FEMINISME MARXIS DAN SOSIALIS

Luthfiona
12 min readJul 27, 2023

--

Menganalisis agenda feminis liberal dan radikal tentang pembebasan perempuan, feminis Marxis dan sosialis mengklaim bahwa tidak mungkin bagi setiap orang terutama perempuan untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam masyarakat yang berdasarkan kelas, yakni masyarakat yang kekayaannya dihasilkan oleh yang tidak memiliki kekuasaan. Aliran feminis Marxis cenderung mengarah pada pemikiran Marx, Engels, dan pemikir abad ke-19 lainnya. Mereka lebih berpusat untuk mengidentifikasikan kelasisme dan bukan seksisme sebagai penyebab utama opresi terhadap perempuan. Sedangkan feminis sosialis lebih dipengaruhi oleh pemikiran Jurgen Habermas, Louis Althusser, dan pemikir abad ke-20 lainnya. Lebih dari itu, feminis sosialis menekankan bahwa penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan adalah bukan kelasisme atau seksisme, melainkan keterkaitan yang sangat rumit dari kapitalisme dan patriarki. Meskipun pada dasarnya baik feminis marxis maupun feminis sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah sesuatu hasil tindakan yang terjadi dengan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur sosial, politik, budaya, dan ekonomi dimana individu itu hidup.

Konsep Marxis atas Sifat Manusia

Apa yang membuat kita menjadi manusia adalah bahwa kita menghasilkan cara untuk dapat tetap hidup, kita menciptakan diri kita sendiri dalam proses yang disengaja atau yang dilakukan dengan sadar yang bertujuan untuk mentranformasi dan memanipulasi alam. Dalam tulisan Richard Schmitt berjudul Introduction to Marx and Engels, menyatakan bahwa “Laki-laki dan perempuan melalui produksi secara kolektif menciptakan masyarakat yang pada hakikatnya membentuk mereka yang sekarang.” Penegasan tentang kolektif merupakan cara pandang Marxis terhadap sejarah.

Doktrin Marx yang diberi istilah materialisme historis, menegaskan bahwa “Modus produksi dari kehidupan sosial mengkondisikan proses umum kehidupan politik, sosial, dan intelektual. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, melainkan eksistensi sosial yang menentukan kesadaran mereka”. Feminis Marxis percaya bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran. Untuk memahami mengapa perempuan teropresi, sementara laki-laki tidak, dalam pendekatan feminis marxis penting untuk menganalisis hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan.

Teori Ekonomi Marxis

Kapitalisme merupakan suatu sistem hubungan kekuasaan dan sebagai suatu sistem hubungan pertukaran. Marxis menggambarkan kapitalisme sebagai suatu masyarakat komoditi atau pasar yang didalamnya segala sesuatu termasuk kekuatan kerja seseorang mempunyai harga, dan semua transaksi pada hakikatnya merupakan transaksi pertukaran yang eksploitatif. Menurut Marx, nilai komoditi apapun yang dihasilkan ditentukan oleh besarnya pekerjaan itu, atau pengeluaran energi dan intelegensi manusia aktual yang dibutuhkan untuk menghasilkannnya. Marx menamai ini sebagai nilai surplus, yang merupakan nilai yang diamil majikan sebagai keuntungan. Oleh karena itu, kapitalisme adalah sistem yang eksploitatif karena majikan membayar pekerja hanya untuk membayar kekutan bekerjanya, tanpa membayar untuk pengeluaran sesungguhnya atas energi dan intelegensi manusia, yang diambil dan ditransfer menjadi komoditi yang dihasilkan mereka. Majikan mempunyai monopoli terhadap alat produksi, kerena itu pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Sebagaimana fetisisme komoditi, pekerja perlahan meyakinkan diri mereka bahwa meskipun sangat sulit bagi mereka untuk memperoleh uang, tidak ada yang salah secara inheren dalam nilai pertukaran spesifik yang telah dimasukinya untuk bertahan hidup, dalam satu dimensi kausal yakni hubungan pertukaran.

Feminis Marxis menggap bahwa feminis liberal membela hubungan kuasi-kontraktual, seperti prostitusi dan ibu pinjaman, karena mereka lebih suka pekerjaan tersebut daripada pekerjaan yang lain. Dalam pandangan feminis Marxis, jika seorang perempuan yang miskin, buta huruf dan tidak mempunyai keahlian memilih untuk menjual pelayanan seksual atau reproduksi, yang lebih mungkin adalah keputusan tersebut dipaksakan atasnya dan bukan semata-mata keputusan yang bebas.

