Pendekatan Auditor Terhadap Materialitas dan Salah-Saji Tak Terkoreksi

Masayu N Rosyidah
10 min readJan 30, 2024

--

Dalam menjalankan tugasnya, auditor sering menghadapi isu materialitas dan kesalahan yang tidak diperbaiki, terutama kesalahan yang dibiarkan tanpa koreksi oleh penyusun laporan keuangan. Dari perspektif auditor eksternal, fenomena ini dikenal sebagai “kesalahan tak terkoreksi.” Materialitas dan kesalahan tak terkoreksi memiliki hubungan yang erat. Bagaimana materialitas dan kesalahan terkoreksi berhubungan, serta bagaimana sikap auditor terhadap keduanya, merupakan fokus utama dalam tulisan ini.

Kami akan memulai dengan menyelidiki mengapa kesalahan tak terkoreksi muncul, hubungannya dengan isu materialitas, dan setelah itu, kami akan menjelajahi sikap auditor terhadap kesalahan tak terkoreksi.

Mengapa Timbul Salah-Saji Yang Tak Terkoreksi?

Kesalahan, dalam idealnya, seharusnya diperbaiki oleh akuntan yang menyusun laporan keuangan begitu ditemukan. Namun, dalam kondisi tertentu, kesalahan sering kali dibiarkan tanpa koreksi karena beberapa alasan. Salah satu alasan yang umum digunakan adalah pertimbangan “materialitas,” di mana kesalahan yang tidak diperbaiki dianggap “tidak material.”

Dari perspektif penyusun laporan keuangan, baik itu akuntan internal maupun konsultan, pertimbangan mengenai “material/tidak material” sering dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, terutama batas waktu penyerahan laporan keuangan (relevansi), selain keinginan untuk mengurangi biaya yang timbul dari proses penyusunan laporan.

Mereka yang secara kebetulan bekerja untuk sebuah perusahaan dapat membayangkan situasi berikut: Setelah berjuang untuk memenuhi batas waktu penyerahan laporan keuangan, pada tanggal 5Januari 2024, akhirnya laporan keuangan selesai disusun. Setelah laporan keuangan dikirimkan ke semua tingkatan manajemen perusahaan, si penyusun laporan kembali meneliti item-item yang tercantum dalam laporan keuangan, yang printout-nya sudah dibagikan kepada pihak manajemen, lalu menemukan beberapa kesalahan. Si penyusun laporan berpikir, “Ah, biarlah, sudah terlanjur dilaporkan, selain itu, ini juga tidak begitu signifikan.”

Dapat dikatakan bahwa konsep “materialitas” memiliki tingkat subyektivitas yang tinggi. Dalam skenario yang lebih buruk, seringkali terjadi di luar sana bahwa pertimbangan materialitas digunakan sebagai alasan untuk membenarkan pengabaian kesalahan, bahkan untuk kesalahan yang sengaja dilakukan. Kenyataannya adalah bahwa pertimbangan materialitas sering disalahgunakan, terutama oleh manajemen yang tidak disadari oleh akuntan.

Meskipun masalah ini penting bagi auditor, tetapi lebih penting lagi bagi akuntan yang menyusun laporan keuangan. Seharusnya, seorang akuntan yang menyusun laporan keuangan tidak seharusnya mengorbankan akurasi dan keandalan untuk alasan relevansi (ketepatan waktu). Para akuntan penyusun laporan keuangan diharapkan, sesuai dengan standar, mampu menggunakan pertimbangan materialitas secara profesional tanpa mengurangi keandalan dan ketepatan waktu laporan.

Mengetahui bagaimana bersikap ketika menemui kesalahan merupakan hal penting bagi seorang auditor. Memahami konsep materialitas, yang seharusnya lebih unggul daripada akuntan penyusun laporan keuangan, menjadi hal mendasar; bagaimana bisa menentukan sikap profesional saat menemui kesalahan jika tidak mengetahui batasan materialitas?

Definisi dan Batasan Materialitas

Secara umum, batasan materialitas tidak ditentukan oleh angka spesifik yang berlaku untuk semua perusahaan (seperti Rp 100,000 atau 1,000,000 atau 10,000,000), melainkan didasarkan pada persentase tertentu. Oleh karena itu, dapat diungkapkan bahwa tingkat materialitas bervariasi antara satu perusahaan dan perusahaan lainnya.

