Sunday Morning

Mara
7 min readJan 30, 2022

--

Minggu pagi suasana rumah keluarga Haidee sudah ramai karena suara cerewet Alice yang sedari tadi meneriaki nama Vallerie dengan riang. Anak itu berlarian menghindari Bibi Nani –baby sitter-nya– yang masih berusaha untuk menyuapkan sesuap nasi dengan sayur sop jamur di atasnya. Alice berlari memutari meja makan membuat Bi Nani kelimpungan dibuatnya.

“Alice jangan lari-lari, nak.” Itu suara Cakrawala Haidee, sang papa yang baru keluar dari kamar tidur dengan pakaian rumahannya dan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.

“Papa, where is Sisi? Sisi dimana? Alice want to hug Sisi.” Gadis berusia lima tahun itu berlari menghampiri Papa dengan tergesa lalu memeluk lutut Papa karena tubuhnya jauh lebih pendek.

“Alice sarapan dulu baru boleh ketemu Sisi.”

Tiba-tiba Bunda Thalia dari arah dapur berkata nyaring sembari menata meja makan, dengan berbagai menu sarapan yang berhasil ia masak bersama Mbok Ina. Biasanya di rumah tidak pernah serepot ini, dan Bunda jarang sekali langsung pergi ke dapur hanya untuk memasak sebegitu banyaknya di pagi hari.

Tapi berhubung hari ini Vallerie pulang ke rumah dan ada Haidan yang kebetulan sedang bertamu di kediaman mereka, maka Bunda berusaha memberikan service dan sambutan yang terbaik untuk tamunya semenjak kemarin. Bahkan sesaat anak perempuan pertamanya itu sampai dengan Haidan, Bunda langsung menyambut mereka dengan segala macam makan malam yang sengaja beliau siapkan beberapa jam yang lalu.

“Tapi where is Sisi, Bunda?” Gadis kecil itu bergantian mengekori Bunda yang masih sibuk dengan kegiatan masak memasaknya.

“Sisi masih tidur sayang di kamarnya, jangan di ganggu. Ini— Alice awas dulu nak, panas ini!” Tangan Bunda dengan sigap mengangkat mangkuk besar berisi sayur sop jamur tinggi-tinggi saat tiba-tiba tubuh mungil Alice menabraknya dengan cukup keras.

“Alice, kesini nak. Duduk disini makan sama Papa, jangan ganggu Bunda!” teriak Papa dari meja makan. Gadis kecil nan lincah dengan dress biru dan rambut di kuncir kuda itu dengan sigap berlari menghampiri papanya. Karena gadis itu tahu betul apabila ia bandel dan tidak mau menurut, bisa-bisa jatah ice cream-nya akan dipotong oleh Papa dan dia tidak bisa memakan makanan favoritnya lagi.

Hari ini gue balik Jakarta kok. Iya, tapi gak bisa hari ini. Ini hari Minggu. Gue gak bisa, gue mau Senin aja kita urus lagi semuanya.”

Di sisi lain, Haidan keluar dari kamar tamu rumah keluarga Haidee dengan pakaian yang sudah rapi dan leather jacket yang ia pegang dengan tangan kirinya. Di tambah perpaduan jeans hitam juga kaos hitam favoritnya, membuat outfit simpel itu sangat cocok pada tubuhnya. Tangannya terangkat menempelkan benda kotak pipih dengan tiga kamera besar di belakangnya itu, menempel pada daun telinga kiri Haidan. Haidan sedang menerima telepon dari ketua himpunan perihal segala tetek bengek urusan organisasi yang seharusnya tidak patut dibahas pada Minggu pagi yang damai ini. Terus terang dia agak merasa kesal saat menerima telepon itu, karena Roy ‘Ketua Himpunan FTS’ itu menelpon di saat yang tidak tepat.

Pokoknya nanti gue hubungi lagi Senin.

tut!

Good morning, Sayang.”

Sesaat setelah menutup sambungan teleponnya secara sepihak dengan Roy, Haidan kembali dikejutkan dengan seruan nyaring Vallerie yang menyapanya.

Cup!

Bukan hanya satu kali Haidan dikejutkan oleh Vallerie, namun yang kedua ini dia benar-benar hampir terlonjak kaget saat Vallerie dengan tiba-tiba mencium pipi kanannya singkat. Jantung Haidan hampir mau copot. Bukan apa-apa, ia mengingat saat ini ia sedang berada di rumah keluarga Vallerie dan ia khawatir apabila salah satu anggota dari keluarga kekasihnya itu memergoki perbuatan mereka. Entah demi apapun, Haidan tidak tahu akan menaruh mukanya dimana apabila hal itu benar-benar tejadi.

