Filsafat & Sejarah Gerakan Feminisme

Matthew Tanu & Sirilus Hari Prasetyo

Matthew Tanu
23 min readJun 22, 2023
Frida Kahlo — “The Two Fridas” (1939)

1. Latar Belakang: Apa itu Feminisme?[1]

Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan gender dengan dasar bahwa perempuan mengalami ketidakadilan dibandingkan dengan laki-laki.[2] Pemikiran feminisme berpusat pada pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan erat dengan realitas konteks zaman mengenai isu ketimpangan gender yang berdampak pada masalah sosial. Masalah utama yang dibahas oleh kaum feminis adalah isu-isu mengenai politik, sosial, dan ekonomi. Pokok-pokok isu tersebut dapat digali lebih dalam melalui penelusuran teori-teori feminisme, misalnya teori feminisme Liberal, Radikal, dan Marxis. Ketiga-tiganya mengkritik permasalahan pokok tentang isu gender.

Permasalahan sosial dapat dilihat dari budaya patriarki yang menekankan bahwa wanita dalam kelas sosial, lebih rendah daripada laki-laki. Sejak munculnya filsafat Yunani sampai modern, sedikit sekali filsuf wanita yang diakui kehebatannya. Bahkan untuk belajar filsafat sampai gelar doktor, baru muncul pada tahun 1732. Laura Bassi, baru dinyatakan lolos dari proses panjang setelah mengajukan 49 tesis teori filsafat di depan 5 profesor. Gadis Arivia berpendapat bahwa filsafat Barat nyatanya berpusat pada cara berpikir laki-laki.

Misogini, yang merupakan sifat kebencian terhadap kaum perempuan, dalam karya-karya filsafat dapat dilihat dari bahasa dan pemikiran beberapa filsuf yang sangat maskulin. Di halaman lima buku Gadis Arivia yang berjudul “Filsafat Berperspektif Feminis”, dapat ditemukan tiga contoh dari misogini:

Antara laki-laki dan perempuan, yang terdahulu secara alamiah superior dan pemimpin sedangkan yang satu inferior dan obyek. (Aristoteles — Politics)

Perempuan lebih cocok untuk menjadi perawat dan mengajar anak-anak karena mereka pada dasarnya adalah anak-akan, mempunyai pandangan sempit,: singkat kata, mereka selama hidupnya adalah anak-anak berbadan besar. (A. Schopenhauer — On Women)

Di sini pada asalnya kita meraih salah satu dasar kecenderungan realitas manusia-tendensi untuk memenuhi. Sebagian besar hidup dilewatkan dengan menggali lubang, mengisi tempat-tempat yang kosong, dengan menciptakan dan secara simbolik mendirikan tempat yang penuh, tertutup (plentitude). Obsenitas dari jenis kelamin feminin adalah segala sesuatu yang “terbuka.” (Jean-Paul Sartre — Being and Nothingness). [3]

Arivia mencantumkan kutipan dari buku “The War Against Women”, karya Marilyn French yang berbunyi bahwa kehidupan selama tiga setengah juta tahun yang lalu manusia hidup di bawah naungan dewi-dewi. Di situ ada kesetaraan gender dan status wanita yang lebih tinggi. Baru mulai sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, laki-laki mulai mengganas dengan adanya budaya patriarki.

Dituliskan secara eksplisit dalam buku ”The shorter routledge encyclopedia of philosophy”, yang diedit oleh Edward Craig, Aristoteles mengungkapkan bahwa kaum perempuan adalah potongan dari laki-laki. Kisah lisan yang tersebar sejak ribuan tahun lalu mengenai kisah Adam dan Hawa disalahtafsirkan menjadi budaya patriarki.[4] Kitab Suci mengatakan bahwa Hawa adalah perempuan yang menggoda Adam sehingga mereka akhirnya jatuh dalam dosa. Tidak hanya itu, Hawa diciptakan setelah Adam dan itu pun diambil dari tulang rusuk Adam.[5] Dari sebab itu, muncullah interpretasi yang mengatakan bahwa, “ketidakmampuan mereka untuk mengendalikan emosi dan kurangnya kebijakan moral secara teratur dianggap layak untuk mengendalikan bahkan mengucilkan mereka dari ranah publik.”[6]

Tidak hanya bersumber dari Kitab Suci saja, ada fakta sejarah yang memunculkan adanya budaya patriarki yang muncul dalam ranah religius. Sejak awal istilah yang muncul adalah “Bapa-Bapa Bangsa” bukan “Ibu-Ibu Bangsa”. Bahkan dalam agama Katolik sendiri, sikap konservatif terhadap budaya patriarki sangat kuat sampai pada zaman Renaisans. Dalam bidang edukasi, banyak orang tidak bisa menjalankan studi, khususnya bagi para perempuan. Orang-orang yang bisa belajar adalah mereka yang terpilih dalam lingkup Gereja.

Gereja yang mengalami titik puncak di abad pertengahan menjadi sasaran tajam kaum feminis dalam mengkritisi sisi patriarki dari pihak gereja. Dua tokoh besar yang dikritisi oleh Gadis Arivia adalah Agustinus dan Thomas Aquinas. Ia menemukan titik lemah dari bapa gereja sekaligus pujangga gereja yang terlalu maskulin atau meminggirkan perempuan.