Materilitas berdasarkan persentase tetap menjadi subjek perdebatan, baik di kalangan praktisi maupun akademisi, hingga saat ini.

FASB mendefinisikan materialitas sebagai:

“Besar kelalaian atau kesalahan dalam laporan keuangan yang dapat mempengaruhi pemakai laporan atau membuat keputusan yang berbeda jika informasi yang sebenarnya diketahui.”

Meskipun para ahli dan regulator berupaya menyusun definisi materialitas yang dapat diterima secara global, hal tersebut belum menghasilkan batasan yang pasti mengenai konsep materialitas; unsur subyektivitas yang melekat pada konsep ini tetap tinggi. Sehingga, masih sulit untuk memisahkan transaksi yang dianggap tidak material dari yang material.

Sayangnya, konsep materialitas sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, termasuk keuntungan pribadi atau perusahaan, dengan menggunakan pertimbangan materialitas sebagai tameng untuk menghindari koreksi pada item yang salah.

Materialitas sebagai kriteria melibatkan aspek kuantitatif dan kualitatif, dan suatu transaksi dianggap tidak material jika kedua aspek tersebut sudah dipertimbangkan dan memang benar-benar tidak material atau tidak relevan.

Meskipun penilaian materialitas awalnya didasarkan pada uji kuantitatif (dengan persentase), situasi yang melingkupi suatu transaksi atau item dalam laporan keuangan dapat memengaruhi penilaian apakah transaksi atau item tersebut dianggap material atau tidak. Contohnya, suatu transaksi mungkin dianggap material meskipun secara kuantitatif tidak material jika mencatatnya dapat mengubah kondisi laba menjadi rugi atau mengubah rasio terhadap utang dari tidak patuh menjadi patuh, dan sebaliknya.

Faktor lain yang mempengaruhi pertimbangan materialitas adalah apakah suatu transaksi merupakan aktivitas rutin atau khusus. Sebuah transaksi mungkin dianggap tidak material jika terkait dengan operasional rutin sehari-hari, namun bisa dianggap material jika merupakan jenis transaksi khusus untuk tujuan tertentu. Contohnya, transaksi yang dapat membantu manajemen mencapai target atau bonus mungkin dianggap material meskipun secara kuantitatif tidak material.

Faktor lainnya adalah tingkat presisi estimasi yang digunakan. Misalnya, estimasi atas utang dapat lebih tepat dibandingkan dengan potensi rugi atas kewajiban penarikan suatu aset, sehingga suatu kesalahan yang dianggap material ketika terkait dengan utang mungkin dianggap tidak material ketika berkaitan dengan kewajiban penarikan aset.

Beberapa contoh transaksi memerlukan pertimbangan tidak hanya pada faktor kuantitatif, tetapi juga pada faktor-faktor kualitatif, seperti:

  1. Pembelian atau penjualan aset dengan nilai yang lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai buku aset.
  2. Proses litigasi terkait dengan upaya manajemen untuk mengubah harga dalam kontrak yang telah disetujui atau kasus yang terkait dengan tuntutan antitrust.
  3. Negosiasi aktif terkait penyelesaian utang-piutang.

Batasan Materialitas Menutur SEC-nya AS

Badan pengawas pasar modal AS — Securities and Exchange Commission (SEC) — memberi panduan mengenai batasan materialitas, bagi perusahaan publik di AS sana, sebagai berikut:

  • 1% dari total aset untuk piutang ke manajemen dan pemegang saham
  • 5% dari total aset untuk item neraca yang menggunakan disklosur terpisah; dan
  • 10% dari total pendapatan untuk perusahaan pengolah bahan bakar minyak dan gas

Di Indonesia, khususnya untuk perusahaan yang memiliki status publik, BAPPEPAM telah mengeluarkan regulasi khusus mengenai uji materialitas yang harus dijalani oleh perusahaan berstatus publik, terutama sesuai dengan Peraturan IX.E.2.

Berdasarkan peraturan tersebut, perusahaan publik di Indonesia disarankan untuk melalui 2 tahap uji materialitas, yaitu:

Tahap-1. Uji Jenis Transaksi — Perusahaan diminta untuk memperhatikan berbagai jenis transaksi berikut:

  1. Pembelian saham (termasuk dalam konteks pengambilalihan).
  2. Penjualan saham.
  3. Partisipasi dalam badan usaha, proyek, dan/atau kegiatan usaha tertentu.
  4. Pembelian, penjualan, pengalihan, pertukaran segmen usaha, atau aset selain saham.
  5. Perjanjian sewa menyewa aset.
  6. Pinjam meminjam dana.
  7. Memberikan jaminan atas aset.
  8. Memberikan jaminan perusahaan.

