Mereka yang Bertahan di Tengah Wabah

A. Farid Fakih
2 min readApr 6, 2020

--

Lima belas hari lalu ketegangan tidak pernah segenting ini. Lalu lalang kendaraan masih saja berderu, dan klakson segerombol motor di lampu merah masih gemar saling sahut.

Itu adalah hari-hari di mana orang-orang belum terlalu merasakan ancaman besar yang datang: corona covid-19 yang kelak membikin segala lini kehidupan berubah drastis.

Sebagai pandemi yang begitu kuat dan menyebalkan, ia sanggup membikin Jakarta terasa seperti kampung halaman: kosong, lengang, dan sepi.

Di Surabaya wabah ini juga mulai terasa. Anak-anak kos di dekat kampus memilih pulang kampung segera--dan semisal tetap bertahan di indekos mereka harus memutar otak untuk menentukan langkah terbaik di masa-masa ke depan.

Pukulan telak juga terasa mulai merangsek ke lini usaha kecil.

Salah satu penjual soto Lamongan di kawasan Mulyosari Surabaya, pada beberapa hari lalu sempat tak menyangka saya bakal singgah di tokonya.

“Mau apa mas?,” ia bertanya seolah tak percaya. “Mau beli soto?”

Ia berujar lirih dan berkali-kali menatap mata saya dengan seksama, sebab menurutnya saya adalah pelanggan keempat di hari itu.

“Sekarang sepi sekali mas. Mana sewa toko ini mahal, Rp. 2.1 juta perbulan dan harus dibayar,” tambah ibu yang menolak menyebut namanya itu.

Dalam sehari ibu tersebut mengaku bisa menghabiskan 5kg beras. Sedang saat itu tak ada pemandangan berarti di tokonya selain keheningan yang seketika membuat raut mukanya kusut.

Kata sang ibu, penjaja kerupuk di sampingnya mengalami persoalan yang nyaris sama peliknya.

“Kemarin pak penjual kerupuk di sebelah juga ndak bisa buka mas. Dia asli Solo, pas kejadian rame-rame virus dia pulang kampung, lalu pas mau balik kesini nggak dibolehin,” kata ibu sembari menuangkan sotonya ke plastik. “Akhirnya kerupuknya dibantujualkan temannya”.

Namun begitu, toh orang-orang dengan jalan pekerjaan lain masih bertahan dengan menggelar lapaknya.

Tukang galon di depan kosan adik saya masih membuka gerai isi ulang galonnya kendati mahasiswa, target pasarnya, telah libur sejak awal Maret lalu.

Ia malah berpesan pada kami ketika kami mengisi ulang air.

“Mas jangan pulang dulu lho ya. Bahaya,” katanya dengan air muka yang ramah.

***

Ketika membincang dampak-dampak dari virus ini tentu saja kita bisa membahasnya lebih luas dan panjang.

Lalu pada derajat tertentu, kita akan sampai pada satu hal yang sulit digugat: mereka yang paling rentan, apa boleh buat, hanya punya satu pilihan: bertahan. Entah itu dengan tetap berjualan atau melakukan pergerakan lain.

Di era yang konon maju ini, kau tahu, kisah-kisah itu tak ubahnya sebuah bensin, dan kesedihan kita yang tengah membara ini seperti sedang disiraminya pelan-pelan.(*)

--

--