Dalam karangan terkenal Agustinus pada tahun 413 yang berjudul “The City of God”, ditemukan konsep domestik perempuan tentang kewajibannya menjaga kedamaian keluarga. Akan tetapi, hal itu memiliki sisi pahit bagi para perempuan, di mana mereka akan kena batunya ketika sebuah keluarga tidak bisa mencapai kedamaian.[7]

Tidak hanya itu, ada pula Thomas Aquinas, Pujangga Gereja di abad ke-13 dengan karangan terkenalnya, Summa Theologia. Pejuang kesetaraan gender menemukan bahwa di dalam pemikirannya terdapat unsur superioritas laki-laki di hadapan perempuan. Perempuan dinyatakan lebih rendah dari laki-laki dan laki-laki harus dihormati oleh perempuan.[8]

2. Sejarah Feminisme

2.1. Protofeminisme

Protofeminisme merupakan istilah yang dipakai untuk gerakan-gerakan yang mendahului adanya gerakan feminisme modern. Contoh-contoh gerakan protofeminisme sangatlah beragam, dari zaman Yunani Kuna sampai abad ke-18 M. Pada zaman Yunani Kuna, contoh paling konkret dari gerakan Protofeminisme dapat dilihat di dalam pemikiran sang raja filsuf, Platon. Platon membela hak-hak politik bagi kaum perempuan dan memberi perspektif baru bagi seksualitas perempuan di masa itu, yang melihat perempuan sebagai objek hasrat seksual bagi kaum laki-laki. Pada zaman Romawi Kuna, Marcus Aurelius berargumen bahwa perempuan harus dan berhak untuk mendapatkan edukasi yang setara dengan kaum laki-laki di bidang filsafat.

Jika kita melompat 1 milenium dari Marcus Aurelius, Hrotsvitha merupakan salah satu tokoh utama gerakan protofeminisme pada zaman abad pertengahan. Hrotsvitha merupakan penulis perempuan pertama yang berasal dari tanah Jerman, dan merupakan sejarawan perempuan pertama di dunia barat. Pada abad ke-18 di Prancis, tokoh protofeminis Olympe de Gouges, menuliskan dokumen yang berjudul “Declaration of the Rights of Woman and of the Female Citizen”, tepatnya pada tahun 1791. Dokumen tersebut ditujukan sebagai kontra argumen bagi dokumen pendirian Republik Prancis yang berjudul “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen”. Dokumen tersebut nantinya akan dijadikan sebagai pondasi bagi gerakan feminisme gelombang pertama. Dalam dokumen tersebut, dengan lantang Olympe de Gouge menentang opresi yang dilakukan oleh kaum laki-laki di Prancis terhadap kaum perempuan “Tell me, what gives you the sovereign right to opress my sex? Your strength? Your talents?… and give me, if you dare, an example of this tyrannical right.”[9]

2.2. Feminisme di Era Modern & Kontemporer

Dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis, Gadis Arivia menjelaskan bahwa Simone de Beauvoir telah meruntut gerakan feminisme, dan menemukan bahwa gerakan feminisme muncul pertama kali pada abad ke-15.[10] Puncak feminisme memang terjadi di era kontemporer, ketika Simone de Beauvoir mengeluarkan bukunya yang berjudul “The Second Sex”, pada tahun 1949.[11] Akan tetapi, mulai abad ke-15, tokoh bernama Christine de Pizan berani menulis kegelisahannya tentang ketidakadilan gender dari masa ke masa.

Feminisme di era modern & kontemporer telah menunjukkan wujudnya dalam bentuk ilmu filsafat dan gerakan sosial. Dalam masa yang muda ini, feminisme tidak akan mencapai kemahsyurannya jika hanya berkecimpung di dunia teoritis. “Satu kaki di kelas, satu kaki di jalanan”, merupakan jargon feminisme dimana persatuan antara teori dan praxis itu perlu dilaksanakan.

Dari kacamata historis, feminisme di era modern & kontemporer muncul dalam gelombang-gelombang. Feminisme gelombang satu, feminisme gelombang dua, dan feminisme gelombang tiga. Ketiga dari gelombang feminisme tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melawan partriarki yang telah menciptakan seksisme, eksploitasi, opresi, dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Cita-cita dari feminisme adalah untuk menghapuskan budaya patriarki yang ada di lingkup sosial di seluruh dunia.

Filsafat sebagai dasar segala ilmu nyatanya berdampak pada superiority complex kaum laki-laki. Kaum feminis menelisik banyak pernyataan dan teori dari para filsuf sejak Platon, Aristoteles, sampai tokoh-tokoh modern dan kontemporer yang mengandung unsur superioritas atau misoginis. Misalnya saja Francis Bacon, filsuf abad modern. Gadis Arivia menunjukkan bahwa beberapa teori Bacon menunjukkan penolakan terhadap perempuan. Bacon menyatakan bahwa perempuan memberi efek negatif terhadap laki-laki. Itu sebabnya laki-laki lebih baik tidak menikah atau lebih baik sendiri.[12]

3. Pandangan Beberapa Filsuf tentang Perempuan

  1. Friedrich Nietzsche

Ungkapan Nietzsche bahwa “Tuhan telah mati”, adalah ungkapan kontroversial sekaligus khas dari dirinya. Nietzsche tidak percaya akan adanya Tuhan dalam dunia ini. Ia memandang bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia saja. Pemikiran terkenal lain dari Friedrich Nietzsche adalah konsepya tentang cara hidup “manusia yang lebih unggul”, tentang cara hidup ubermensch (manusia super). Dalam manifestasinya, ubermensch, selalu memiliki kehendak atas kekuasaan (the will to power). Teori itu akhirnya disalahgunakan oleh Hitler untuk menjustifikasi penghapusan orang-orang Yahudi dan untuk menguasai dunia.

Di halaman 56–57 dari “Filsafat Berberspektif Feminis”, Gadis Arivia menjabarkan bagaimana Friedrich Nietzsche memiliki pandangan yang tidak bermartabat mengenai perempuan di dalam tulisan-tulisannya. “Perempuan baginya masuk dalam kelompok yang lemah atau yang harus melayani. Nietzsche ternyata bukan saja filsuf dengan pemikiran yang kontroversial pada jamannya tetapi sekaligus ia dikenal sebagai filsuf yang kerap menyerang ide-ide kesetaraan perempuan.”[13]

2. Sigmund Freud

Perkembangan cara berpikir zaman Renaisans sampai masuk abad modern dan kontemporer membuat ilmu pengetahuan berkembang pesat. Tidak hanya dalam dunia teknologi dan ilmu alam, psikologi pun berkembang lebih maju. Hal itu bisa ditelusuri dari karya besar psikologi Sigmund Freud. Freud menjelaskan tentang rasa iri perempuan terhadap laki-laki. Teori penis envy menjelaskan bahwa perempuan merasa iri dan inferior karena alat reproduksinya masuk ke dalam atau tidak seperti penis laki-laki.

