proses — day&night

Melv Leandra
5 min readDec 6, 2023

--

“Harus pas udah stres banget gini ya lu baru bawa kita-kita kemari?” Sadam yang baru duduk di sofa ruang tamu itu buka suara, ditujukan pada si pemilik villa yang baru beberapa detik lalu juga istirahatkan diri di sofa paling ujung.

“Tadinya malah baru mau bawa pas tanding kelar. Muka lu pada udah keburu jelek gitu. Sekarang aja lah daripada jenuh latihan, bahaya.” Ucap Jaz sambil taruh satu kresek yang bunyinya tarik perhatian semua laki-laki disana.

Sadar dengan apa yang dibawa Jaz, enam orang lainnya kompak tampilkan wajah tidak percaya.

“Orang gila. Kapan lo belinya, anjing?” Nigel mewakili yang lain.

“Pas lo pada molor dimobil lah. Dikit doang ini mah, enteng lah buat buang pikiran dikit.” Ucap Jaz santai.

“Berasa dapet surprise gini, sialan.” Ucap Sena sambil ambil satu kaleng dari dalam kresek itu.

“Lebay. Dah gasin, ambil satu-satu.”

Maka menurutlah mereka semua. Kini ketujuhnya pegang satu kaleng minuman alkohol digenggaman masing-masing.

Tidak ada obrolan yang serius. Ketujuhnya nikmati waktu santai sambil beberapa kali lontarkan gurauan. Ada pun gerak-gerik mencurigakan, tapi tidak diambil pusing yang lainnya; posisi duduk Hanan dan Jovan yang semakin lama semakin mendekat.

Tidak terkecuali Nigel yang tiba-tiba istirahatkan kepala di paha Sadam, juga Juna dan Jaz yang suap-suapan.

Sena disana hanya bisa geleng-geleng kepala sambil sandaran di bahu Juna.

Banyak pertanyaan di kepala masing-masing sebenarnya. Tapi malam itu, mereka semua pilih acuh dan nikmati malam.

Beberapa puluh menit berlalu, berkaleng-kaleng sudah tandas. Ternyata takaran ‘sedikit’ Jaz sama dengan tiga kaleng per orang.

“Pusing anjing.” Gerutu Sena.

Enam lainnya pusatkan pandangan pada Sena yang wajahnya sudah merah sebab efek alkohol.

Memang diantara mereka semua, Sena yang toleransi alkoholnya paling kecil.

“Sana masuk kamar, yang itu aja,” Jaz tunjuk ke kamar di sebelah dapur, “baru itu yang gua buka.”

Sena mengangguk paham.

“Ah ikut, mau tidur juga.” Juna ternyata sudah sama telernya.

Jaz yang lihat Juna bicara dengan mata hampir tertutup hanya bisa senyum gemas sambil usap bahunya pelan.

“Ya udah, sana masuk kamar. Santai aja btw, besok masih minggu. Puas-puasin aja pulang sore.” Ujar Jaz.

Sena dan Juna yang kini sudah saling merangkul kompak anggukan kepala. Kemudian berjalan menuju kamar yang tadi sudah ditunjuk Jaz.

“Emang boleh selucu itu? kayak kembar.” Jovan buka suara sambil teguk kaleng terakhirnya.

“Iya lagi. Bocahnya keliatan pas mabok.” Tambah Nigel.

“Yang gitu-gitu jangan digabungin sama Sadam Hanan kamarnya. Bahaya.” Ucap Jovan tiba-tiba, tarik perhatian empat lainnya yang masih betah di ruang tamu.

“Maksud lo apa?” Tanya Sadam pakai nada bercanda, dihadiahi gelak tawa yang lain sebagai respon.

“Gua aja bareng mereka entar. Lu berempat nanti bagi dah siapa sama siapa. Kamar ada dua lagi di lantai atas. Nih.” Ucap Jaz sambil lempar kunci ke Hanan dan Nigel.

Mereka mengangguk mengerti, lalu pilih untuk lanjut meneguk minuman yang masih setia bertengger di tangan masing-masing.

