” ucap Suzu pada sambungan ponsel.

Beberapa menit kemudian, taksi Suzu berhenti di depan sebuah kediaman dengan pekarangan luas dan satu pohon rindang yang bertengger di dalam sana.

“Bibi! Tahu, tidak? Tadi aku — ”

“Kamu pasti Suzu keponakannya Bibi Hikari, kan?” Suzu terdiam di tempat, suara berat itu — meski terdengar serak, tetapi ia tahu benar siapa pemiliknya.

“Salam kenal, aku Akihito. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

Akihito terlihat baik-baik saja.

Amat sangat baik-baik saja.

Suzu berdiri mematung; sepenuhnya membeku di hadapan pria bertubuh jenjang dengan kaos putih dan celana jeans itu.

Akihito terlihat baik-baik saja, dan itu sudah lebih dari cukup.

“Halo? Suzu? Kamu sakit?”

Iya.

Aku pernah sakit.

Namun melihat Akihito seperti ini di hadapannya sekarang, rasanya seperti rasa sakitnya tak pernah mencoba mencongkel kewarasannya hidup-hidup; layaknya rasa sakitnya tak pernah hadir di sana meski pada nyatanya, hal itu berada sedekat nadi dengan jantungnya.

“Tidak, aku baik-baik saja.”

Suzu mendadak terbatuk, kian lama kian keras. Akihito dengan cepat meraih bahunya yang merosot jatuh, begitu juga bibinya yang dengan cepat menghampiri si gadis dan menggoncangkan tubuhnya khawatir.

Petal bunga dan darah itu kembali berjatuhan; bercucuran.

Tidak apa-apa, Suzu baik-baik saja.

Akan lebih baik jika Akihito tak pernah mengingat semua tragedi itu dan tak membalas perasaannya — tak apa jika Suzu yang bawa semua getirnya.

Sebab sebagaimana ia mengira bahwa hidupnya kini telah serupa guci retak yang tak bisa diperbaiki lagi, ia tak ingin membawa Akihito ke dalam suakanya yang hancur berantakan. []

--

--