Di sisi lain, ada sedikit kelegaan di dalam hati kecil Haidan. Ketika Vallerie hari ini masih bersikap sama seperti biasa, setelah obrolan mereka pada pagi buta tadi. Jujur saja, Haidan tidak dapat tidur tadi dan baru bisa memejamkan matanya saat adzan subuh berkumandang. Ia terlalu memikirkan semua perkataan Vallerie beberapa jam lalu, dan khawatir Vallerie akan merajuk karena dirinya seakan tidak peduli dengan semua keresahan yang sudah Vallerie lontarkan. Bukan Haidan tidak peduli, namun dia terlalu bingung bagaimana harus merespon Vallerie.

“Hehe, anggap aja latihan kalo kita nikah nanti. Bukan cuma pipi kamu yang aku cium tapi— aduh Haidan!” Vallerie tidak bisa melanjutkan kalimatnya ketika tangan besar Haidan menangkup wajah cantiknya, dan mendorong nya tak minat saat Vallerie mencoba menggoda Haidan, dengan memajukan wajah ke arah bibir Haidan bermaksud untuk menciumnya.

“Kita di rumah kamu sekarang.” Haidan mengatakannya dengan nada rendah, sementara Vallerie meringis dan langsung menyingkirkan tangan Haidan dari wajahnya.

“Kenapa sih sayang, kan gak ada yang lihat — ” Ucapan Vallerie terpotong saat ia mendengar suara teriakan nyaring yang memekikkan telinganya.

“SISI!!”

Itu teriakan Alice, gadis kecil itu berteriak nyaring sambil berlari menghampiri Vallerie, dan saat itu juga dengan kuat menubruk tubuh Vallerie memeluknya.

“Aduh, Alice hati-hati dong!” Alice melepaskan pelukannya dan menatap Vallerie dengan mata berbinar, sangat menggemaskan bagi Vallerie. Namun atensinya tiba-tiba teralihkan pada laki-laki jangkung di samping Vallerie. Alisnya menukik, menatap wajah Haidan dengan heran.

“Sisi, who is this handsome guy?” Dengan polos Alice menanyakan siapa gerangan laki-laki yang sedari tadi berdiri di samping kakaknya ini.

“Alice, kenalan dulu. Kakak ini namanya Kak Haidan, my friend.” Vallerie memperkenalkan Haidan pada Alice sebagai temannya, karena tidak mungkin ia terang-terangan menyebut Haidan kekasihnya pada Alice karena gadis kecil itu pasti tidak akan mengerti.

But, No. Sisi, I heard you calls these guy with Sayang, his name is Sayang?” Seketika Haidan dibuat melongo oleh celotehan Alice, si gadis kecil nan mungil itu terlalu pintar untuk hanya sekedar disebut sebagai gadis kecil berusia lima tahun. Vallerie kikuk, terdiam. Bingung bagaimana dia akan menjelaskan hal itu kepada Alice.

Ah, aku ingat. Sayang sounds like Papa when calls Bunda. Is it the same as like that?” Alice bertanya lagi, Vallerie semakin bingung harus menjawab seperti apa. “Em, Alice. Duh, gimana ya…”

“Alice!”

Akhirnya pertolongan datang, Bunda memanggil Alice dengan nyaring dan segera menghampiri mereka bertiga. “Alice tadi Bunda bilang apa? Finish your breakfast first baru ketemu Sisi, right?” bunda menegur Alice dengan lembut. Sementara Vallerie hanya cengengesan tidak jelas, terlebih saat sang Bunda memergokinya sedang berdua dengan Haidan.

“Nah, Alice finish your breakfast first, okay? Nanti kita main.” Vallerie menyetujui perkataan bunda dan turut serta menyuruh Alice untuk segera menghabiskan sarapannya.

“Kamu juga kak sarapan dulu yuk. Haidan juga diajakin sarapan sekalian.” Bunda menggandeng Alice untuk mengikutinya setelah mendapat anggukan dari Vallerie dan berjalan menuju ruang makan menyusul Papa yang sudah stay di sana sedari tadi. Vallerie menarik tangan Haidan untuk mengikuti Bunda menuju ruang makan.

“Eh Haidan, sudah bangun. Sarapan dulu, Dan.” saat Papa melihat Haidan berjalan bersama Vallerie, beliau dengan semangat menyapa Haidan dan mempersilahkan laki-laki itu untuk duduk di sampingnya. Sementara Vallerie, gadis itu berdecak kesal lalu menghampiri Papa untuk sekedar mencium pipinya sebagai sapaan selamat pagi.

