Neo Bank dan Masa Depan Retail Banking di Indonesia

Dimas Maulana
5 min readNov 7, 2019

--

Apa itu neo bank dan apa pentingnya?

Sejatinya ada 180+ juta orang dewasa di negara ini yang tidak memiliki akses kepada produk perbankan, atau biasa disebut sebagai ‘unbanked’. Pemerintah selama ini banyak menjalankan inisiatif guna mempercepat inklusi keuangan dan meningkatkan akses kepada produk perbankan seperti tabungan, pinjaman usaha atau kartu debit namun kendala geografis dan pemerataan infrastruktur ditambah keengganan bank untuk memasarkan produknya kepada segmen tersebut mengakibatkan sulitnya mendorong penetrasi layanan keuangan.

Disini kita harus memisahkan antara produk perbankan (banking) dengan bank sebagai institusi yang menyediakan produk tersebut. Sadar atau tidak di era digital ini banking sudah tidak lagi menjadi produk yang hanya bisa ditawarkan oleh bank. Ada startup macam Amartha dan Modalku bagi mereka yang butuh kredit produktif. Ada Kredivo yang memungkinan kita untuk berbelanja dan mencicil tanpa memiliki kartu kredit. Berinvestasi pun sekarang bisa dilakukan melalui Stockbit atau Halofina. Namun bagaimana dengan produk paling dasar dari banking seperti tabungan atau kartu debit/kredit? disinilah muncul istilah neo bank.

Sadar atau tidak di era digital ini banking sudah tidak lagi menjadi produk yang hanya bisa ditawarkan oleh bank.

Pada dasarnya neo bank adalah sebuah perusahaan alternatif yang menawarkan jasa perbankan namun berbasis digital (branchless) dan sejatinya memang bukan bank. Terkadang juga dikenal sebagai challenger bank dan beberapa diantaranya bahkan sudah memiliki jutaan nasabah seperti Nubank (Brazil), Monzo (Inggris) N26 (Jerman) atau Chime (Amerika Serikat).

Apa keunggulan neo bank dibanding bank tradisional?

User friendliness adalah unique selling preposition terbaik yang dimiliki neo bank. Neo bank memiliki visi serta kapabilitas untuk mendesain produk mereka dengan mengutamakan user. Tidak hanya friendliness dari sisi UX/UI yang sudah menjadi keharusan sebagai bisnis berbasis aplikasi tapi juga fitur dan kemudahan yang ditawarkan sulit ditandingi oleh bank tradisional. Pernah dengar bank yang tidak ada biaya pemeliharaan bulanan? gratis penarikan di ATM manapun di dunia? tidak ada persyaratan saldo minimum? tidak ada overdraft fee?

Keunggulan kedua adalah fitur yang membuat perbankan jadi bagian dari kehidupan pelanggan. Bank memiliki banyak sekali data dari transaksi yang kita lakukan, secara teori bank seharusnya bisa membuat manajemen keuangan jadi lebih mudah. Tapi coba lihat aplikasi mobile bank Anda? adakah kategorisasi yang dilakukan secara otomatis terhadap transaksi uang masuk-keluar yang ada di rekening Anda? adakah fitur budgeting, auto savings atau alert yang memudahkan kita untuk tidak berkelebihan dalam pengeluaran? kenyataannya bank sebagai sebuah institusi raksasa sulit sekali untuk berinovasi. Bank tradisional sangat lambat dalam merespons tren dan preferensi pelanggan mereka serta mengeksploitasi kekuatan smartphone.

Bank tradisional gagal membuat perbankan jadi bagian dari kehidupan pelanggan

Bank tradisional juga memiliki business model yang tidak berpihak kepada pelanggan. Seperti yang kita ketahui bank mendapatkan revenue terbanyaknya dari bunga yang dihasilkan oleh pinjaman. Baik itu KPR, KPA, pinjaman modal usaha ataupun KTA, pinjaman adalah salah satu penghasil pendapatan terbesar pada bank tradisional. Sementara itu neo bank memotivasi pelanggan untuk menabung, karena semakin banyak Anda menabung semakin besar juga kemungkinan Anda untuk membelanjakan uang tersebut menggunakan kartu debit Anda. Interchange fee yang didapat dari transaksi via kartu debit adalah sumber revenue dari neo bank saat ini.

