Malam itu, Maulana baru saja selesai dengan agenda biasanya; bertapa di salah satu work cafe di Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan dari klien. Maulana lelah, berniat untuk segera menapakkan kaki di rumah dan melemparkan diri untuk bergelut dengan kasur.
Sayang, agaknya kali ini Dewi Fortuna tak izinkan dia untuk istirahat, begitu ia turun dari motor untuk membuka gerbang, suara berisik terkesan terburu dan teledor menarik perhatian. Menoleh pada rumah tetangga, Maulana temukan Dzaki yang terjatuh di depan pintu rumahnya. Maulana ingin menolong, maka ia segera berlari menghampiri, namun begitu sampai Dzaki memilih untuk mendorongnya menjauh dan segera menaiki motor.
Maulana tercengang sebelum dengan cepat mencengkram lengan Dzaki yang sudah bersiap menghidupkan motor.
“Lo kenapa anjing, Ki?”
Dzaki menepis tangan Maulana kasar. Ia menatap Maulana sekilas sebelum menghidupkan motor. “Raya.”
Satu kata, satu nama, namun sukses buat Maulana menegang. Melihat kacaunya Dzaki, Maulana bisa rasakan jantungnya berhenti berdetak barang sedetik.
“Raya ken—DZAKI!”
Belum sempat Maulana bertanya, Dzaki sudah lebih dulu membawa motornya pergi. Tarikan gasnya kencang bukan main, sanggup membelah jalanan komplek yang hening menjadi gaduh. Dzaki meninggalkan scoopy kesayangannya dan memilih Kawasaki Ninja H2 yang selama ini ia pedam di garasi—jarang terjadi jika bukan untuk touring atau memang terburu.
“Brengsek!”
Melek, Maulana sadar adiknya sedang dalam bahaya. Tanpa pikir panjang ia letakkan tasnya di halaman rumah Dzaki dan berlari ke arah motornya. Pun dalam satu tarikan gas ikut membelah jalanan menyusul Dzaki.
Butuh beberapa menit untuk Maulana bisa menemukan Dzaki—beruntung ada satu jalur yang macet dan menahan Dzaki. Maulana mencoba mendekat, namun Dzaki sudah lebih dulu lepas dari sesaknya macet.
Maulana kembali coba mengejar, ia coba imbangin kecepatan motor Dzaki dengan susah payah. Sial, tepat pada satu perempatan, sesadarnya Maulana lampu jalanan di depannya tadi masih hijau, entah kapan bergantinya, yang Maulana dapati adalah dirinya dihantam dari arah kiri, melayang beberapa detik, sebelum tubuhnya berguling tanpa arah.
Sakit. Sakitnya bukan main, tapi disela dengung kuat pada kepala dan telinga, Maulana masih bisa mendengar suara motor Dzaki yang perlahan menghilang sebelum satu ilusi ledakan menghantam kepalanya dan semuanya gelap.
“BRENGSEK!”
Dzaki datang tepat setelah Dian melempar satu tonjokan pada Ale dan menarik Raya ke belakang tubuhnya. Mendekat, Dzaki tarik Raya. Gadis itu sempat tersentak dan menepis kasar, namun begitu sadar bahwa itu Dzaki, sigap ia lemparkan diri masuk ke dalam pelukan Dzaki.
Rayanya menangis. Tubuhnya bergetar bukan main buat Dzaki mengencangkan pelukannya. Ia menatap Dian yang kini menaiki tubuh Ale dan kembali melayangkan satu hingga dua pukulan.
“Ki….”
Tangan Dzaki mengelus kepada Raya. “Iya, ini gue. Radzaki.”
Berpendar, mata Dzaki mendapati Arreya yang kini terduduk di sofa dengan mata sayu. Tampak bergumam seakan menyuruh Dian berhenti, namun mabuknya Arreya buat tubuhnya tak bertenaga.