Haidan yang melihatnya hanya ber-oh di dalam hati, ternyata kebiasaan Vallerie di pagi hari memang akan mencium pipi orang-orang yang ia sayangi. Maklum lah, ini kali pertama Haidan diajak menginap di rumah Vallerie dan mengenal keluarga Vallerie lebih dekat, setelah satu setengah tahun lamanya mereka menjalin hubungan. Biasanya Haidan hanya mengantarkan Vallerie sampai di depan rumahnya, dia belum pernah secara langsung berkenalan dengan keluarga kekasihnya itu, dan juga Vallerie juga sepertinya belum bisa menceritakan segala hal mengenai keluarganya kepada Haidan. Namun, ia menemukan sedikit kejanggalan kenapa Vallerie tidak melakukan itu kepada Bunda dan Alice. Laki-laki sejenak tampak memikirkan itu semua, namun sedetik kemudian ia hiraukan semua pertanyaan yang muncul di kepalanya.

“Iya om, pagi.” Haidan menyapa Papa Cakra dengan seadanya, kemudian mengambil tempat duduk di samping Papa diikuti oleh Vallerie yang juga mengambil tempat duduk di sebelahnya.

“Anaknya gak di sapa ini pap?” Vallerie melayangkan protes pada Papa, sedangkan beliau hanya terkikik geli mendengarnya.

“Ngapain sama kamu mah, Papa bosen.” Jawaban Papa Cakra di hadiahi timpukan sendok pada lengan kekarnya. Sedangkan Bunda Thalia yang melihat pertengkaran kecil itu hanya tertawa kecil sembari menyendokkan nasi ke beberapa piring kosong untuk Papa, Vallerie, dan Haidan.

“Bunda, biar aku sendiri aja.”

“Tante, gak usah repot-repot saya bisa sendiri.”

Vallerie dan Haidan dengan tak terduga menolak perlakuan Bunda secara bersamaan, dan di hadiahi oleh gelak tawa kencang Papa yang ada di sebelahnya. Haidan kikuk, ia berdehem dan langsung meraih piring kosong dari tangan Bunda.

“Kompak, jodoh ini berarti,” timpal Papa. Alice masih memperhatikan obrolan orang dewasa di hadapannya itu dengan mulut yang bergoyang sedang mengunyah makanan yang ada di dalamnya.

“Jodoh itu apa?” Tiba-tiba gadis kecil itu bersuara melontarkan pertanyaan yang sangat ia ingin ketahui maknanya.

Sst, anak kecil gak boleh nimbrung obrolan orang dewasa.” Vallerie menimpali pertanyaan Alice dengan muka jahilnya, tak lupa ia juga menjulurkan lidah untuk meledek Alice.

“SISI! Aku ini sudah besar tau!” Alice protes karena disebut anak kecil oleh Vallerie, padahal dirinya merasa dia sudah besar.

“Besar apaan? Orang kamu masih mini gitu kok, pendek. Belum tinggi kayak aku.” Vallerie semakin bersemangat untuk meledek Alice, ia dengan senang hati menimpali ucapan Alice yang ia pikir menggemaskan itu.

“Kakak, jangan usil.” Papa menegur Vallerie saat dirinya melihat Alice sudah cemberut dan mukanya ditekuk tujuh tekukan. Vallerie terkekeh geli kemudian menarik hidung Alice pelan dan berkata, “Bercanda.”

Minggu pagi mereka dipenuhi oleh gelak canda tawa. Entah karena Papa yang selalu meledek Vallerie atau karena kelakuan menggemaskan Alice yang membuat seluruh isi rumah ingin menguyel pipi tembemnya. Haidan ikut terlarut dalam cengkrama keluarga itu. Dia merasa nyaman dan hangat berada di tengah-tengah keluarga Vallerie, juga ia sangat menyukai Alice, si gadis kecil namun pintar itu. Bahkan tak butuh waktu lama Alice dapat mendekatkan dirinya dengan Haidan. Meskipun ada beberapa pertanyaan yang muncul dalam benaknya yang tidak berani ia tanyakan pada Vallerie.

Obrolan mereka di pagi hari itu mengalir seperti air dan tak ada habisnya. Tak lupa Vallerie mengatakan juga pada Papa Cakra dan Bunda Thalia bahwa dia akan kembali ikut Haidan berangkat ke Jakarta sore nanti. Alice sempat merajuk namun ia luluh karena bujukan dan usapan lembut tangan Haidan pada puncak kepalanya. Gadis kecil itu berakhir duduk di pangkuan Haidan dan meminjam ponsel Haidan untuk sekedar menonton channel youtube chocomelon kesukaannya. Awalnya Bunda melarang Alice dan menawarkan ponselnya sebagai pengganti, namun gadis kecil itu malah merajuk dan semakin mengeratkan pelukannya pada Haidan. Akhirnya Bunda juga Papa menyerah dan membiarkan Alice melakukan apapun yang ia suka.

“Temenin aku ke suatu tempat ya nanti.” Vallerie membisikkan sesuatu pada Haidan, meminta untuk menemaninya berkunjung ke suatu tempat sebelum berangkat.

“Kemana?” Haidan bertanya dengan berbisik pula.

“Ketemu bidadari,” timpal Vallerie dengan iseng.

—markablee.

--

--