Teori Kemasyarakatan Marxis

Feminis Marxis antusias untuk memandang perempuan sebagai suatu “kolektivitas”, pengajaran Marxis tentang kelas dan kesadaran kelas memainkan peranan yang besar dalam pemikiran feminis Marxis yang dapat dipahami dalam konsep alienasi. Menurut Marx, kita teralienasi “jika dalam hidup kita mengalami sesuatu yang tidak bermakna, atau menganggap diri kita sendiri tidak berarti, atau ketika kita tidak mampu mempertahankan rasa bermakna atau rasa penghargaan terhadap Diri kecuali dengan bantuan ilusi mengenai diri kita atau kondisi kita. Alienasi adalah pengalaman yang mengakibatkan perasaan terfregmentasi (terpecah belah).

Sebagai akibat pembagian kalas yang tidak menguntungkan menimbulkan manusia teralienasi dengan empat cara. Pertama, manusia teralienasi dari produk kerja mereka. Bukan hanya tidak mendapatkan hak dalam mengutarakan pendapat untuk menentukan komoditas yang dihasilkan, namun buah dari kerja mereka direbut dari mereka. Kedua, pekerja teralienasi dari diri mereka sendiri, karena ketika pekerjaan dialami sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, maka pekerjaan tersebut dapat mematikan. Ketiga, pekerja teralienasi dari manusia lain, karena struktur ekonomi kapitalis mendorong bahkan memaksa pekerja untuk memandang satu sama lain sebagai pesaing dalam memperoleh pekerjaan dan promosi. Keempat, pekerja teralienasi dari alam, karena jenis pekerjaan yang mereka lakukan serta kondisi kerja mereka, membuat mereka melihat alam sebagai hambatan terhadap kelangsungan hidup mereka.

Menurut Foreman, alienasi pada perempuan sangatlah mengganggu, karena perempuan mengalami dirinya bukan sebagai “Diri”, melainkan sebagai “Liyan”. Seringkali rasa diri perempuan sepenuhnya bergantung pada penghargaan keluarga dan temannya. Ketika mereka mengungkapkan perasaan “sayang atau pujian” kepadanya, ia akan merasa bahagia, namun ketika mereka tidak mengatakan “terimakasih” kepadanya, ia akan merasa sedih. Oleh karena itu, feminis Marxis ingin menciptakan dunia untuk perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh, sebagai manusia yang terintegrasi bukan terfregmentasi.

Teori Politik Marxis

Pemikiran feminis Marxis ditujukan untuk membimbing pekerja baik laki-laki maupun perempuan bersama-sama dengan usaha mereka meruntuhkan kelas, untuk kemudian memberikan sumbangan terhadap transisi kapitalis ke sosialis, dan akhirnya mencapai komunis-komunis yang utuh dan kebebasan yang penuh. Masyarakat kapitalis menurut Marx sebagaian besar bebas untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan dalam batasan sistem, namun mereka tidak dapat bayak bersuara dalam menentukan batasan-batasan itu, yang membuat mereka bertingkah laku sebagai seorang yang egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Sebaliknya, orang yang hidup dalam komunisme adalah bebas. bukan hanya untuk melakukan, namun juga untuk menjadi apa yang mereka inginkan, karena mereka mempunyai kekuatan system dari struktur yang membentuk mereka.

Friedrich Engels: The Origin of the Family, Private Property and the State (Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara)

Engels menulis The Origin of the Family, Private Property and the State (1845), yang menunjukkan bagaimana perubahan dalam kondisi material berargumentasi bahwa sebelum keluarga atau hubungan perkawinan, ada suatu keadaan primitive “hubungan seksual yang premisif”, yang dalam hubungan ini setiap perempuan adalah permainan yang adil bagi setiap laki-laki begitupun sebaliknya. Engels berargumentasi bahwa masyarakat berpasangan awal mungkin adalah masyarakat matrilineal (garis keturunan perempuan), yang didalamnya perempuan mempunyai kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Seiring berjalannya waktu ketika laki-laki mempunyai kendali atas binatang milik kelompok suku, kekuasaan relative perempuan dan laki-laki berubah menjadi lebih menguntungkan laki-laki, sejalan dengan kemampuan baru yang dipelajari laki-laki untuk menghasilkan lebih dari cukup agar memenuhi kebutuhan pangan kelompoknya.

