Rui
4 min readNov 27, 2022

Dia Yang Tak Dianggap

Hangat namun tak hangat. Nyaman namun tak nyaman. Mungkin itu ungkapan yang Zoya rasakan saat berada di tempat yang biasa disebut rumah. Semua sudah berubah, atau mungkin memang tidak pernah berubah tapi ia hanya baru menyadarinya sekarang.

Zoya mengehela nafas berat setelah memakirkan motor nya disamping mobil sang kakak. Dengan langkah berat ia memasuki rumah tersebut. Bukan ia membenci nya, namun ada rasa sakit yang tak bisa ia bicarakan secara gamblang.

“Assalamu’alaikum” ucap Zoya

“Wa’alaikumsalam” jawab penghuni yang ada disana serasa serentak. Zoya menatap sang bunda tengah duduk di sofa, yang diapit oleh mbak dan adik laki-laki nya. “Sini Na” kata Ayda sambil menepuk-nepuk ruang kosong yang ada disebelahnya. Dia hanya mengangguk, “Gimana skripsi lo?” tanya Ayda sesaat setelah Zoya duduk disampingnya.

On process, soalnya masih awal semester 8. Masih ada kelas yang harus gue ganti” Ayda mengangguk-anggukan kepalanya mendengar jawaban Zoya.

“Bundaaaa, lapaaar” suara rengekan Abimana atau Abi menghentikan pembicaraan mereka. “Yaudah, bunda masak sebentar” kata bunda sambil mengelus kepala Abi. Semua itu tak luput dari pandangan Zoya, gadis itu hanya tersenyum tipis. Sangat tipis sehingga tidak ada yang tau jika ia tersenyum.

“Kak, kata bunda lo punya anak sekarang?” tanya Abi setelah bunda meninggalkan mereka. Zoya hanya mengangguk. “Umur berapa Na?”

“18 tahun mbak, sekolah di tempat Abi dulu” jawab Zoya.

“LAH? Neo dong..” Kata Abi terkejut. “Tunggu, berarti lo tadi kesana makanya lo masuk base sekolah gue?” tanya Abi lagi yang dibalas anggukan oleh Zoya. “Base apaan?” tanya Ayda kepada Abi.

“Isss, itu loh mbak, base sekolah kita. Masaan lo gatau?” kata Abi kesal. Dia tau jika kakaknya yang tertua ini sangat jarang memainkan social media karena ia sangat sibuk. “Ya gatau” kata Ayda enteng yang membuat Abi mendengus sebal.

“Jadi ngapain lo ke sekolah kita tadi” tanya Ayda lagi. “Sekolah lo sama Abi aja kali” Zoya terkekeh, “Ada urusan, sekalian bilang ke wali kelas Adam kalo gue wali nya sekarang” lanjut Zoya.

“Wait.. Adam anak Neo yang pinter itu kan?” Zoya hanya mengedikkan bahu mendengar pertanyaan Abi, karena dia tidak tahu menahu soal prestasi anak asuh nya itu. “Sumpah kak, Adam itu pinter banget. Dia juara satu umum. Gue tau karena kan gue kelas dua belas waktu itu pas dia jadi siswa baru” lagi dan lagi Zoya hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

Ayda yang melihat Zoya tidak banyak bicara hanya menghela nafas pelan. Dari kecil Zoya memang anak yang pendiam cenderung penyendiri. Berbeda dengan dirinya yang periang dan gampang bersosialisasi. Namun, sejak sang ayah meninggal, gadis itu semakin diam. Bahkan, seminggu setelah sang ayah di kebumikan, Zoya tidak berbicara sama sekali. Maka dari itu Ayda menyuruh Sa’ad membujuk Zoya untuk kembali berbicara.

“Ayo makan! Ayda.. Abi..” Suara bunda yang memanggil mereka untuk makan membuat mereka beranjak dari tempat duduk. Namun Zoya menghentikan langkahnya, menunggu sang bunda memanggilnya. “Ana ayo makan” Zoya terseyum, tersenyum miris karena yang memanggilnya Ayda bukan bunda. Sudut hatinya terasa nyeri.

Zoya mengambil duduk disebelah Ayda. Dia memakan makannya dengan tenang. Menghiraukan rasa nyeri dihati yang kembali menyerang. Bukan rasa iri yang ia rasa saat menatap sang adik dan kakak yang diajak bercanda dengan bunda. Tapi rasa sedih.

‘Ana pagi tadi makan nasi goreng buatan Jaka bunda’, ‘Kuliah Ana juga baik baik aja bunda’, ‘Dosen Ana ada yang ngeselin bunda’. Zoya menjawab semua pertanyaan bunda untuk Abi dan Ayda di dalam hatinya. Beruntung, rambut panjang acak-acakannya menutupi wajahnya saat ini.

“Ana, kenapa ga dimakan kerang nya?” Ana alergi seafood bunda.. jawab Zoya dalam hati. “Iya bunda, safe the best for the last hehe” kata Zoya sambil menyengir, lalu memakan kerang tersebut. Bunda cuma lupa Ana, bunda cuma lupa.. ucapnya terus dalam hati.

Setelah membersihkan meja, mereka kembali duduk diruang keluarga sedangkan Zoya tinggal untuk mencuci piring. Seusai mencuci piring, dengan cepat Zoya membuka tutup obat mencari obat alerginya, namun tidak ada. Zoya hanya menghela nafas berat, setidaknya ia masih bisa menahan rasa gatal dan sesak karena alergi nya.

Zoya berjalan pelan kearah ruang keluarga, ia melihat dari jauh bunda dan kedua saudaranya berbincang hangat tanpa dirinya. Ya.. Tanpa dirinya. Zoya pun ikut duduk bersama mereka, mendengarkan apa yang mereka bicarakan sambil memainkan handphone. Meng-update sesuatu di twitter yang langsung ditanggapi oleh teman-temannya. Benar kata orang-orang pikirnya, kita bisa menemukan rumah dimana saja.

Sudah hampir setengah jam Zoya duduk disana dan ia masih diam dengan rasa gatal dan sesak yang semakin menjadi. Notif dari grup kubu-kubu, membuat Zoya langsung berdiri. Ini kesempatannya, “Bunda, Ana pulang dulu ya. Udah sore, takut kemaleman” dusta nya halus. “Eh, sejak kapan Ana duduk disitu? Yaudah, hati-hati ya. Kirim salam sama semuanya, sama Adam juga” Dari tadi bunda, dari tadi.. kata Zoya dalam hati. “Iya bunda”

Setelah berpamitan dengan semuanya, Zoya berlari kearah Tuti dan mengendarainya cepat. Gatal dan sesak yang dirasakan Zoya mulai teralihkan oleh rasa sedih di hatinya.

Zoya berhenti di apotik, membeli obat dan air mineral. Ia kembali menjalankan motornya, setidaknya ditempat yang sepi pikirnya begitu. Setelah menemukan jalanan yang sepi, Zoya menghentikan Tuti. Dengan cepat ia langsung meminum obat tersebut tiga sekaligus. Dia tidak peduli jika overdosis, mati pun tidak masalah.

Nafas yang memburu dan gatal yang ia rasa perlahan berangsur-angsur berkurang. Begitu juga air matanya pun perlahan-lahan turun dengan deras. Zoya terduduk di pinggir jalan. Ia terisak tanpa suara.

Bunda… Ana juga anak bunda, Ana bukan pembunuh bunda.. Bukan Ana bunda, bukan Ana.. Ayah meninggal bukan karena Ana..