Hubungan Beracun: Edisi Mio Anggora

Mayzahra Aisdadelita
2 min readMay 9, 2022

--

Toxic Relathionship umumnya banyak ditemui di dalam hubungan pasangan kekasih ketimbang pertemanan (meskipun ga menutup kemungkinan untuk tetap ada) dan memang benar, aku juga pernah mengalami masa beracun itu. Aku udah pacaran selama 2,5 tahun dan di awal-awal masa pacaran aku merasa hubunganku dengan pasanganku bisa dibilang sangat sangat sangat toxic. Kalo ditanya apa penyebab hubunganku toxic mungkin aku bakal jawab karena aku belum bisa menerima dia apa adanya.

Kita berasal dari latar belakang keluarga dan budaya yang beda jadi banyak kebiasaan-kebiasaan yang dia lakukan itu ga relate sama aku. Kalo kalian juga punya problematika yang sama dengan pasangan kalian dan alasannya karena hal ini, solusi yang aku berikan adalah dengan beradaptasi. Kebiasaan itu gabisa dipaksa untuk menjadi sama, we grow up differently. Terkadang kebiasaan-kebiasaan akan tumbuh menjadi sifat yang kalo udah sampe di tahap ini nantinya akan sangat sulit untuk diubah, ya udah kita cuma bisa nerima aja. Take it or leave it. Syukur-syukur kalo sifat pasangan kita bisa berubah jadi lebih baik, nah kalo gabisa gimana dong? udahin aja daripada maksa stay tapi batin kesiksa.

Selain kebiasan dan sikap, dari diriku sendiri aku juga sering sekali menuntut ini-itu ke pasanganku. Kalo masalah yang ini akarnya dari ekspektasi yang ketinggian.

“Aku tu pengennya kamu jemput aku pake lumba-lumba bukannya malah mio anggora!”

sumber: twitter

Barusan adalah contoh tuntutan yang sangat ga masuk akal karena yang pertama lumba-lumba jelas ga bisa hidup di darat dan yang kedua “Siapa sih yang gak mau diboncengin naik mio anggora?”

Saranku adalah ketika kita menjalin hubungan khususnya percintaan dengan orang lain kita ga boleh berekspektasi tinggi-tinggi ke orang tersebut. Ya, sebenernya emang kita ga boleh berkespektasi sama siapa aja tapi karna konteksnya hubungan pasangan kekasih jadi untuk yang ini cukup ke pasangan kita sendiri. Kalo kebanyakan berekspektasi ujung-ujungnya kita jadi nuntut pasangan kita untuk memenuhi ekespektasi yang kita buat sendiri, mampu ga mampu ya dia harus bisa wujudin! Egois banget kan?

Kalo ditelisik lagi sebener-bener-benernya ekspektasi yang kita bangun itu ya dari perasaan kita yang belum bisa menerima pasangan kita apa adanya. Jadi, menerima keadaan orang lain dengan tulus ternyata butuh usaha juga yah tapi gapapa yang penting punya pasangan hehehe.

--

--