Bangga Disangka Orang Asing

Margareth Ratih Fernandez
5 min readAug 24, 2023

--

Dalam kasus “dikira orang asing” ini jelas perspektif yang dipakai adalah standar kecantikan yang menjadi semakin kompleks karena berpilin pintal dengan identitas ras dan kebangsaan.

Beberapa waktu lalu, saat berkumpul dengan beberapa anggota keluarga besar dalam untuk sebuah hajatan pernikahan, ada pembicaraan menarik yang sebenarnya bukanlah hal baru.

Tante dan ponakan saya yang baru saja tiba di Jogja menceritakan perjalanan mereka yang panjang, mampir ke beberapa kota lain dengan beragam keperluan. Katanya saat tiba di bandara Soetta, seorang petugas bandara tampak tercengang begitu tahu mereka berasal dari NTT lantaran keduanya berkulit terang. Bahkan tante saya sempat disangka WNA. Saya tidak terkejut. Mungkin sudah hampir seratus kali cerita serupa saya dengar atau simak sendiri langsung dari TKP.

Kebetulan tante saya sendiri memang berciri kulit terang rada ke-kaukasia-an. Keluarga besar dari pihak mama saya memang diketahui punya percampuran darah beberapa bangsa yang punya ciri fisik berbeda-beda. Setidaknya yang saya ketahui sejauh ini, selain darah Lamaholot sendiri dari Flores Timur, ada pula darah Portugis dan Arab (kemungkinan besar arab Yaman). Belum lagi perkawinan campur antarsuku di Nusantara yang semakin menambah semarak keragaman wujud fisik sanak saudara kami.

Yang tak kalah menarik dan juga bukan hal baru adalah, terdengar jelas nada bangga saat cerita itu diutarakan. Ujaran “orang NTT kok putih?” yang dilontarkan petugas bandara dianggap compliment oleh tante saya. Bahkan itu diceritakan berkali-kali tiap bertemu kerabat lain. Lagi-lagi saya tidak terkejut.

Saya lalu teringat pada pengalaman serupa dari seorang kawan yang ia catat di postingan Facebook-nya. FYI, dia juga orang NTT dengan kulit cukup terang dan rambut lurus. Saat sedang ada kunjungan kerja ke Jakarta dan hendak masuk ke sebuah mall, petugas security yang saat itu hendak memeriksa tas punggung teman saya, menyapanya dalam bahasa Inggris. Ya, teman saya disangka WNA. Dengan alis tebal, cambang, mata bulat besar, dan kulit terang, dia memang tampak seperti perpaduan Sunil Shetty dan Akhsay Kumar.

Dari postingan tersebut, di kuping saya terngiang-ngiang nada bicaranya yang khas saat mengobrolkan pengalaman-pengalaman seperti ini, penuh kebanggaan. Bertahun-tahun lalu dia sudah sering berbagi cerita serupa, kerap kali ia disangka orang asing oleh orang-orang di Jawa.

Setidaknya dari dua pengalaman di atas, ada dua hal yang bisa saya garisbawahi.

Pertama, gambaran orang NTT di benak orang luar NTT (atau dalam hal ini orang-orang di Jawa, tempat pengalaman ini sering terjadi) memang disempitkan pada ciri fisik kulit gelap dan berambut keriting. Jadi kalau ada yang mengaku dari NTT tapi tidak berciri fisik demikian, ia akan dianggap anomali. Padahal provinsi ini sangatlah heterogen karena dalam sejarah yang panjang, ia termasuk jalur migrasi banyak bangsa dan etnis.

Kedua, disangka bukan orang NTT, bahkan disangka WNA, rupanya menaikkan rasa percaya diri bagi yang mengalaminya. Peristiwa “salah kira” ini dirasa sebagai pujian. Setidaknya itulah yang tampak jelas dirasakan oleh tante dan teman saya.

Tentu ini bukan perspektif khas orang NTT saja yang senang jika dikira orang asing. Banyak sekali teman atau orang yang tidak saya kenal-kenal amat dari etnis berbeda di Indonesia, kerap merasa bangga dikira orang asing. Sepintas rasanya sudah biasa sekali fenomena ini terjadi. Tetapi, khusus bagi diaspora NTT macam saya yang sering mengalami tegangan identitas di perantauan, rasanya saya perlu membahasnya secara khusus. Walau di luar sana mungkin sudah ada atau banyak yang membicarakannya.