Istilah kecemburuan perempuan terhadap penis laki-laki disebut kastrasi. Keinginan perempuan memiliki penis laki-laki terkompensasi dengan kedekatanya dengan sosok ayah. Istilah itu bisa disebut Oedipus Complex.[14] Dari kastrasi tersebut, ada tiga hal pokok yang membentuk kepribadian perempuan. Dalam bukunya “Woman as Castrated Man”, di halaman 321 dituliskan mengenai tiga dampak kecemburuan perempuan: “pertama, adanya keterkungkungan seksualitas atau mengakibatkan neurosis, kedua, penggantian kanker artinya adanya kompleksitas maskulinitas, ketiga, menjadi atau mencapai feminitas yang normal.”[15]

3. Jean-Paul Sartre

Jean-Paul Sartre adalah filsuf kelahiran Paris 1905 dengan karya terkenalnya Being and Nothingness. Karya Sartre tentang ontologi untuk memahami situasi manusia menjadi inspirasi Simone de Beauvoir dalam menulis karyanya tentang feminisme. Mereka menjadi teman dekat tetapi tidak menikah. Dalam karyanya, tulisan Sartre mendapat sorotan mengenai maskulinitas yang masih kuat. Bahkan di dalam karyanya Sartre memasukkan unsur-unsur seksisme.[16]

Gadis Arivis cukup jeli dalam memaparkan gambaran seksisme yang dipakai Sartre dalam menjelaskan teorinya mengenai sadisme. Sadisme adalah teori ambigu yang bermuara pada pokok pembahasan Sartre antara ada-pada dirinya dan ada-bagi-dirinya. Hal tersebut adalah dua modus mengada yang saling bertentangan. Sadisme tidak hanya dijelaskan sebagai pelarian seseorang dalam mencari kebebasan. Akan tetapi, Sartre juga menghubungkan sadisme dengan sastra keanggunan seorang wanita. Gadis Arivia menginterpretasi bahwa pemikiran Sartre menjadikan tubuh perempuan sebagai korban.[17]

Gadis Arivia memberi kesimpulan bahwa para filsuf laki-laki terlalu superior dan memandang perempuan rendah. bahkan secara eksplisit penulis menganggap para filsuf kontemporer memiliki siasat untuk menindas perempuan. Legitimasi terhadap rendahnya status perempuan membuat perempuan dirugikan sebenarnya.

Filsuf Yunani dan tokoh-tokoh abad pertengahan menganggap perempuan selayaknya di rumah untuk mengurus anak. Rene Descartes bahkan melihat perempuan sebagai Pengada yang tidak memiliki rasio sebesar laki-laki karena minat mereka kebanyakan adalah seni dan matematika.

4. Teori Feminisme

Gadis Arivia membagi penjelasan di Bab 3 mengenai teori Feminisme menjadi tiga bagian pokok, yaitu gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Di setiap bagiannya akan dibahas pembahasan menarik mengenai apa itu feminisme liberal, radikal, sampai masuk dalam bangkitnya third world feminism. Gelombang pertama berfokus pada munculnya gerakan feminisme di Prancis pada tahun 1789. Suatu gerakan yang dipelopori oleh Mary Wollstonecraft, Sojourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton.

Gelombang kedua feminisme bercorak transisi dari mulanya praktis ke teori. Hal itu dimulai dengan usaha para feminis untuk mendalami persoalan budaya patriarki atau pandangan sebelah mata kaum laki-laki kepada perempuan. Mereka berupaya untuk menjadikan para wanita sama dengan laki-laki tanpa ada ketimpangan cara pandang.

Gelombang ketiga feminisme muncul setelah masa postmodern. Sandra Harding, seorang pejuang feminisme menekankan kembali kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dari situ, penulis akan membahas inti dari kelompok-kelompok feminis secara singkat:

4.1. Gelombang pertama:

  1. Feminisme Liberal

Aliran liberalisme berarti individu memiliki hak otonom atas dirinya sendiri. Seseorang bebas melakukan apa yang menurutnya baik asalkan tidak mengganggu orang lain. Dalam suatu negara, Gadis Arivia menjelaskan bahwa ada dua aliran liberal yang ditawarkan negara, yaitu klasik dan egalitarian. Berkaitan dengan feminisme, ada perbedaan aliran yang mereka pilih. Dari data yang ada, feminis liberal klasik terjadi pada abad ke-19. Di sisi lain, ada perpindahan dari klasik ke egalitarian pada abad ke-20.[18]

Mary Wollstonecraft (1759–179) menulis situasi ekonomi dan sosial perempuan yang tidak sama dengan laki-laki. Marry menjelaskan bahwa abad ke-18, perempuan masih menerima hak yang sama untuk aktif bekerja seperti laki-laki. akan tetapi, itu menjadi berbanding terbalik ketika budaya kapitalisme merebak. Munculnya kapitalisme membuat pabrik-pabrik super cepat menjamur sangat pesat. Di situlah gerak perempuan mulai terbatas.

Mary menilai bahwa fenomena tersebut membuat perempuan seperti burung dalam sangkar. Perempuan kelas menengah ke bawah yang menikah dengan laki-laki kaya seperti menjadi babu mereka. Urusan mereka sekadar mengurus anak, memasak, dan memuaskan hasrat seksual laki-laki, seperti istilah terkenal di Jawa, yaitu macak, manak, dan masak.

Suatu novel karya Jean Jacques Rousseau dengan judul Emile bercorak sangat timpang. Laki-laki dianggap lebih rasional daripada perempuan. Dari situlah muncuk suatu dikotomi pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan laki-laki diarahkan pada rasionalitas. Sebaliknya, perempuan diarahkan untuk belajar sesuatu hal yang bersifat afektif, perhatian, dan keibuan.

