Kampung dan Kampungan
Sejak kapan kata 'kampungan' jadi istilah negatif? Padahal banyak gaya hidup kampung justru lebih 'sustainable' dari orang kota. Konsumsi komoditas seperlunya, kemandirian, gotong royong, dan inovasi sosial lain tanpa embel-embel ‘4.0’.
Dari launching UNDP Accelerator Labs Indonesia di bulan Maret 2021 kemarin, saya jadi tahu bahwa banyak warga kampung yang giat berinovasi sosial. Nilai resiliensi dan kolektif yang ada di kampung justru jarang ditemukan di daerah perkotaan.
"Yang bisa mengubah wajah kampung adalah warga kampung sendiri. Kemandirian, gotong royong, kolaborasi adalah modal utama bangun kampung." (Bambang Irianto, Kampung Tematik)
Dengan semangat menggebu, Pak Bambang juga menyampaikan bahwa kampung tidak boleh jatuh ke apa yang dia sebut sebagai 'development disempowering’ atau pembangunan yang tidak memberdayakan. Ini dikarenakan menurut beliau, bantuan dari pemerintah untuk kampung hanyalah dukungan, bukan untuk diandalkan. Kemandirian warga kampung harus jadi prioritas.
“Membangun kampung bukan hanya soal kesejahteraan lingkungan dan tanam menanam. Membangun kampung adalah membangun jiwa warga kampung dalam pendidikan, kesejahteraan, dan lain-lain." (Bambang Irianto, Kampung Tematik)
Namun, upaya warga kampung untuk mandiri penuh perjuangan. Seperti warga desa Lebak Jabung, Mojokerto. Mereka menolak perusahaan tambang masuk desa, dan akhirnya berhasil mengelola wisata River Tube yang tidak merusak lingkungan.
Tantangan warga kampung sendiri ada banyak. Mulai dari kriminalisasi petani, korupsi bansos dan dana desa, hingga gentrifikasi. Tetapi di atas semua tantangan yang ada, desa tetap mengalami peningkatan kemiskinan yang lebih rendah dari kota menurut BPS.
Jadi, lain kali, pas dengar kata 'kampungan' sebagai bahan ledekan, mari berefleksi. Mulai dari kasus Bukit Duri, Kampung Bayam, hingga Pancoran kemarin, apa sebetulnya garis imajiner antara kota dan kampung?