Sejalan dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai pekerjaan dan produksi perempuan yang menurun, melainkan status perempuan dalam masyarakat juga menurun. Oleh karena alasan yang tidak dapat dijelaskan, laki-laki tiba-tiba menginginkan anak-anaknya sendiri yang memperoleh hak milik mereka. Laki-laki melakukan tekanan yang sangat besar dalam mengubah masyarakat awal matrilineal menjadi patrilineal. Menurut Engels perubahanan sistem tersebut merupakan revolusi sosial dengan kekalahan perempuan dalam sejarah umat manusia karna dihancurkannya hak ibu.

Engels percaya bahwa kendali laki-laki atas perempuan berakar dari fakta bahwa laki-laki dan bukan perempuan yang mengendalikan kepemilikan. Oleh karena itu, opresi terhadap perempuan akan berakhir hanya dengan penghancuran institusi kepemilikan pribadi. Perubahan garis keturunan menjadi patrilineal juga menciptakan transisi kearah perkawinan monogami. Menurut Engels, perkawinan monogami adalah institusi sosial yang tidak ada hubungannya dengan cinta, justru berhubunan dengan kepemilikan pribadi. Jika istri-istri ingin diemansipasikan dari laki-laki, perempuan terlebih dahulu harus menjadi mandiri dan tidak bergantung dengan laki-laki. Dengan demikian syarat pertama bagi emansipasi perempuan adalah “masuknya kembali perempuan dalam industri publik; kedua, sosialisasi pengasuhan anak dan pengurusan rumah tangga”.

Disamping itu, Engels juga menekankan bahwa perempuan proleter mengalami lebih sedikit opresi dibandingkan perempuan borjuis. Hubungan suami istri dalam keluarga borjuis adalah pengaturan bahwa suami menyetujui untuk menghidupi istrinya, asalkan istrinya berjanji untuk secara seksual setia kepadanya dan menghasilkan keturunan yang sah. Hal yang memebedakan mereka dengan pelacur biasa adalah istri tidak hanya menyewakan tubuhnya seperti pekerja yang memperoleh upah, melainkan menjualnya menjadi perbudakan sekali untuk selamanya. Tidak seperti perempuan borjuis, perempuan proletar bukanlah modus pelacuran karena secara substansial kehidupan mereka berbeda dengan kaum borjuis. Bukan saja karena ketidakadaan kepemilikan pribadi, kebanyakan perempuan proletar bekerja diluar rumah, yang memungkinkan adanya kesetaraan antara suami dan istri. Menurut Engels, kesetaraan tersebut memungkinkan adanya “cinta-seks” yang sejati.

Feminisme Marxis Kontemporer:

Keluarga dan Rumah Tangga di Bawah Patriarki

Sebelum munculnya kapitalisme industri, keluarga atau rumah tangga adalah tempat produksi. Tetapi dengan industrialisasi dan transfer industri barang-barang dari rumah tangga pribadi keranah tempat kerja public, perempuan yang sejak awal kebanyakan tidak memasuki tempat kerja public dianggap “tidak produktif”. Sebaliknya, laki-laki yang kebanyakan menghasilkan upah dalam kerja publik dinggap lebih “produktif”.

Dalam masyarakat kapitalis, pekerjaan perempuan merupakan anak tiri yang diabaikan. Sistem kapitalis akan sedapat mungkin membutuhkan perempuan untuk tetap bekerja “tanpa dibayar” didalam rumah tangganya. Bahkan ketika kapitalisme membutuhkan perempuan untuk bekerja diranah public, kapitalis akan sedapat mungkin memberikan upah yang rendah. Dengan demikian, revolusi proletar akan menjadi mudah untuk dipicu, karena hampir semua kelas pekerja marasakan akibat langsung dari eksploitasi itu.

Meskipun Marx dan Engels telah secara tepat memprediksi bahwa perempuan dan anak-anak kelas pekerja akan menjadi bagian dari pasar tenaga kerja. Namun keduanya gagal dalam menyadari bahwa sebagai korban dari kesadaran semu, kaum proletary akan bereaksi terhadap peningkatan eksploitasi dalam kapitalisme, bukan dengan melakukan revolusi melainkan akan menjadikan perempuan dan anak-anak secara perlahan-lahan meniru kehidupan gaya borjuis.

