kaleidoskop

evening.
3 min readApr 28, 2024

--

for gaon × junhan.

tags: bxb, religious and belief discussion, blashpemy? angst? internalized homophobia

disclaimer: this fic discusses religion in a personal and subjective manner. i don’t really specify which religion (or belief) it is, but if the idea discomforts you, please do not proceed.

also… this is the first time i’m writing this kind of topic so please kindly tell me how to tag this work properly ;; thank you. ㅠㅠ

this is a work of fiction. any persons involved here are written for fictional purposes only.

Rumah Tuhan selalu tampak bercahaya di mata Hyeongjun.

Walau ia hanya dapat melihat dari balik jendela kamarnya yang berukuran sepetak, pendar warna itu selalu mampu menembus debu-debu pada kacanya yang buram. Hyeongjun tidak seberapa paham dengan konsep ketuhanan; karena barangkali sosok Hyeongjun tak ada bedanya dengan partikel rona yang menelisik kisi jendela. Namun Rumah Tuhan selalu terlihat megah; begitu pula dengan segala milik-Nya di dunia.

Setiap hari rumah megah itu didatangi oleh para manusia yang melakukan berbagai ritual serta doa dan puja; kontras dengan rusun tempat tinggalnya yang penuh cela. Sesekali Hyeongjun yang penasaran datang berkunjung meskipun ia bukan pula pemeluk-Nya yang taat. Dari situ, lantas ia menemukan takdir yang kemudian ia anggap sebagai dosa terbesar dalam hidupnya; yaitu bertemu dengan sosok manusia yang cerahnya bak surya di langit luas.

Bukan lagi sebuah rahasia bahwa mereka tidak akan bisa bersama. Tetapi konyolnya justru mereka bertemu pada salah satu rumah ibadah paling besar di kota, sesekali mencuri kasih dan kecupan selayaknya para remaja yang berpacaran sembunyi-sembunyi dari orang dewasa. Namun mereka tahu Tuhan selalu melihat dan mendengar. Tinggal menghitung waktu mundur sebelum mereka dipenggal hidup-hidup karena telah melakukan dosa besar. Hanya karena mereka saling jatuh cinta.

Pemuda itu, yang semua orang ketahui bernama Kwak Jiseok; adalah sosok yang nyaris tak punya cela. Satu-satunya cacat yang Jiseok yakini nyata adanya adalah mencintai seorang anak laki-laki sederhana yang selalu menerima segala kekurangannya.

Maka pada malam itu, mereka duduk meringkuk pada salah satu taman kecil di balik bangunan megahnya. Malam itu, tak ada hentinya Jiseok menangis; diiringi suara lamat-lamat para umat yang sedang memanjatkan doa kepada Tuhan. Mereka yang tak ada hentinya memohon pengampunan dan rasa aman; dan Jiseok berharap ia dapat merapalkan hal yang sama.

“Aku sayang sama kamu,” akunya lirih, diikuti isakan pelan yang menyertainya. “Aku mau bilang bahwa menyayangi kamu seharusnya bukanlah sebuah dosa, tapi aku nggak bisa. Aku bukan Tuhan.”

Hyeongjun menatap nanar pada bangunan yang selama ini selalu dikaguminya. Cahayanya berpendar lembut; kontras dengan isi kepalanya yang berkecamuk. Seberapa pantas mereka masih layak untuk singgah di tempat suci ini?

Hyeongjun meremas genggaman tangan yang sedari tadi lembab karena keringat.

“Kamu nggak perlu menjadi Tuhan. Aku selalu percaya pada apa pun yang kamu bilang.”

Hening. Para jemaat masih melafalkan doanya. Sayup-sayup terdengar dengusan tawa.

“Ini konyol …”

“Kenapa?” Tanya Hyeongjun kemudian. “Karena kita sama-sama pendosa? Kita memang bukan Tuhan, ‘kan?”

Tak ada jawaban setelahnya. Hyeongjun kembali menatap genggaman tangan itu. Andai hidup memang seberwarna lampu-lampu milik Rumah Tuhan, atau sesederhana rusun yang ia tempati, mungkin segalanya akan terasa lebih mudah.

“Aku juga sayang Jiseok,” ujar Hyeongjun tiba-tiba, membuat yang dipanggil menoleh. Ini pertama kalinya Hyeongjun membiarkan kata-kata itu keluar secara langsung dari mulutnya.

Ia membalas tatapan Jiseok, dan perlahan mengusap sisa air matanya yang masih berderai. “Nggak ada yang salah dari apa yang kamu bilang. Aku juga sayang. Sayang dengan salah satu makhluk Tuhan yang paling baik, nanti biar aku yang bilang ke Tuhan kalau aku bakal jagain kamu supaya kamu nggak merasa sendirian lagi.”

--

--