Abad ke-19 muncul tokoh feminisme, utilitarianisme, dan liberalisme terkenal bernama Harriet Taylor Mill dan John Stuart Mill. Kedua tokoh tersebut menyuarakan bahwa perempuan perlu bebas memilih pilihannya, tanpa disetir orang lain. Terlebih oleh para laki-laki. Titik berat yang mereka perjuangkan tidak hanya berhenti pada pendidikan saja, tetapi dalam kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi para perempuan serta laki-laki.

Hak memilih saat itu belum ada bagi para perempuan. Kedua tokoh tersebut juga mengajak masyarakat untuk berani andil dalam menegakkan keadilan. Misalnya saja konflik antara orang berkulit hitam dan orang berkulit putih. Awalnya mereka berjuang bersama laki-laki untuk menghentikan penindasan terhadap orang berkulit hitam. Akan tetapi, dari pihak laki-laki tetap saja memandang sebelah mata perempuan.

Hal itu akhirnya membuat Mott dan Stanton mengadakan pertemuan besar antara perempuan dan laki-laki di Seneca Falls. Pertemuan itu terjadi pada tahun 1848 dengan jumlah peserta sekitar 300 orang. Mott dan Stanton yang saat itu merasa dihina berbicara di depan umum agar perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Mott dan Stanton menekankan agar perempuan bisa memiliki hak berbicara dan berpendapat di hadapan publik.

Fokus utama para perempuan saat itu sedikit melenceng sebenarnya. Para perempuan tidak lagi berfokus membela keadilan bagi kaum kulit hitam. Akan tetapi, mereka justru menuntut keadilan bagi para perempuan. Dalam perjalannya, keduanya pun tidak diperhatikan juga. Adanya perang dunia menjadikan perempuan kembali bekerja di belakang untuk mendukung laki-laki.[19]

Setelah redup tertelan dampak perang, feminisme kembali gencar pada tahun 1960-an. Bisa dikatakan tahun tersebut menjadi luapan besar gerakan para feminis dalam mencari kesetaraan dan keadilan. Hal itu terbukti dari terbentuknya beberapa organisasi para feminis, misalnya NOW (National Organization for Women), NWPC (National Political Caucus), WEAL (Women’s Equity Action League). Organisasi NOW secara khusus memperjuangkan keadilan dalam hal seksual, sosial, politik, dan ekonomi.

2. Feminisme Radikal

Feminisme radikal sebenarnya memiliki latar belakang yang sama atas gerakan yang mereka buat. Latar belakang ketertindasan mereka di bawah kaki laki-laki membuat para perempuan tidak mau diam saja. Bedanya, feminisme liberal sekadar berhenti pada protes hukum. Tindakan mereka dipandang feminisme radikal sebagai sesuatu yang tidak berdampak besar. Olehnya, feminis radikal ingin menekankan keadilan di dunia.

Kelompok feminisme radikal melihat adanya ketimpangan antara ruang privat dan ruang publik. Keterbatasan perempuan di ruang publik membuat diri mereka merasa tertindas. Menurut Alison Jaggar, seorang feminis radikal, ada lima poin mengapa perempuan tertindas.

Alison Jaggar berpendapat bahwa dalam sejarah, perempuan adalah kaum tertindas. Perempuan tidak hanya ditindas di bagian timur atau barat, tetapi merata di mana pun. Posisi perempuan dipandang sebagai suatu fenomena yang sulit untuk dirubah. Itu sebabnya mengapa perempuan mengalami kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang mendalam itu memberi gambaran yang lebih mengenai bentuk penindasan-penindasan yang lain.

Dalam kelompok feminisme radikal, mereka berpikir bahwa segala yang pribadi adalah politis. Istilah aslinya adalah the personal is political. Dalam ranah kesehatan contohnya, mereka memiliki keberanian untuk protes karena adanya ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Kalangan feminisme radikal sendiri adalah pelopor gerakan aborsi. Mereka berpikir bahwa hak memiliki atau tidak memiliki anak adalah hak perempuan. Bahkan di Amerika orang-orang berkulit hitam diminta secara paksa untuk melakukan sterilisasi. Hal itu juga bertujuan untuk tidak memperbanyak populasi kulit hitam.

Kelompok feminis radikal juga turut memperjuangkan keadilan dalam hal kekerasan kaum laki-laki terhadap perempuan. Mereka berpendapat bahwa budaya patriarki menjadi sumber utama mengapa laki-laki menjadikan wanita objek semata. Bahkan perbudakan seksual di hadapan laki-laki berkembang sebelum abad ke-19.

Dalam buku Kathleen Barry, tentang Sexual Slavery, 1979, dijelaskan bahwa jual beli budak saat itu wajar, terlebih bagi kalangan kulit hitam. Ia juga menganalisis bahwa perkembangan turisme seks di Amerika dan Eropa. Mereka membeli pelacur-pelacur murah dari Asia. Latar belakang ekonomi menjadi alasan mengapa jual beli seks menjamur di berbagai negara. Akan tetapi, Barry tidak setuju apabila alasan tersebut menjadi alasan utama. Bagi Barry, alasan ekonomi hanyalah kedok belaka. Ia berpendapat bahwa alasan ekonomi hanya suatu sarana untuk menutup-nutupi alasan sesungguhnya, yaitu dominasi laki-laki.

Akhirnya Barry membuat suatu kelompok pada tahun 1983, yaitu “Jaringan Feminis Menentang Perbudakan Seksual.” Sekitar 24 negara turut hadir untuk ikut terlibat dalam aksi protes tersebut. Aksi tersebut terlaksana dengan pemaparan data dari setiap perwakilan akan adanya kekerasan seksual terhadap perempuan di dunia.

Kaum feminis radikal memandang laki-laki penuh kuasa terhadap tubuh perempuan. Mereka berpendapat bahwa seksualitas hanyalah politik laki-laki. MacKinnon menulis dalam bukunya, Feminism, Marxism, Method and the State: An Agenda for Theory (1982) bahwa heteroseksual adalah sumber utama kesenjangan gender.[20] Maksud dari kesenjangan adalah laki-laki terlalu berkuasa untuk mengatur perempuan demi nafsu mereka.