Jika permasalahan materialitas muncul pada salah satu transaksi di atas, perusahaan diminta untuk melaksanakan pengujian batas nilai materialitas pada tahap-2 berikutnya.

Tahap-2. Pengujian Terhadap Batasan Nilai Material — Perusahaan diinstruksikan untuk memeriksa nilai total transaksi (baik yang terjadi sekali maupun yang dilakukan dalam serangkaian kegiatan untuk tujuan atau kegiatan tertentu) relatif terhadap ekuitas Perusahaan. Nilai ekuitas yang digunakan sebagai pembanding adalah nilai ekuitas yang terdapat pada laporan keuangan terbaru:

  • Laporan keuangan tahunan yang diaudit;
  • Laporan keuangan pertengahan tahun yang mencakup laporan Akuntan dalam konteks pemeriksaan terbatas minimal untuk akun ekuitas; atau
  • Laporan keuangan interim yang telah diaudit, kecuali laporan keuangan interim pertengahan tahunan, jika Perusahaan memiliki laporan keuangan interim.

Apabila setelah perbandingan tersebut dilakukan ternyata ditemukan bahwa total nilai transaksi mencapai 20% dari ekuitas perusahaan atau lebih maka transaksi perusahaan merupakan transaksi material.

Kepentingan Auditor Terhadap Materialitas Dan Salah-saji

Auditor memiliki kepentingan yang jelas terhadap isu materialitas. Standar Audit (SA) bagian 312, “Risiko dan Materialitas Audit Dalam Pelaksanaan Audit,” menetapkan bahwa auditor harus menentukan materialitas dalam dua aktivitas utama dalam proses audit, yaitu:

  1. Perencanaan audit dan perancangan prosedur audit; dan
  2. Evaluasi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.

Dalam perencanaan audit, auditor melakukan pertimbangan awal terhadap materialitas dalam dua tingkatan, yakni:

  1. Tingkatan Laporan Keuangan — Pada tingkat ini, materialitas dihitung sebagai “keseluruhan kesalahan minimum” yang dianggap signifikan atau material pada salah satu laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena laporan keuangan saling terkait dan prosedur audit dapat berhubungan dengan lebih dari satu laporan keuangan.
  2. Tingkatan Saldo Akun — Pada tingkat ini, materialitas merupakan “kesalahan terkecil” yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dianggap material. Auditor, secara ideal, perlu mempertimbangkan materialitas pada tingkat laporan keuangan (seperti dijelaskan di bawah) — namun demikian, kesalahan yang tidak material secara individual dapat menjadi material ketika digabungkan dengan saldo akun lain.

Pertimbangan materialitas selama perencanaan audit dapat berbeda dengan pertimbangan materialitas selama evaluasi laporan keuangan karena beberapa alasan, termasuk:

  1. Perubahan dalam keadaan yang melibatkan audit; atau
  2. Penambahan informasi selama proses audit; atau
  3. Keduanya.

Siapa Yang Bertanggungjawab Atas Materialitas dan Salah-saji?

Masyarakat umum, terutama pemegang saham perusahaan, seringkali salah memahami aspek ini, menganggap auditor eksternal sebagai pihak yang bertanggung jawab atas materialitas dan kesalahan dalam laporan keuangan. Pemahaman tersebut bisa dimaklumi, mengingat latar belakang dan profesi mereka yang bervariasi, juga karena merekalah yang membayar jasa auditor (meskipun dana berasal dari perusahaan).

Namun, akuntan, khususnya auditor, menyadari sepenuhnya bahwa isi laporan keuangan, termasuk masalah materialitas dan kesalahan, adalah tanggung jawab manajemen perusahaan. Hal ini tergambar dalam “Management Representation Letter,” yang dengan tegas menyatakan hal tersebut.

Auditor memiliki kepentingan untuk mengumpulkan bukti yang memadai dan akurat, tetapi hal tersebut semata-mata untuk memberikan “keyakinan yang masuk akal” (reasonable assurance) kepada pengguna laporan keuangan bahwa asersi (laporan keuangan) dari manajemen perusahaan tidak mengandung kesalahan yang signifikan.