Puluhan tahun menjadi bagian dari NKRI tapi dilekatkan beragam cap negatif secara struktural, membuat orang NTT memandang dirinya dengan cara yang menyedihkan: bodoh, terbelakang, kekurangan SDA, jelek, dll. Dalam kasus “dikira orang asing” ini jelas perspektif yang dipakai adalah standar kecantikan yang menjadi semakin kompleks karena berpilin pintal dengan identitas ras dan kebangsaan.

Maka kemunculan orang NTT yang tidak stereotipikal, khususnya secara fisik, dianggap sebagai anomali, yang bikin orang luar merasa heran, tapi membuat orang NTT yang bersangkutan bangga. Bangga karena ia tidak tampak seperti anggapan pada umumnya, bahwa ia dinilai rupawan karena memenuhi standar kecantikan atau ketampanan tertentu. Apalagi sampai dikira orang asing oleh orang-orang (di Jawa) yang selama ini dianggap sebagai standar keberadaban/kecantikan di tanah air.

Tentu kita tidak asing dengan frasa “memperbaiki keturunan” yang kerap membayang-bayangi kita, orang-orang yang dianggap tidak rupawan sejak kecil. Entah kapan pertama kali saya mendengar frasa ini. Tapi di keluarga besar saya ia sudah terlalu sering dibahas baik dengan nada bercanda maupun serius. Cari pasangan yang dari suku a saja, biar keturunanmu beda. Biar rambut anakmu lurus, biar kulitnya putihan dikit, dan lain-lain.

Semakin tua, saya semakin tidak bisa tertawa tiap ada anggota keluarga besar yang menggunakan frasa ini untuk bercanda. Karena perspektif “memperbaiki” tersebut menyebabkan kerusakan yang laten tapi cukup mengerikan. Dianggap ada yang salah dengan genetik fisik tertentu jadi harus diperbaiki agar generasi mendatang bisa lebih “good looking.” Padahal genetik fisik ini toh tidak mengganggu apapun atau siapapun dalam keseharian.

Dalam tataran mikro, sebenarnya sudah cukup terlihat bagaimana perspektif usang tentang standar kecantikan itu dibongkar. Banyak orang yang baik secara halus maupun radikal, tidak mau mengkotak-kotakkan dirinya dalam standar itu, termasuk di komunitas orang NTT dengan fisik stereotipikal tersebut. Tidak lagi melihat rambut keriting atau kulit gelap sebagai sesuatu yang buruk.

Gelombang pembongkaran ini timbul bersamaan dengan semakin terbukanya akses-akses pengetahuan yang diusahakan masyarakat secara swadaya. Komunitas literasi dan seni-budaya yang semakin subur bertumbuh di kota-kota kecil sudah memberi ruang untuk tidak saja menyerap pengetahuan baru tapi juga mengasah nalar kritis untuk mempertanyakan kembali perspektif-perspektif yang sudah kadung mapan di masyarakat. Pengetahuan-pengetahuan ini pada akhirnya memberi kekuatan bagi kalangan yang kerap diremehkan, untuk mengambil ruang, menampilkan dirinya dengan lebih jujur dan tidak lagi malu pada apapun yang ada padanya, baik yang kelihatan maupun tidak.

Pelan-pelan saya pikir, sebagian orang NTT tidak perlu lagi merasa cukup “bangga” pada dirinya sebatas karena punya penampilan fisik yang tidak stereotipikal NTT. Tapi karena memang ia punya seperangkat potensi dan kemampuan yang bisa membawa dampak-dampak baik bagi siapapun di luar sana.

Namun, dalam tataran makro dan struktural, perubahan itu masih belum cukup siginifikan. Memang butuh waktu lama dan kesabaran untuk benar-benar membongkar semuanya.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengeksklusi pengalaman-pengalaman orang NTT dengan tampilan fisik “berbeda” yang justru merasa tersinggung saat disangka orang asing. Tapi lebih baik kita bahas soal itu di tulisan lain saja.

Sumber: Freepik.

--

--