Tidak hanya MacKinnon, tetapi ada juga Kate Millet yang berpendapat bahwa seks dilihatnya sebagai pemisah gender yang tumbuh dari budaya patriarki. Budaya patriarki dipandang tidak mudah untuk dihancurkan. Di situ Millet berusaha untuk menghancurkan paradigma tersebut agar kesetaraan gender dapat ditegakkan. Millet mengusahakan penjelasan baru mengenai androgini; sebuah sisi feminisme dan maskulinisme dalam diri seseorang.

Contoh konkret yang diberikan Millet adalah mengenai kepatuhan seorang perempuan. Kalau dipikir-pikir, kepatuhan adalah hal natural yang juga dimiliki oleh laki-laki. Di sisi lain, ada agresivitas yang dikenal ada dalam diri laki-laki. Padahal, agresivitas juga ada dalam diri perempuan. Millet berpikir bahwa androgini baik adanya apabila keduanya tidak dipisahkan atau dilabeli hanya milik kelompok tertentu.

Feminisme radikal dibedakan kembali menjadi dua aliran, yaitu radikal libertarian dan radikal kultural. Budaya seksisme yang berkembang saat itu membuat kelompok radikal merasa risih dengan ketimpangan tersebut. Dari sebab itu, muncullah aliran yang melawan seksisme, yaitu radikal libertarian dan kultural.

Pergerakan feminisme radikal libertarian berkembang pada tahun 1960 dan 1970. Mereka membahas perihal sis feminitas, hak-hak reproduksi, dan peran seksualitas. Bagi penganut libertarian, androgini adalah tumpuan penting hidup seseorang, di mana di dalamnya ada sisi maskulin dan feminim. Akan tetapi, radikal kultural tidak setuju akan hal tersebut. Mereka lebih meragukan adanya sisi maskulin dalam diri perempuan. Kaum radikal kultural lebih cenderung memilih adanya sisi “perempuan” saja dalam diri perempuan. Misalnya, ketiadaan hierarki, kesatuan, emosi, tubuh, dan kedamaian.

3. Feminisme Marxis dan Sosialis

Gadis Arivia memandang bahwa gerakan feminisme marxis dan sosialis memiliki persamaan. Akan tetapi, gerakan feminisme sosialis berfokus pada sumber masalah mengenai penindasan perempuan yang berasal dari kesenjangan gender. Sebaliknya, feminisme marxis lebih mengutamakan sistem kelas yang membuat perempuan mengalami perbedaan status dengan laki-laki.

Teori Marxisme melawan konsep manusia yang digambarkan sebagai makhluk rasional dan lebih dari ciptaan lainnya. Bagi Marxis, manusia menggambarkan dirinya lewat karya dan hasil dari produktivitasnya. Lihat saja kegiatan manusia sejak zaman purba, meramu, berburu, bercocok tanam, sampai ke ranah modern. Bagi Schmitt, hasil dari kegiatan manusia adalah penentu struktur sosial, dunia politik, dan intelegensi. Hal itulah yang akhirnya membuat kaum feminis marxis memandang bahwa penindasan terhadap perempuan disebabkan oleh peran perempuan yang berbeda dengan laki-laki.

Penindasan terhadap ekonomi kaum proletariat adalah kondisi buruk bagi kaum feminis. Di dalamnya mereka tidak bisa berbuat apa-apa dengan kekuasaan kaum kapitalis. Adanya perbedaan ini membuat sistem eksploitasi dan separasi kelas. Pertama-tama kaum feminis sadar bahwa bukan soal perbedaan ekonomi, tetapi lebih ke arah kelas di dalam kelas. Artinya di dalam sistem tersebut laki-laki tetap menjadi sosok dominan yang bekerja di bidang lebih tinggi dibanding perempuan.

4.2. Gelombang kedua Feminisme

Ciri khas baru yang ditunjukkan oleh kelompok feminis gelombang kedua adalah perpindahan mereka dalam hal praktis ke teoritis. Gelombang kedua feminisme lebih mengulik persoalan sejarah munculnya feminisme. Tidak hanya itu, mulai tahun 1970-an, ada pembahasan baru yang mereka lakukan, yaitu membangun gagasan-gagasan penting bahwa kemampuan laki-laki sama dengan perempuan.

Tokoh terkenal yang berperan besar di tengah gelombang kedua adalah Simone de Beauvoir, Shulamith Firestone, dan Betty Friedan. Ketiganya setuju bahwa kondisi reproduksi perempuan membuat diri mereka tampak rendah di hadapan laki-laki. Kewajiban mereka dalam mengasuh anak membuat mobilitas perempuan tidak seperti laki-laki. Dari situ Simone de Beauvoir menjelaskan apa makna perempuan. Simone de Beauvoir menjelaskan makna perempuan dari teori Sartre mengenai Ada-pada-Dirinya, Ada-bagi-Dirinya, dan Ada-untuk-Orang Lain.[21]

4.2.1. Simone de Beauvoir & Feminisme Eksistensialisme

Dalam filsafat feminis eksistensialis, Simone de Beauvoir memaparkan mode of existence bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Menurutnya, laki-laki merupakan sang Diri (the Self) & perempuan sebagai sang Liyan (the Other). Contohnya, saat laki-laki mendefinisikan apa itu perempuan, seringkali laki-laki menggunakan bahasa seperti kandungan, indung telur dan betina. Simone de Beauvoir mengatakan bahwa definisi tersebut dirumuskan dengan kata-kata yang “vague and shimmering, borrowed from a clairvoyant’s vocabulary”.[22] Filsafat feminis eksistensialis menekankan kebebasan, hubungan interpersonal & pengalaman hidup di dalam tubuh, yang merupakan elemen esensial dalam situasi eksistensial sebuah individu. Karya Simone de Beauvoir yang berjudul ”The Second Sex” merupakan pustaka utama bagi filsafat feminis eksistensialis. Karyanya juga merupakan batu loncatan bagi timbulnya feminisme gelombang kedua.

