Bahagia itu Sebenarnya Sederhana

Luthfikal Hakim Addiputra
3 min readNov 27, 2019

--

Photo by Amos Bar-Zeev on Unsplash

“Bagaimana kamu mendefinisikan kebahagiaanmu?”

Adalah satu pertanyaan yang terlihat sepele. Pertanyaan yang sering kali dianggap sebagai pertanyaan retoris. Padahal jawaban dari pertanyaan ini akan sangat mempengaruhi bagaimana kita melihat dunia dan menghargai hidup yang kita punya.

Orang-orang terlalu terfokus dengan narasi-narasi,

“bagaimana caranya kita bisa mendapatkan kebahagiaan?”

tanpa terlebih dahulu mendefinisikan apa itu kebahagiaan. Barang seperti apa sih kebahagiaan itu sampai-sampai banyak orang yang rela mengejar-ngejarnya?

Apakah kebahagiaan itu ketika kamu punya banyak uang? Boleh saja.

Apakah kebahagiaan itu ketika kamu berhasil tembus seleksi PTN atau perusahaan? Yaa silahkan.

Atau apakah kebahagiaan itu ketika memiliki pasangan yang cantik/tampan? Yaa sah-sah saja.

Photo by Thư Anh on Unsplash

Namun, bagaimana jika saya katakan bahwa bahagia itu adalah tidak sedih? Seperti yin dan yang, bahagia adalah negasi dari kesedihan. Bahagia itu adalah ketika kita berhasil menghilangkan emosi-emosi negatif yang ada dalam diri kita. Maka bahagia adalah ketika kamu sedang tidak sedih; bukan kah begitu?

Sebenarnya bahagia kita cukup sesederhana ketika kita tidak dalam keadaan sedih atau dalam keadaan emosi negatif. Kita dapat tertidur pulas di malam hari tanpa memikirkan beban kerja esok hari bisa jadi adalah sebuah kebahagiaan. Kamu memang tidak bahagia ketika bisa bangun pagi dengan keadaan tubuh yang segar? Kamu memangnya tidak bahagia masih bisa makan cukup 3 kali sehari? Atau apakah kamu tidak bahagia ketika BABmu lancar?

Menurut filosofi stoicism, eksternalitas sesungguhnya bersifat netral. Segala kejadian-kejadian yang ada di luar tubuh kita sebenarnya netral, tidak positif maupun negatif. Emosi yang muncul ketika eksternalitas tersebut terjadi adalah buah dari opini kita masing-masing. Opini serta argumentasi di dalam kepala kita lah yang mendefinisikan bahwa apakah sesuatunya itu baik atau buruk untuk diri kita dan dari situlah emosi lahir.

Challange your thought, challange your opinion. Karena baik-buruknya sesuatu tergantung isi kepalamu.

Sering kali manusia menggantungkan kebahagiaannya pada sesuatu yang tidak bisa mereka kendalikan. Manusia tidak dapat membedakan mana hal-hal yang dapat dan tidak dapat mereka kendalikan. Dikotomi kendali menjadi penting untuk membatasi opini dan berfokus pada suatu hal yang dapat dikuasai.

Apakah bahagiamu adalah harta?

Apakah bahagiamu adalah Keluarga?

Apakah bahagiamu adalah teman?

Apakah bahagiamu adalah jabatan?

Keempat hal di atas adalah contoh hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan. Memangnya kondisi ekonomimu akan baik-baik terus? Memangnya keluarga dan teman bisa selalu ada membersamai? Memangnya jabatanmu akan selamanya? Nyatanya kan tidak. Lalu untuk apa kamu menyandarkan kebahagiaanmu pada sesuatu yang tidak pernah bisa kamu kendalikan?

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah,

“memangnya hal apa yang bisa manusia kendalikan?”.

Jawabannya sederhana,

“pikirannya”.

Photo by Waranont (Joe) on Unsplash

You have power over your mind, not outside events. Realize this and you will find strength. We are responsible for our emotion and our feeling.

Bahagia itu berasal dari pikiran, bukan kejadian. Kamu yang mendefinisikan bahagiamu. Bukan orang tuamu, bukan teman-temanmu, bukan pula nasib yang menggilirmu setiap hari. Sadari ini dan kamu akan lebih menghargai hidup yang kamu punya.

Karena, terdapat banyak hal dihidup ini yang pantas untuk disyukuri.

Namun kita sering kali luput.

--

--