Keunggulan lain dari neo bank ada proses onboarding mereka. Ingin membuka akun dalam 15 menit? bisa saja. Semua proses know-your-customer dilakukan lewat aplikasi tanpa harus beranjak kaki ke kantor cabang terdekat atau disambangi oleh pegawai bank. Hal ini memudahkan siapa saja untuk membuka rekening bank dan bertransaksi.

Bahkan startup non-bank pun berlomba-lomba untuk mengeluarkan produk banking seperti ‘deposito’ dengan bunga tinggi, tabungan serta kartu debit. Uber yang terkenal sebagai penyedia transportasi online sekarang mengedarkan kartu debit dan kartu kredit untuk driver mereka, Robinhood yang sebenarnya adalah platform berinvestasi pun juga menawarkan rekening setara deposito dan kartu debit lalu ada Betterment yang bermula sebagai aplikasi manajemen keuangan juga menawarkan hal yang sama.

Apakah neo bank akan menggantikan bank tradisional?

Sepertinya tidak. Kepercayaan menjadi faktor besar dalam keputusan seseorang mengambil produk finansial. Semakin dikenal banknya semakin dirasa terpercaya. Beberapa orang juga masih memilih untuk pergi ke kantor cabang untuk melakukan sebuah transaksi perbankan lewat konter karena terasa lebih aman. Millenials atau generasi selanjutnya (gen y?) yang terlahir dengan ideologi smartphone-untuk-segala-hal adalah target utama neo bank.

Seperti layaknya kehadiran Uber yang tidak serta merta menggantikan taksi konvensional maka neo bank juga akan hidup bersandingan dan membuat kompetisi retail banking semakin menarik.

Sudah hadirkah neobank di Indonesia?

Banyak hal yang saya deskripsikan di atas terdengar seperti 2 bank yang mungkin sudah Anda kenal seperti Jenius (BTPN) atau Digibank (DBS). Namun keduanya juga belum bisa dibilang neo bank, lebih kepada spin off dari produk bank utama mereka.

Keduanya mungkin berbasis aplikasi, namun layaknya sebuah bank konvensional mengharuskan tatap muka dalam pembukaan rekening. Bagaimana biaya bulanan atau biaya penarikan ATM? tentu saja masih ada. Tidak seperti startup neobank mereka tetap saja bank tradisional yang harus memelihara kantor cabang, ribuan pegawai serta jaringan ATM mereka. Seperti layaknya bank tradisional tentu saja saya sebagai nasabahnya tak hentinya mendapat tawaran untuk mengambil produk pinjaman mereka.

Selain keharusan tatap muka saat ini pun BI juga tidak memperbolehkan kartu debit untuk dikeluarkan oleh institusi non-bank. Jadi masih sangat sulit untuk sebuah institusi yang tidak memiliki lisensi bank untuk menjadi alternatif dari bank.

Bagaimana kesiapan dari masyarakat Indonesia sendiri terhadap digital banking? menurut riset yang dilakukan oleh Mckinsey konsumen Indonesia sangat terbuka terhadap perbankan digital. Selama 3 tahun terakhir, penggunaan bulanan perbankan digital di Indonesia telah tumbuh 2x lebih cepat daripada negara berkembang Asia yang lainnya. Lebih jauh lagi, 55 persen pelanggan nondigital mengatakan bahwa mereka kemungkinan akan menggunakan perbankan digital dalam enam bulan ke depan.

Peran dan dukungan regulator menjadi sangat penting dalam hal ini agar kita bisa mendefinisikan kembali apa itu retail banking untuk generasi smartphone yang bisa mendukung inklusi keuangan nasional serta mempermudah akses terhadap layanan keuangan itu sendiri digitalisasi KYC. Teknologi digital akan terus mengubah lanskap perbankan di Indonesia, seberapa rela regulator untuk beradaptasi dengan kemajuan tersebut jadi hal yang sangat menarik untuk disimak.

--

--

Dimas Maulana

Most of the time I think about how to do things better. Like any humans do.