Sosialisasi Pekerjaan Rumah Tangga

Hal yang paling menggusarkan dalam masyarakat kapitalis adalah anggapan bahwa perempuan hanya sebagai “konsumen” semata, seolah-olah pekerjaan laki-laki adalah untuk menghasilkan upah. Menurut Margaret Benston, selama pekerjaan dirumah tetap menjadi problem produksi pribadi dan menjadi kewajiban perempuan, maka perempuan akan terus memikul beban ganda. Kunci bagi pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan rumah tangga. Hal tersebut penting bukan karena akan membebaskan perempuan dari pekerjaan domestik, melainkan akan memungkinkan setiap orang untuk menyadari betapa pentingnya pekerjaan tersebut secara sosial. Bagi Benston, sosialisasi pengasuhan anak dan pemeliharaan rumah tangga adalah satu-satunya faktor yang akan mengakhiri opresi terhadap perempuan.

Kampanye Upah untuk Pekerjaan Rumah Tangga

Mariarosa Della dan Selma Jemes menekankan bahwa pekerjaan domestik perempuan adalah produktif dan bukan dalam makna sehari-hari, melainkan dalam makna Marxis yang tegas sebagai sesuatu yang menciptakan “nilai surplus”. Perempuan sesungguhnya telah berada di dalamnya, dan tidak seorang pun yang menyadari kenyataan tersebut. Menurut Della dan Selma perempuan harusnya menuntut upah atas pekerjaan domestik yang selama ini telah mereka lakukan. Dalam hal ini yang seharusnya memberikan upah adalah negara (pemerintah dan majikan), bukanlah laki-laki (suami, ayah, kekasih). Hal tersebut karena capital pada akhirnya telah mengambil keuntungan dari eksploitasi terhadap perempuan. upah yang dimaksud tidak harus berbentuk uang, namun dapat berbentuk pembayaran kesejahteraan bagi peremepuan atas pekerjaan yang telah mereka lakukan dalam ranah domestik ataupun pengasuhan anak. Apabila negara tidak menghendaki untuk membayar upah ibu rumah tangga, maka mereka seharusnya melakukan pemogokan. Perlawanan seperti itulah yang sebenarnya memiliki potensi revolusioner, karena kapitalisme membutuhkan perempuan yang menghasilkan kekuatan untuk bekerja pada diri laki-laki dan anak-anak.

Kendati demikian, ada beberapa feminis Marxis yang menentang pekerjaan domestik yang dibayar, karena menurut mereka yang menetang, hal tersebut tidak mungkin dan tidak diinginkan bagi pembebasan perempuan. pertama, upah untuk pekerjaan domestik akan menyebabkan perempuan tetap terisolasi di dalam rumahnya. Kedua, ibu rumah tangga akan memberikan kontribusi kepada kapitalisme untuk mengkomodikasi segala sesuatu termasuk hubungan antara suami-istri dan ibu-anak. Ketiga, upah domestik akan memberikan sedikit sekali intensif bagi perempuan yang bekerja diluar rumah. Selain itu, menurut Nancy Holmstrom, semua perempuan teropresi namun tidak teropresi secara sama. Terdapat perbedaan yang signifikan antara opresi yang dialami perempuan kelas pekerja, kelas menengah, dan kelas atas. Perempuan kelas pekerja mengalami eksploitasi luar biasa pada pekerjaan yang memberikan upah dan dalam pekerjaan domestiknya. Mereka lebih menderita dalam menerima seksisme dibandingkan dengan perempuan kelas menengah dan kelas atas. Perempuan kelas pekerja juga sering mendapatkan kekerasan seksual di tempat kerja, sehingga secara konsisten mereka dihadapkan pada seksisme dan kapitalisme.

Comparable Worth (Nilai Setara)

Gerakan nilai setara dalam pandangan feminis Marxis merupakan suatu kesempatan bukan hanya untuk memastikan upah yang lebih baik bagi perempuan, namun juga untuk mendorong masyarakat agar mempertimbangkan ulang mengapa membayar sebagain orang dengan upah yang tinggi dan sebagian lagi dengan upah yang rendah. Mereka mendesak agar majikan mengevaluasi pekerjaan mereka yang terfokus pada “poin nilai” dalam empat komponen pekerjaan. (1) pengetahuan dan keahlian; (2) tuntutan mental dalam pengambilan keputusan; (3) pertanggungjawaban; (4) kondisi kerja yang aman. Feminis Marxis berorientasi pada nilai setara karena dua alasan, yakni karena berkaitan dengan akses kemiskinan dan berkaitan dengan akses nilai kerja. Dengan diterapkannya nilai setara maka akan banyak laki-laki yang tertarik dengan pekerjaan perempuan yang telah mereka geluti selama ini.