Dalam bukunya “The Second Sex”, Simone de Beauvoir menganalisia fenomena kesenjangan antara kaum laki-laki secara ontologis dan etis, suatu sudut pandang yang khas dari filsafat eksistensialisme. Secara ontologis, Simone de Beauvoir berpendapat bahwa tubuh yang dihidupi secara konkret oleh perempuan, merupakan dasar bagi identitasnya. Dalam buku yang berjudul “Pembebasan Tubuh Perempuan: Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Partriarkat”, Shirley Lie menjelaskan pandangan Simone de Beauvoir mengenai tubuh perempuan sebagai identitasnya:

Baginya, setiap tubuh manusia merupakan sistem persepsi yang terintergrasi, yang di dalamnya terdapat kesadaran dan secara unik menempati lokasi fisik tertentu. Faktor ini menjadikan tubuh sebagai elemen esensial dalam setiap situasi eksistensial individu. Di dalam TSS, Beauvoir menunjukkan bagaimana budaya partriarkat membuat perempuan menghidupi tubuhnya secara konkret sebagai suatu kekuatan persepsi yang intergratif, melainkan sebagai kekuatan asing yang melawan dirinya, bertentangan dengan dirinya sendiri.[23]

4.2.2. Betty Friedan & The Feminine Mystique

“The Feminine Mystique” merupakan karya yang terbit pada 19 Februari 1963. Saat Perang Dunia II berlangsung, peran perempuan di Amerika Serikat berubah drastis dari yang sebelumnya memerani peran ibu rumah tangga, menjadi perawat, tentara, dan pilot di medan perang. Pasca Perang Dunia II, perempuan kembali memerani peran ibu rumah tangga. Saat membuat survei terhadap pelajar perempuan di Smith College, Northampton, Massachusets, tempatnya berkuliah, Friedan menemukan bahwa kebanyakan dari pelajar perempuan enggan dan tidak senang menjadi ibu rumah tangga. Dari survei tersebutlah Betty Friedan mendapatkan ide untuk menulis buku “The Feminine Mystique” yang nantinya akan menjadi salah satu pustaka utama untuk gerakan feminisme gelombang kedua.

Istilah “Feminine Mystique” dipakai oleh Friedan untuk mendeskripsikan asumsi yang diberikan pada perempuan bahwa mereka mendapatkan kepuasan dari mengerjakan tugas-tugas rumahan, pernikahan, seks, dan merawat anak. Gagasan yang tertanam dalam banyak orang di Amerika Serikat di era tersebut adalah bahwa perempuan yang sejati adalah perempuan yang enggan berkerja, enggan bersekolah dan enggan memiliki sikap politis. Problem mistis dari asumsi-asumsi yang datang begitu saja tanpa kita tahui asalnya tersebut dapat disimpulkan dalam tulisan Friedan yang mengatakan: “We can no longer ignore that voice within women that says: ‘I want something more than my husband and my children and my home.’[24]

4.3. Gelombang Ketiga Feminisme

Gelombang ketiga feminisme menekankan sisi identitas baru perempuan di dunia ini. Mereka mulai melakukan pencarian ulang makna diri mereka sebagai perempuan. Pengaruh utama dari gelomang ketiga feminisme adalah filsafat postmodernisme. Beberapa tokoh penting yang berperan di dalamnya antara lain: Jacques Lacan, Helene Cixous, dan Julia Kristeya.

Feminisme gelombang ketiga, muncul sebagai respon bagi kritik-kritik yang disampaikan terhadap feminisme gelombang kedua. Feminisme gelombang ketiga bercita-cita untuk menyempurnakan gerakan feminisme tersebut. Kritik yang disampaikan kepada feminisme gelombang kedua cukup beragam bunyinya. Sebagai contoh, Margaret A. Simons dan Jessica Benjamin, dalam jurnalnya yang berjudul “Simone de Beauvoir: an Interview”, mengatakan bahwa filsafat feminis eksistensialis Simone de Beauvoir terlalu bersifat etnosentris dan androsentris. Masalah-masalah yang diangkat olehnya hanyalah masalah yang relevan bagi kaum perempuan borjuis Prancis berkulit putih. Lalu, Jean Bethke Elshtain, mengkritik pemilihan kata-kata yang dipakai dalam buku-buku de Beauvoir. Menurut Elshtain, kata-kata seperti “imanensi”, “transendensi”, “esensi”, “eksistensi”, “être-en-soi”, dan “être-pour-soi”, hanyalah abstraksi yang muncul dari spekulasi sang filsuf saat duduk di kursi goyang, dan bukan muncul dari pengalaman hidup perempuan.[25] Salah satu upaya dari feminisme gelombang ke-3 untuk melawan etnosentrime dan androsentrime adalah dikembangkannya teori interseksionalitas dan etika kepedulian.

4.3.1. Interseksionalitas

Interseksionalitas merupakan Studi yang membuktikan bahwa gender dan isu-isu sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Feminisme gelombang pertama dan kedua telah mengabaikan isu-isu sosial seperti ras, kelas sosial, dan gender. Dari sanalah feminisme gelombang ketiga berusaha untuk mengangkat isu-isu sosial tersebut. Interseksionalitas merupakan teori tentang multilapisan penindasan terhadap perempuan yang saling mengunci/interlocking. Multilapisan dari interseksionalitas terdiri dari ras/etnis, kelas sosial, kewarganegaraan, orientasi seksual, dan merit atau kemampuan. Dalam sudut epistemologi, interseksionalitas merupakan anak pemikiran dari pengalaman-pengalaman dan pemikiran-pemikiran perempuan berkulit hitam.

4.3.2. Etika Kepedulian

Etika kepedulian, atau biasa kita kenal dengan istilah ethics of care, merupakan antitesis bagi etika-etika konvensional seperti etika eudemonistik, etika normatif, etika teleologis, dan etika deontologis Kantian yang bersifat universalistik dan berbasis pada keadilan. Dalam etika kepedulian, sifat universalistik khas etika konvensional disubstitusikan dengan sifat-sifat partikular. Basis keadilan dalam etika-etika konvensional, dalam etika kepedulian disubstitusikan dengan basis-basis kepedulian.

