Sekali Lagi, Label Eksotis Bukanlah Pujian

Margareth Ratih Fernandez
4 min readJun 11, 2024

--

Riuh perdebatan soal olok-olok berbau colorism di media sosial belakangan ini, seperti biasa membawa kita pada banyak cara pandang problematik. Sebagai candaan, jelas frasa “aura magrib” yang tengah ramai itu tidak lucu dan diskriminatif. Itu sudah jelas. Namun, pernyataan-pernyataan defensif yang menimpali ujaran itu juga tak kalah bermasalah.

Banyak yang merespon candaan “aura magrib” ini dengan pembelaan bahwa kulit gelap atau hitam itu eksotis, jadi janganlah dihina-hina. Eksotis, oleh banyak orang di Indonesia, masih secara naif dipahami sebagai sinonim kata indah, cantik, menarik. Kata yang terkesan netral dan innocent. Bahkan dalam situasi tertentu dianggap encouraging, membesarkan hati.

Saya pernah berada di situasi itu, merasa dibesarkan hatinya oleh label eksotis yang menghibur. Kulit gelap khas warga Asia Tenggara dengan rambut keriting, jelas bukan wujud manusia rupawan dalam standar masyarakat kita yang bias. Ada orang, banyak, yang menyebut paras saya ini tidak cantik, tapi eksotis. Artinya saya dieksklusi dari definisi cantik, tapi tak mengapa karena wajah saya eksotis. Ditambah embel-embel menggelikan lainnya; “selera bule.”

Lihatlah bagaimana kita seperti dipaksa untuk membesarkan hati dengan menaruh orang lain, dari ras berbeda yang pernah menjadikan bangsa kita sebagai objek jajahan dan penindasan, sebagai subjek yang memberi validasi atas keberhargaan diri kita sendiri.

Di sinilah saya pikir kita perlu selalu diingatkan bagaimana kata “eksotis” lahir dan melekat di benak kita sebagai komplimen, padahal itu adalah salah satu “pasak” kolonial yang ditanam dalam diri warga jajahan macam kita ini.

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Asia, Amerika, Afrika, dan tanah-tanah lain pada sekitar abad ke-15, membuat mereka terkejut dengan kekayaan alam dan manusia yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Iklim yang jauh berbeda, wujud manusia yang amat beragam (berkulit cokelat, hitam, kuning, kemerahan), hasil bumi yang kaya jenis dan manfaatnya, serta flora dan fauna yang tak terbayangkan ada di dunia.

Hal-hal baru yang mereka temui ini tentu dipandang aneh, tapi memancing rasa penasaran. Ke mana rasa penasaran itu berujung? Ya betul, membangun koloni dengan tujuan ekspolitasi sumber daya alam dan manusia selama berabad-abad.

Pada masa-masa inilah label eksotis itu muncul dan mulai populer. Orang-orang Eropa menggunakannya secara praktis untuk menggambarkan bagaimana mereka begitu terpukau dengan hal-hal baru di tanah-tanah yang jauh ini. Sebenarnya tidak ada kesan indah atau cantik. Makna eksotis lebih dekat ke kata ‘aneh’, atau sesuatu yang tidak pernah dilihat atau dialami sebelumnya. Dan awal mulanya banyak dipakai untuk menggambarkan rempah-rempah yang dibawa ke pasaran Eropa.

Kata eksotis dianggap representatif untuk menggambarkan keterpukauan mereka saat menghirup aroma pala dan kamper misalnya, atau rasa manis yang sungguh baru saat mereka mencicipi sawo dan durian. Kemudian lama kelamaan, kata eksotis juga dipakai untuk menggambarkan manusia-manusianya.

Mereka bingung bagaimana mendeskripsikan bentuk hidung pesek atau warna mata hitam karena itu benar-benar asing bagi mereka. Ya sudah, sebut saja eksotis biar gampang. Tidak perlu dijelaskan lebih detail karena dirasa terlalu rumit. Malas mikir dan kemudian mengeneralisasi adalah salah satu watak kolonial.

Lantaran kata eksotis lahir dan berkembang populer di era kolonialisme, maka penggunaannya tak bisa lepas dari gagasal soal apa yang “beradab” dan apa yang “terbelakang.” Label-label yang sangat khas kolonialis dan imperial. Bahwa hal-hal aneh yang asing, yang eksotis ini perlu dijinakkan, untuk bisa dipakai secara optimal demi “peradaban.”

Bangsa Eropa pun kemudian mengabarkan berbagai perpsepsi dan tafsir liar mereka yang sangat tidak setara terhadap wujud dan kondisi dunia Timur yang asing. Yang kemudian disebut Edward Said sebagai orientalism.

Struktur sosial di negara-negara jajahan bangsa Eropa, menempatkan orang-orang kulit putih ini begitu superior. Hal ini membuat apapun yang mereka pikirkan, katakan, perbuat, dipaksakan dan kemudian dianggap lumrah sebagai sesuatu yang beradab, bagus, atau malah hebat.

Jadilah bagaimana mereka menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambarkan masyarakat jajahannya dianggap sebagai kebenaran tunggal. Ketika mereka menyebut kita terbelakang dan bodoh, kita mengamininya. Ketika mereka menyebut kulit atau bentuk hidung kita eksotis, kita pun menganggapnya sebagai kata yang tepat. Hingga kata itu sedemikian melekat dan dianggap pujian. Apalagi kalau itu keluar dari mulut orang kulit putih sendiri.

Di media masa daring, saya rasa tidak sulit menemukan artikel populer yang berisi daftar pesohor perempuan di tanah air yang berkulit eksotis. Di situ kita bisa menemukan Shanty, Tara Basro, Asmara Abigail, Marion Jola, Erika Carlina, dll. Bayangkan, sudah sedemikian enggannya kita menyebut warna kulit penduduk kawasan tropis dengan kata yang sebenarnya: hitam atau cokelat, karena saking dianggap negatif dan rendahnya kata itu untuk menggambarkan paras kita.

Rasa malu, seperti yang ditulis L. Ayu Saraswati dalam buku Putih, dipakai sebagai instrumen afektif Kepatuhan, khususnya dalam memaksa seseorang menyesuaikan diri dengan norma-norma warna, ras, kebangsaan, dan gender. Maka, untuk waktu yang masih sangat lama, saya rasa produk-produk pemutih (sekarang digantai dengan kata pencerah, tapi maknanya sama) masih akan laris di Indonesia. Ya, karena rasa malu yang terbangun berabad-abad itu senantiasa dipelihara.

Dan secara naif, pembelaan dengan menggunakan label “eksotis” dinggap sebagai jalan tengah yang heroik. Gak apa-apa kalau gak cantik, yang penting eksotis. Ada banyak hal yang mungkin sulit kita ubah sebagai manusia dengan kekuasaan yang terbatas. Tapi setidaknya, peganglah kendali atas pikiran kita sendiri dengan tidak lagi menggunakan diksi-diksi problematis macam ‘eksotis’ ini.

Kalau memang ada orang berkulit gelap, entah cokelat atau hitam yang hendak kita puji parasnya, tinggal bilang cantik saja dengan cara yang sopan. Di saat yang sama, jangan berhenti untuk mempertanyakan nilai-nilai yang sudah dianggap mapan di masyarakat kita, yang sudah kita anggap lumrah sekian lama.

--

--