Kritik Feminis Sosialis terhadap Feminis Marxis

Kritik Alison Jaggar terhadap feminis Marxis, adalah sangat menghawatirkan karena feminis Marxis sangat jarang mendiskusikan isu yang berkaitan dengan seks. Seolah-olah hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam pelacuran ataupun hubungan perkawinan adalah eksploitatif dan mengalienasi dengan cara yang sama sebagaimana hubungan antara majikan dan pekerja. Pada keyataannya, melawan kapitalisme adalah juga melawan pelacuran dalam bentuk apapun termasuk perkawinan. Menurut Jaggar, penghapusan kapitalisme yang seharusnya terjadi di negara-negara sosialis belum secara substansial mengubah kehidupan perempuan sosialis. Hal tersebut karena sangat jarang dilakukan sosialisasi secara penuh tentang pekerjaan domestik dan pengasuhan anak. Perempuan di negara komunis sangat mungkin mengalami beban ganda didalam rumah maupun diluar rumah seperti yang terjadi di negara kapitalis. Sejak tahun 1990-an, Blok Timur mulai kembali pada kapitalisme, hanya Kuba dan Republik Rakyat Cina yang tetap dapat diidentifikasi sebagai negara berideologi komunis, dan pada kenyataanya hanya Langkah-langkah kecil saja yang telah dilakukan dalam sosialisasi pekerjaan domestik dan pengasuhan anak.

Feminis Sosialis Kontemporer

Feminisme sosialis pada dasarnya merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap feminis Marxis yang buta gender dan menganggap opresi terhadap perempuan jauh dibawah pentingnya opresi terhadap pekerja. Meskipun Feminis Sosialis setuju dengan feminis Marxis bahwa pembebasan perempuan tergantung pada penghancuran kapitalisme, sehingga kapitalisme tidak dapat dihancurkan kecuali patriarki juga dihancurkan.

Berperang pada Dua Garis Depan: Menyerang Binatang Kapitalis Patriarki Berkepala Dua

Julliet Mitchell

Julliet Mitchell menyatakan bahwa revolusi Marxis yang bertujuan untuk menghancurkan masyarakat kelas harus dikombinasikan dengan revolusi feminis yang tujukan untuk menghancurkan sistem seks/gender. Menurutnya, kesalahan pemikiran Marxis lama adalah melihat ketiga elemen (reproduksi, sosialisasi rumah, dan seksualitas) ini sebagai sesuatu yang dapat direduksi menjadi elemen ekonomi semata. Bahkan apabila revolusi Marxis berhasil menghancurkan keluarga sebagai unit ekonomi, revolusi tersebut belum tentu membuat perempuan menjadi setara dengan laki-laki. Hal tersebut karena cara patriarki dalam mengkonstruksi psike laki-laki dan perempuan, perempuan akan terus menjadi subordinat laki-laki, sehingga pemikiran permepuan dan laki-laki terbebaskan dari pemikiran bahwa perempuan kurang dari setaa dengan laki-laki. Mitchell menegaskan bahwa sikap terhadap perempuan tidak akan benar-benar berubah selama psikologi perempuan dan laki-laki masih didominasi oleh simbol falik. Oleh karena itu, patriarki juga kapitalisme hrus dihapuskan untuk secara sungguh-sungguh memanusiakan manusia.

Iris Young (Pembagian kerja)

Menurut Young, kelas bukanlah kategori yang yang memadai bagi analisis opresi perempuan. Ia menawarkan bahwa hanya kategori yang melek gender, seperti “pembagian kerja”, memiliki kekuatan konseptual untuk mentransformasikan teori feminis Marxis menjadi teori feminis sosialis, yang mampu membahas seluruh kondisi perempuan, yakni posisi perempuan dalam keluarga, tempat kerja, peran reproduksi dan seksual perempuan, serta peran produktif perempuan. Dibandingkan dengan analisis kelas, analisis pembagian kelas dapat menjelaskan dengan lebih baik mengapa perempuan biasanya menerima perintah, melakukan pekerjaan kasar, bekerja pada shiff yang tidak disukai, dan dibayar lebih kecil, sementara laki-laki biasanya memberikan perintah, melakukan pekerjaan yang menstimulasi, bekerja pada shiff yang disukai, dan dibayar lebih tinggi.