Dengan kata lain, tugas auditor adalah menemukan kesalahan, bukan bertanggung jawab atas kesalahan yang ditemukan. Sementara isi laporan keuangan, termasuk masalah materialitas dan kesalahan yang mungkin ada di dalamnya, tetap menjadi tanggung jawab manajemen perusahaan, yang secara teknis mendelegasikan tugas tersebut kepada akuntan yang menyusun laporan keuangan (baik internal maupun eksternal).

Menurut saya, secara ideal, akuntan yang menyusun laporan keuangan harus sangat hati-hati dalam mempertimbangkan dan menilai materialitas suatu transaksi. Sebagai sikap dasar, segala transaksi sebaiknya dianggap material kecuali jika nilainya sangat kecil (mungkin tidak sampai Rp 100). Sementara itu, auditor eksternal dalam menjalankan proses audit sebaiknya bekerja secara maksimal untuk menangkap hal-hal yang dapat menyebabkan kesalahan yang signifikan (catatan: akan dibahas sikap auditor terhadap kesalahan yang tidak diperbaiki).

Saya yakin bahwa tidak ada akuntan penyusun laporan keuangan, baik eksternal maupun internal, yang dengan sengaja menyalahgunakan kelemahan akuntansi, termasuk subyektivitas dalam ukuran materialitas, untuk alasan apa pun. Poin ini perlu saya sampaikan dengan jelas.

Dalam banyak kasus, fraud lebih sering dimulai dari level manajemen tertinggi dan diikuti oleh tingkatan yang lebih rendah, terutama dengan cara memanipulasi bukti transaksi (membuat bukti palsu, mengubah angka, atau menghilangkan bukti transaksi). Sementara itu, akuntan hanya menginput data berdasarkan bukti transaksi yang ada.

Oleh karena itu, saya terus mengingatkan rekan-rekan akuntan internal yang menyusun laporan keuangan, untuk selalu berhati-hati. Khususnya bagi akuntan internal, sangat penting untuk melakukan verifikasi yang memadai terhadap validitas bukti transaksi dan informasi keuangan lainnya sebelum dicatat, dengan harapan dapat mendeteksi dan mencegah kemungkinan fraud hingga pada tingkat terendah.

Dengan demikian, kita telah membahas isu materialitas, yang sering menjadi sumber dari kesalahan yang tidak diperbaiki. Selanjutnya, kita akan memasuki diskusi mengenai masalah “kesalahan”.

Type-type Salah-saji Dari Sudut Pandang Auditor (Eksternal)

Akuntan yang menyusun laporan keuangan tentu harus memiliki sistem atau prosedur pengendalian khusus guna mengurangi risiko kesalahan informasi yang disengaja namun tidak terdeteksi tanpa adanya prosedur. Hal ini berfungsi sebagai alat penyaring awal untuk mencegah terjadinya kesalahan, yang dapat mengakibatkan penyajian informasi yang tidak akurat.

Sementara itu, auditor eksternal, yang sudah dilengkapi dengan berbagai prosedur dan teknik, diharapkan menjalankan proses pemeriksaan dengan cermat. Dengan demikian, jika kesalahan lolos dari penyaringan oleh akuntan internal, auditor eksternal dapat mendeteksinya selama proses audit. Dengan begitu, laporan keuangan yang telah diaudit benar-benar memberikan keyakinan yang cukup mengenai deteksi kesalahan material, termasuk kesalahan yang berasal dari ketidaktepatan (erroneous).

Dalam proses pemeriksaan, seorang auditor mengelompokkan kesalahan menjadi dua kategori: (1) kesalahan yang sudah diketahui, dan (2) kemungkinan kesalahan.

Kategori ‘Kesalahan yang Sudah Diketahui’ dapat muncul dari:

  1. Pemilihan atau implementasi prinsip akuntansi yang salah.
  2. Kesalahan dalam mengumpulkan, memproses, mengelompokkan, menginterpretasikan, atau mengidentifikasi informasi/data yang relevan.
  3. Niat (secara sengaja) untuk menyesatkan pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan.
  4. Niat (dengan sengaja) untuk menutupi pencurian tertentu.