Perbedaan lainnya antara etika kepedulian dengan etika-etika konvensional lainnya adalah kaidah-kaidah dalam memeriksa adanya ketidakadilan dalam masyarakat. Jika dalam etika konvensional kaidah pemeriksaan ketidakadilan berbasis dalam ranah publik, maka dalam etika kepedulian, kaidah pemeriksaan ketidakadilan berbasis pada ranah privat. Jika dalam etika konvensional prinsip-prinsip keadilan berbasis pada kesetaraan (equality), maka dalam etika kepedulian prinsip-prinsip keadilan dapat kita analisa atas dasar prinsip perbedaan (equity).[26]

5. Feminisme di Indonesia[27]

Gerakan feminisme di Indonesia lahir disebabkan oleh beberapa faktor historis dan politis. Kolonialisasi, revolusi, reformasi, globalisasi, dan krisis ekonomi di Indonesia hanyalah beberapa dari banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan kaum perempuan di Indonesia untuk ikut serta dalam gerakan feminisme sedunia. Pada era kolonial, Cut Meutia dari Aceh, Martha Tiahahu dari Maluku, dan Emmy Saelan dari Sulawesi Selatan bergerak dalam kelompok perlawanan untuk melawan kolonialisme. Raden Ajeng Kartini dari Jawa Tengah dan Dewi Sartika dari Jawa Barat ikut turut serta dalam mencerdaskan kaum perempuan di Indonesia dengan cara mendirikan sekolah-sekolah yang mendidik perempuan-perempuan di Indonesia pada masa itu.[28]

Pada era revolusi, telah muncul banyak organisasi-organisasi perempuan. Lebih tepatnya, pada tahun 1928 dimana pada tahun tersebut, diadakan KOWANI, atau Kongres Wanita Indonesia, dimana kongres tersebut dihadiri oleh 30 organisasi-organisasi perempuan dan tercatat bahwa lebih dari 1000 orang telah menghadiri kongres tersebut.

Pada era pasca-kemerdekaan Indonesia, gerakan-gerakan perempuan dapat kita lihat dalam orde lama, dimana organisasi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) turut serta dalam perjuangan membela kesetaraan dan kesejahteraan kaum buruh di era tersebut. Pada masa orde baru, organisasi-organisasi di Indonesia mendapat pengekangan yang kuat sehingga gerakan organisasi-organisasi wanita di Indonesia pada masa itu hanya dapat melebur sebagai organisasi yang dependen terhadap organisasi-organisasi lainnya, seperti organisasi Dharma Wanita yang bergantung pada GOLKAR.

Pada era reformasi Indonesia, runtuhnya Orde Baru yang menyebabkan krisis ekonomi dan berkembangnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia, menyulut terciptanya gerakan feminisme baru di Indonesia yang tidak hanya membela hak-hak kaum perempuan, namun kaum-kaum termarjinalkan seperti kaum buruh. Tokoh-tokoh feminis di era reformasi Indonesia adalah Ratna Sarumpaet yang membela demokrasi dan hak-hak buruh, Nursyahbani katjasungkana yang membela perempuan dari objek kekerasan, dan Gadis Arivia yang mendirikan Jurnal Perempuan, yang merupakan jurnal feminis pertama di Indonesia.

Berikut beberapa data mengenai opini dan berita yang diambil dari KOMPAS: Pertama Sonya Helena Sinombor menuliskan berita mengenai pameran para pahlawan perempuan yang sering dilupakan. Pameran tersebut diadakan di Jakarta pusat dengan menampilkan 26 lukisan perempuan beserta kisah singkatnya. Menariknya, ada satu keterangan penting yang tidak dilupakan sejarawan bahwa sejak tahun 833 ada pejuang perempuan yang sangat berperan.[29] Kedua sinopsis novel karangan Joko Gesang Santoso yang dirangkum oleh Nelly Trisnawati. Dalam koran KOMPAS, Nelly mengapresiasi keberanian Joko Gesang Santoso, sang penulis novel untuk mengangkat tema feminisme. Nelly berpendapat bahwa sedikit tokoh maskulin yang berani mengangkat problematis mengenai feminisme. Menurut Nelly, Joko menulis hasil kontemplasinya dengan mengawali gambaran suatu kelompok yang membenci laki-laki. Laki-laki dipandang nafsuan, pemuja tubuh, dominan, dan terlalu obsesif dengan tubuh wanita. Intinya, Novel ini bertujuan untuk mengkritisi budaya patriarki melalui sastra. Budaya patriarki adalah sumber ketimpangan gender dan memberi kerugian bagi suatu kelompok.[30]

Ketiga surat kabar KOMPAS yang terbit pada 9 Maret 2020, tulisan Toto Suryaningtyas. Dalam surat kabar tersebut, Toto berpendapat bahwa kesetaraan gender bukan hanya patut diperjuangkan oleh kaum feminis, melainkan dari berbagai pihak. Hal tersebut dikarenakan kesetaraan gender merupakan hak asasi manusia. Dalam tulisannya, Toto mengutip pendapat sosiolog AS, George Rizer, bahwa ada dua teori feminisme, yakni berangkat dari situasi perempuan dalam masyarakat dan cara mereka mendeskripsikan situasi sosial. Toto mengungkapkan bahwa kesetaraan gender didapat dari kesatuan antara budaya-budaya dan demokrasi modern. Mulai tahun 2005, wanita tidak hanya memilih, tetapi mereka dipilih untuk menjadi pemimpin. Bahkan, setelah Orde Baru, Indonesia memiliki “Menteri Urusan Peranan Wanita.” Akan tetapi, tidak semua tempat di Indonesia memiliki kesetaraan gender. Tot berpendapat bahwa perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki muncul karena lokasi sosial perempuan. Lokasi ini maksudnya berkaitan dengan umur, ras, agama, status perkawinan dan kedudukan.[31]

6. Kesimpulan

Gerakan feminisme lahir dari identitas perempuan yang dipandang sebelah mata oleh laki-laki. Ketimpangan gender tersebut menghasilkan kerugian bagi para perempuan di berbagai aspek, entah itu sosial, politik, ekonomi, bahkan pendidikan. Dari ringkasan yang yang diulas Gadis Arivia, gerakan feminisme lebih bersifat praktek daripada teori. Jelas bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan kesetaraan gender.