Kapitalisme kini, dulu dan nanti secara esensial dan fundamental adalah patriarki. Kapitalisme mempunyai kriteria khusus untuk menentukan siapa yang akan menjadi tenaga kerja primer yang akan dipekerjakan, dan siapa yang menjadi tenaga sekunder yang tidak dipekerjakan. Patriarki menurut Young, tidak seharusnya dipertimbangkan sebagai suatu sistem yang terpisah dari kapitalisme, karena kapitalisme sudah ada sebelumnya. Pada zaman sebelum prakapitalis, perkawinan adalah suatu “rekanan ekonomi”, para isteri tidak berharap untuk dihidupi oleh suaminya. Namun, ketika kedatangan kapitalisme mencairkan rekanan ekonomi antara suami dan isteri, mengirim laki-laki sebagai tenaga kerja primer, keluar menuju tempat kerja publik dan memenjarakan perempuan sebagai tenaga kerja sekunder dirumah.

Alison Jaggar

Dalam buku berjudul Feminist Politics and Human Nature karya Alison Jaggar, menjelaskan bahwa feminis sosialis mengkarakterisasi opresi terhadap perempuan dalam kerangka yang sudah direvisi dari teori Marxis mengenai alienasi. Jaggar mengklain bahwa bukan saja perempuan yang tidak memporeleh upah (tidak bekerja di sektor pabrik) yang teralienasi, namun perempuan yang mempunyai upah juga mengalami alienasi, sebagaimana laki-laki yang bekerja untuk mendapatkan upah. Jaggar mengatur pembahasannya mengenai fregmentasi dan alienasi perempuan dalam konsep seksualitas, motherhood, dan intelektualitas.

Seorang perempuan mungkin saja dapat bersikeras bahwa ia melakukan diet, berdandan, dan berpakaian untuk menyenangkan dirinya, tetapi pada hakikatnya ia membentuk dan menghias tubuhnya untuk kenikmatan laki-laki. Dengan perempuan mencukur bulu ketiaknya, melangsingkan pahanya, dan membesarkan payudaranya, mencat kuku dan memasang korset, maka tubuhnya menjadi objek bagi laki-laki dan bagi dirinya sendiri. Pada akhirnya, sebagaimana buruh selalu bersaing dengan buruh lain untuk mendapatkan “top dollar” (uang terbanyak), perempuan juga selalu dalam persaingan dengan perempuan lain untuk mendapatkan “male gaze” (pandangan laki-laki), untuk mendapatkan validasi dari laki-laki.

Dalam konsep motherhood, perempuan juga dialienasi dari produk pekerjaan reproduksinya ketika orang lain dan bukan dirinya sendiri yang memutuskan, misalnya berapa jumlah anak yang seharusnya ia kandung. Perempuan ditekan untuk hamil sebanyak mungkin selama fisiknya memungkinkan. Disamping itu, perempuan juga dicegah untuk memiliki anak sebanyak yang diinginkannya. Banyak perempuan yang dipaksa untuk melakukan aborsi ataupun sterilisasi.

Jaggar juga menjelaskan bagaimana praktik pengasuhan anak pada masa kini mengalienasi ibu dari anaknya. Dalam beberapa kasus, seorang ibu melihat anaknya sebagai produknya, sebagai sesuatu yang akan memperbaiki hidupnya. Justru seringkali sebaiknya, sang anak malah berbalik melawannya, anak yang awalnya dianggap sebagai sesuatu yang bernilai lalu kemudian dianggap murah oleh masyarakat. Kondisi motherhood juga menarik batas antara hubungan ibu dan ayah, banyak pertengkaran yang terjadi karena sang ayah yang terlalu banyak menuntut dan menetapkan atuan dalam rumah tangga. Terdapat standar yang menentukan cara menjadi seorang ibu yang seharusnya, para ibu saling bersaing satu sama lain untuk menghasilkan anak yang sempurna.

Akhirnya, perempuan juga teralienasi dari kapasitas intelektualnya. Seorang perempuan dibuat untuk merasa tidak yakin akan kemampuan dirinya, takut menyampaikan gagasan didepan publik, dan takut dianggap berpura-pura memiliki karena dianggap bukan pemilik sesungguhnya dari ilmu pengetahuan. Struktur patriarki kapitalis abad ke-20 menurut Jaggar, opresi terhadap perempuan termanifestasi dalam alienasi perempuan dari segala sesuatu dan dari setiap orang, terutama diriya sendiri.

Author: Luthfiona Fitri Ramadhani

--

--