Dzaki menarik sedikit tubuhnya untuk menatap Raya. Gadisnya begitu kacau, wajahnya memerah, isaknya cukup cepat buat Dzaki paham seberapa takutnya Raya.
“Lo diapain, Ray?” Dzaki mencoba bertanya. “Falerick ngapain? Dia apain lo sampe sekacau ini?”
Barangkali Raya belum ingin cerita, ia kembali tenggelamkan kepalanya pada dada bidang Dzaki dan mengadu di sela isak. Tempat setan, bahkan dengan keributan sebesar ini saja tampak tak ada yang peduli. Orang-orang sibuk menggoyangkan tubuh dan meneguk minuman mencari kesenangan. Dzaki menggeram, marah.
“Yan, Dian!”
Dipanggil, Dian bangkit dari Ale yang masih tersenyum di baringnya. Masih dengan wajah garang, Dian mendekati Dzaki sambil mengibaskan tangan.
“Dia ngelecehin Raya, nyuruh Raya minum juga.” Perempatan pada dahi Dzaki semakin dalam. “Waktu gue sampe dia lagi maksa Raya buat cipokan.”
Mata Dzaki langsung tertuju pada Ale yang kini mengusap darah di dahinya.
“Lo salah Ki nitipin Raya ke cowok bejat kayak sahabat yang lo bangga-banggain itu,” desis Dian sembari mengusap keringat di dahinya. Alisnya masih menukik, marah luar biasa. Pemandangan sahabatnya nyaris rusak jelas buat Dian naik pitam.
Dzaki lepas paksa Raya dari pelukannya, ia opor tubuh gadis itu pada Dian sebelum berjalan mendekati Ale.
Tidak ada yang peduli, bahkan Dian menutup mata dan memunggungi Dzaki sekaligus menutupi pandangan Raya. Tidak ingin sahabatnya itu melihat gilanya Dzaki yang kini gila-gilaan menghabisi Ale. Persetan soal persahabatan, Dzaki jelas najis berteman dengan perusak.
Tidak ingin mengganggu, Dian segera membawa Raya keluar. Jauh lebih baik menenangkan Raya di parkiran.
“Kita tunggu Dzaki di sini,” ujar Dian sembari mendudukkan Raya di kursi besi.
Raya hanya nurut, mencoba meredakan tangis sembari memeluk diri.
“Hp gue, Yan?” tanya Raya di sela isaknya.
Berdecak kecil, Dian ingat tas Raya masih berada di sofa Ale. “Gue suruh Dzaki bawain.”
Butuh sekitar sepuluh menit untuk Dzaki datang. Wajahnya tak babak belur, tapi keringatnya banjir bukan main. Sama halnya dengan Dian, Dzaki ayunkan tangan bekas tonjokannya yang terasa kebas selagi satu tangan menyodorkan tas Raya.
“Gi—”
“Gak usah dibahas.” Dzaki langsung memotong Dian.
Muak. Jelas. Persetan dengan alasan mabuk atau apapun, Dzaki jelas tidak terima dengan tingkah Ale. Persetan juga dengan Ale yang kini terbaring bonyok di lantai club—walau Dzaki tetap mengharapkan terima kasih sebab masih sedikit peduli dengan menghubungi Hito dan Yudha.
“Bang Lana nelponin gue dari tadi,” bisik Raya menarik perhatian Dzaki.
Mendekat, Dzaki melirik layar ponsel Raya. Hanya panggilan, tak ada satu pun pesan. Begitu Dzaki ingin membuka mulut, kembali muncul satu panggilan masuk dari Maulana.
“Halo?”
Hening. Baik Dzaki maupun Dian mengernyit. Tidak biasanya Raya diam saat berkomunikasi dengan Maulana.
“Bang Lana…”
Kernyitan Dzaki semakin dalam. “Kenapa, Ray?”
Raya menggeleng. Ponselnya ia remas kuat sebelum mendongak ke arah Dzaki.
“Bang Lana, Ki…”