Kategori ‘Kemungkinan Kesalahan’ dapat muncul dari:

  1. Adanya perbedaan dalam penilaian antara manajemen dan auditor mengenai estimasi akuntansi, di mana angka yang disajikan dalam laporan keuangan melampaui rentang estimasi yang dapat diterima menurut auditor.
  2. Angka yang telah diproyeksikan (dikenal sebagai “extrapolated”) oleh auditor berdasarkan hasil dari prosedur sampling — baik itu statistikal atau non-statistikal — pada suatu populasi data.

Auditor kemudian menilai item-item kesalahan untuk kemudian mengelompokkannya ke dalam setiap kategori yang telah disebutkan sebelumnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sesuai dengan standar audit, auditor memiliki tanggung jawab untuk menemukan (dan mengelola) kesalahan, baik yang sudah diketahui maupun yang masih bersifat kemungkinan kesalahan, kecuali jika dianggap sebagai “sepele” atau “tidak penting” oleh auditor.

Dalam menentukan apakah sebuah kesalahan dianggap “sepele” atau “tidak penting”, auditor mempertimbangkan apakah kesalahan yang ditemukan — baik secara individu maupun setelah digabungkan — termasuk dalam kategori material atau tidak material.

Bagaimana Auditor Menyikapi Salah-Saji?

Untuk kasus “kesalahan yang telah diketahui,” auditor memiliki kewajiban, sesuai dengan tuntutan profesionalnya, untuk meminta manajemen perusahaan (auditee) melakukan koreksi pada setiap kesalahan yang telah diidentifikasi. Dalam banyak situasi, perusahaan (auditee) sering kali menunjukkan ketidaksetujuan untuk memenuhi permintaan tersebut. Jika hal ini terjadi, auditor perlu memberikan penjelasan rinci tentang alasan di balik permintaan tersebut. Jika perusahaan tetap menolak, auditor biasanya akan menyertakan “sangkalan” (disclaimer) dalam opini auditnya.

Sementara itu, untuk kasus “kemungkinan kesalahan,” penanganannya sebagai berikut:

  1. Jika kesalahan berasal dari ekstrapolasi (proyeksi terhadap populasi dari pengujian sampling), auditor meminta manajemen untuk menyelidiki keseluruhan populasi dari mana sampel diambil. Populasi ini bisa mencakup kelompok transaksi, saldo akun, atau informasi tambahan yang tercatat dalam disklosur laporan keuangan. Tujuan dari permintaan ini adalah agar pihak manajemen perusahaan (auditee) dapat menemukan semua kesalahan yang ada dalam populasi tersebut, tanpa terkecuali, sehingga dapat melakukan koreksi yang diperlukan. Contoh : Setelah melakukan pengambilan sampel dari data inventaris, auditor menemui kesalahan dalam beberapa transaksi. Dalam situasi semacam ini, auditor akan meminta manajemen untuk melakukan pemeriksaan langsung pada setiap transaksi, dengan tujuan menemukan potensi kesalahan lain yang mungkin terjadi dan perlu dikoreksi.
  2. Apabila kemungkinan kesalahan berasal dari perbedaan estimasi antara auditor dan perusahaan, auditor meminta manajemen untuk secara cermat meninjau kembali metode serta asumsi yang digunakan dalam melakukan estimasi, termasuk perhitungannya. Contoh : Jika nilai cadangan kerugian piutang yang tidak tertagih memiliki perbedaan estimasi yang signifikan antara perusahaan dan auditor, auditor akan meminta perusahaan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap metode pencadangan, asumsi, dan perhitungan yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya cadangan kerugian piutang.

Auditor diharapkan untuk menjalin komunikasi dengan pihak manajemen perusahaan segera setelah menemukan kesalahan, tanpa memandang jenis kesalahannya. Semakin cepat komunikasi dilakukan, semakin baik, karena manajemen mungkin memerlukan waktu yang cukup lama untuk memenuhi permintaan auditor. Auditor kemudian meminta manajemen untuk melakukan koreksi atau menyediakan bukti tambahan terkait transaksi, data, atau informasi. Di sisi lain, perusahaan diharapkan mampu (terutama sekali “mau”) menggunakan pertimbangan kualitatif selain kuantitatif dalam menilai suatu kesalahan.

www.jurnalakuntansikeuangan.com

--

--

Masayu N Rosyidah

Accountant, Auditor, CRM, Business Strategy | Property, Poultry, NGO | Passionate Volunteer | Psychology and Sharia Law Enthusiasts | HIIT lover