Hiruk pikuk perjuangan feminisme di gelombang pertama fokus dengan persoalan gender, di mana para pejuang feminis memperjuangkan kesetaraan mereka di hadapan hukum. Secara garis besar perjuangan untuk memperoleh pendidikan dan turut serta dalam pemilihan. Setelah berjuang di hadapan hukum, muncul gerakan feminisme gelombang dua yang lebih teoritis. Arahnya mempertanyakan siapa itu perempuan dan bertujuan untuk menyetarakan gender antara perempuan dan laki-laki.

Gerakan postmodernisme lebih menekankan penataan ulang teks-teks yang dipenuhi dengan bias gender. Perjuangan feminisme di era postmodern berhasil menata kembali teks-teks yang dipenuhi dengan superiority complex kaum laki-laki. Sayangnya, di bidang politik, feminisme postmodern tidak memiliki kekuatan yang besar.

Gadis mengkritik adanya perbedaan perjuangan antara feminisme saat ini dan tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya, para pejuang kesetaraan gender berusaha keras di pinggir jalan, menghadap pemerintahan, dan para petinggi di berbagai bidang. Akan tetapi, saat ini tidak banyak lagi yang memakai cara tersebut. Tidak hanya itu, di setiap gelombang pun, ada titik lemah di dalamnya. Gelombang pertama dianggap terlalu berpusat pada kesetaraan, gelombang kedua dianggap Arivia terlalu jatuh dalam analisa sehingga kehilangan makna cinta, dan gelombang ketiga dipandang terlalu akademis, tidak sangat mendobrak realita.

CATATAN AKHIR

[1] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003).

[2] Edward Craig, The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy, (London and New York: Routledge, 2005), hlm. 268

[3] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 5

[4] Edward Craig, The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy, (London and New York: Routledge, 2005), hlm. 268

[5] Kejadian 1:26–31

[6] Edward Craig, The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy, (London and New York: Routledge, 2005), hlm. 268

[7] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 34

[8] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 35

[9] Olympe de Gouges, A Declaration of the Rights of Woman and The Female Citizen. Diakses Dari, https://jacklynch.net/Texts/degouges.html

[10] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 15

[11] Edward Craig, The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy, (London and New York: Routledge, 2005), hlm. 272

[12] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 41

[13] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 56

[14] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 58

[15] Sigmund Freud, Woman As Castrated Man, dalam Rosemary Argonito, op. cit., hlm. 321

[16] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 62

[17] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 63

[18] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 89

[19] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 92–94

[20] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 106

[21] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm. 121–123.

[22] Simone de Beauvoir, The Second Sex, hlm.13

[23] Shirley Lie, Pembebasan Tubuh Perempuan: Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Partriarkat, hlm. 7–8

[24] Betty Friedan, The Feminine Mystique, hlm. 27

[25] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Hlm. 277

[26] Gadis Arivia & Abby Gina Boang M., “Feminisme, Etika Kepedulian, & Praktiknya Dalam Kehidupan”, Catatan Diskusi Publik, Universitas Indonesia, 25 Mei, 2023.

[27] Sri Hidayati Djoeffan, Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang, hlm. 286–290

[28] Sri Hidayati Djoeffan, Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang, hlm. 286–290..

[29] Hellen Sinombor, Sonya. Feminisme Sudah Ada di tatanan Lama Nusantara. Terbit 26 Agustus 2019. Koran KOMPAS.

[30] Trisnawati, Nelly. “Nyutrayu”, Menantang Bias Feminisme. Terbit 23 April 2023. Koran KOMPAS.

[31] Suryaningtyas, Toto. Menengok Lagi Kesetaraan Jender dan Feminisme. Terbit 9 Maret 2020. Koran KOMPAS.

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003.

Arivia, Gadis & Manalu, Abby Gina Boang. “Feminisme, Etika Kepedulian, & Praktiknya Dalam Kehidupan”. Catatan Diskusi Publik, Universitas Indonesia. 25 Mei, 2023.

Craig, Edward The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy. London and New York: Routledge, 2005.

de Beauvoir, Simone. The Second Sex. London: Jonathan Cape, 1953.

de Gouges, Olympe. A Declaration of the Rights of Woman and The Female Citizen. Prancis: 1791. Diakses Dari, https://jacklynch.net/Texts/degouges.html.

Djoeffan, Sri Hidayati. Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang, 2001, Dalam Mimbar Jurnal Sosial dan Pembangunan. Vol. 17, №3

Dwi Ajeng Galuh. Feminism in Indonesia and the Perspective of the Mohanty’s “Third World Feminism”. 2014. Duke University Pers. Vol. 12, №1 (2014), pp. 1–30 (30 halaman). https://www.jstor.org/stable/10.2979/meridians.12.1.1

Friedan, Betty. The Feminine Mystique. New York: Dell Publishing Co., 1974.

Hellen Sinombor, Sonya. Feminisme Sudah Ada di tatanan Lama Nusantara. Terbit 26 Agustus 2019. Koran KOMPAS.

Lie, Shirley. Pembebasan Tubuh Perempuan: Gugatan Etis Simone de Beauvoir Terhadap Budaya Partriarkat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005.

Suryaningtyas, Toto. Menengok Lagi Kesetaraan Jender dan Feminisme. Terbit 9 Maret 2020. Koran KOMPAS.

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, 1998.

Trisnawati, Nelly. “Nyutrayu”, Menantang Bias Feminisme. Terbit 23 April 2023. Koran KOMPAS.

--

--

Matthew Tanu

Kumpulan Paper Ilmiah & Catatan Diskusi Publik Mahasiswa STF Driyarkara