Dua Garis Biru: Gerbang Urgensi Sex-Ed buat Indonesia

Muhammad Imaduddin
4 min readJul 12, 2019

--

Dua Garis Biru (cr: Starvision & Wahana Kreator)

Rasanya dunia pendidikan kita mudah sekali disenggol setiap saat. Setelah kebisingan masyarakat soal sistem zonasi sebulan ke belakang, pendidikan negeri ini sepertinya (dan seharusnya) bakal punya fokus baru setelah film Dua Garis Biru muncul mengentak perfilman bangsa: pentingnya edukasi seks sejak dini. Bukan menegaskan bahwa akhirnya permasalahan lain harus dipinggirkan, tapi setidaknya yang satu ini penting juga untuk ikut dibahas.

Sampai saat ini, bahasan berbau seks masih ditutup rapat oleh mayoritas orang tua Indonesia ke pada anaknya, dengan dalih akan merusak masa depannya. Berdasarkan riset yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2014, lebih dari 50 persen orang tua lebih memprioritaskan pendidikan akademik ketimbang persoalan sosial yang dihadapi anak-anak mereka, termasuk urusan reproduksi (https://tirto.id/cjB3). Padahal jika punya metode penyampaian yang pas, tentu pendidikan seks (selanjutnya disebut sex-ed) tak akan berpengaruh negatif bagi anak-anak muda.

Film Dua Garis Biru ini nampak hadir dengan tendensi untuk membuka gerbang mengenai urgensi sex-ed di Tanah Air. Meski tidak sebegitu eksplisit, namun pesan yang disampaikan sungguh efektif.

Bercerita tentang sepasang anak muda bernama Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) yang sedang diselimuti indahnya percintaan masa SMA. Saking indahnya, perasaan keduanya berlarut dan akhirnya melakukan hubungan badan. Walhasil, Dara hamil. Mulanya mereka mencoba menutupinya, namun lama-lama konflik yang mereka hadapi semakin kalut.

Eksplorasi naskah yang disusun oleh penulis sekaligus sutradara Gina S. Noer selama 9 tahun itu bisa dikatakan mencapai formulasi yang solid. Pasalnya Gina menghadirkan banyak realitas yang akan terjadi bila sepasang remaja menghadapi kehamilan dan pernikahan dini. Pertama, kondisi dua sejoli yang belum siap secara fisik maupun mental. Kedua, pertaruhan rencana-rencana mereka untuk merealisasikan mimpi. Ketiga, perubahan dinamika di keluarga kedua pihak.

Dara dan Bima yang digambarkan sebagai remaja lugu, begitu tertekan ketika itu, apalagi lekatnya predikat “anak baik-baik” di diri mereka. Keduanya jelas tak memikirkan konsekuensi ketika berhubungan intim tempo hari. Selain belum siap menjadi orang tua, rencana keduanya melanjutkan hidup selepas kelulusan SMA juga tergoyah hebat. Efek dari absennya pengetahuan mereka soal seks begitu jelas terlakon ke dalam film.

Ada satu adegan di mana Dara ditemani Bima melakukan cek janin perdana di sebuah klinik. Sang dokter (diperankan oleh Ligwina Hananto) menanyakan kepada keduanya apakah mereka diajarkan pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi. Penuh keraguan, mereka kemudian menggelengkan kepala. Lantas dengan wajah polos Bima meminta saran dari dokter, apa yang harus ia perbuat demi kesehatan sang kekasih dan bayi yang dikandung. Selanjutnya ada beberapa dialog yang memberikan pengetahuan medis dasar seputar risiko seks dan kehamilan bagi anak di bawah umur.

Adegan tersebut jadi sentilan bagi pendidikan negeri kita yang minus kurikulum sex-ed, dan pada ujungnya menghasilkan stigma bahwa urusan alat kelamin itu masih tabu dan belum pantas diajarkan kepada anak muda. Padahal kalau tidak diterapkan, masih akan banyak Dara dan Bima lain di Indonesia.

Muncul pula masalah dari sudut pandang orang tua. Ayah dan ibu dari Bima (Arswendy Bening Swara dan Cut Mini Theo) yang berekonomi pas-pasan, religius dan cukup terpandang di kampungnya, harus menelan kepahitan bahwa anaknya justru tak mengindahkan ajaran agama. Pun ayah dan ibu Dara (Dwi Sasono dan Lulu Tobing) yang hadir sebagai sepasang suami-istri yang punya karir cemerlang dan wealthy, ikut gamang sejadi-jadinya. Sehingga di antara mereka, harus ada keputusan yang diambil bersama dengan berbagai konsekuensi yang membuntuti.

Dari kekalutan ini, sedikit banyak, para orang tua yang menonton akan berpikir bagaimana jika hal ini terjadi kepada anak-anaknya. Dalam film ini, syukurlah, menurut saya, Gina menunjukkan bagaimana tindakan orang tua untuk meng-encourage sang buah hati. Another worthy value of 9 years exploration.

Maka dengan hadirnya dua sudut pandang ini (sisi remaja dan sisi orang tua), film besutan Starvision dan Wahana Kreator ini pantas dinikmati bersama. Anak mudanya belajar menghargai diri, pasangan, dan keluarga. Orang tuanya belajar memahami keadaan anaknya dan mencari jalan keluar sebaik-baiknya. Keduanya bisa belajar bagaimana menghadapi konsekuensi. Plus yang terpenting, pemerintah dan tenaga pendidik juga harus nonton biar bisa buru-buru menyusun kurikulum sex-ed yang ideal.

Di luar itu semua, akting prima dari Zara, Angga, Lulu, Cut Mini, dan Dwi Sasono mampu menguras emosi penonton secara intens. Most honorable mention, ada one long cut sekitar lebih kurang 10 menit di paruh awal film yang mampu menyeret penonton ikut ikut ke dalam cerita. Emosi saya drained out banget, karena sebegitu intensnya komunikasi para karakternya. Rasanya harus ikut tanggung jawab dalam permasalahan yang ada.

Memang shot-shot yang ditawarkan tidak seindah sinematografi yang dijadikan modal engagement oleh film-film Tanah Air jaman sekarang, tapi percayalah; cerita, akting dan kemistri pemain, selipan dialog komedik, dan lagu-lagu pengiringnya bakal menutupi shot yang biasa-biasa saja itu.

Dengar-dengar, di opening day-nya saja, film ini sudah menarik sekitar 170 ribu penonton. Jadi, karena raihan 1 juta penonton sudah di depan mata, artinya makin banyak warga Indonesia yang akan terpapar insight-insight baru tentang daruratnya sex-ed di sekolah kita, ya, meskipun masih sangat dasar. Petisi penolakan yang beredar awal tahun lalu? Duh, sangat sangat keliru dan jadi terlihat tidak relevan sama sekali. Way to go, Dua Garis Biru!

Meski sudah beredar puluhan film nasional yang membahas perihal kehidupan seksual masa remaja pada beberapa tahun silam, namun karya Gina inilah yang saya yakini efektif menjadi gerbang bagi sex-ed di Indonesia. Kini, tinggal masyarakat yang menentukan, fungsi gerbang tersebut untuk dimasuki olehnya, atau sebaliknya.

emesh…

--

--