“Pewe banget Jaz, kalo bisa seminggu disini gua jabanin serius.” Ucap Nigel.

“Gua juga mau lah kalo begitu. Gila aja.” Sadam tambahkan.

“Nanti kalo udah libur bisa kesini lagi. Yang lebih proper, bawa baju sama peralatan lainnya biar bisa nginep lebih lama.” Kata si pemilik villa.

“Sampe lupa kita gak bawa baju. Nanti malem gua tidur pake apa ya bangsat.” Sadar Jovan.

“Gak usah pake apa-apa lah.” Hanan tiba-tiba bersuara.

Dua kapten itu seketika tatap-tatapan. Buat tiga anggotanya saling lempar pandang konyol.

“Denger apaan gua barusan brengsek.” Jaz pilih bangkit, “Puas-puasin, balik nanti harus fokus latihan lagi. Gak sampe sebulan lagi tandingnya kalo gak salah. Selesai tanding nanti kita kesini lagi. Gua seneng bisa satu tim sama kalian. Best team I’ve ever had, I can say. Jaga Kesehatannya. Gua duluan nyusul si kembar. Takut jambak-jambakan pas tidur.”

Kata-kata Jaz buat yang lain seketika merasa sendu; teringat bahwa tim ini bukan tim permanen.

Thanks, Jaz. Night bro!” ucap Nigel, dibalas acungan jempol oleh laki-laki yang baru saja buka pintu kamar.

“Kok jadi sedih gini bangsat.” Sadam jadi tersentuh.

“Alah-alah, nih minum lagi biar makin sedih.” Nigel buka kaleng terakhir yang ada dimeja, lalu cekoki minuman itu ke mulut Sadam.

“Anj-hGh! GEL-“ Sadam yang dicekoki hanya bisa pasrah sebab kini Jovan juga bantu Nigel untuk pegang kedua tangan Sadam.

Hanan yang lihat pemandangan itu tertawa puas.

“Mabokin lah Dam, terakhir kali kita mabok katanya lo yang paling sadar. Sekarang gantian.” Ucap Hanan sambil teguk santai kalengnya.

“Gak gini juga anjir.”

Jovan, diam-diam kepalanya melayang jauh. Tiga orang yang bersamanya ini adalah tiga orang yang pernah dia cicipi rasa bibirnya.

Dia jadi canggung sendiri.

“Gua mau liat-liat kesana. Lanjutin aja.” Alibi Jovan.

Tapi Jovan memang penasaran dengan tempat disamping pintu masuk tadi.

Tiga orang yang masih setia duduk di sofa hanya beri anggukan sambil perhatikan langkah Jovan sampai tubuh itu hilang di balik pintu.

“Anaknya emang suka suasana tenang,” ujar Sadam tiba-tiba buat fokus Hanan dan Nigel tertuju padanya, “mumpung lagi di puncak yang suasananya nyaman gini, biarin aja dia kalo mojok sendiri gitu. Demennya dia.”

Hanan mengangguk paham, berbeda dengan Nigel yang tampilkan ekspresi bingung.

Ah iya, Nigel belum tahu.

“Kok lo tau?” tanya Nigel.

Sadam dan Hanan lempar tatap, lalu sunggingkan senyum tipis.

“Mantanan.” Hanan bantu jawab.

Mata Nigel reflek membulat sempurna.

Sejak kapan?

Belum sempat Nigel benar-benar bertanya, Sadam sudah lebih dulu berikan jawaban.

“Pas SMA, udah ngga ada apa-apa sekarang.” Jelas Sadam.

Nigel hanya ber-oh-ria walaupun kepalanya masih memproses informasi yang baru saja dia terima. Siapa sangka gebetannya adalah mantan pacar sahabatnya?

“Iya lah ngga ada apa-apa lagi sama Jovan, ada apa-apanya kan sekarang sama lu.” Bablak Hanan buat Sadam kelabakan sendiri.

Bisa dilihat ekspresi panik Sadam yang diam-diam simpan keinginan untuk menyepak kepala Hanan sekarang juga.

Nigel disana hatinya malah keluarkan kupu-kupu. Dia diam, tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan.

“Gua ke toilet. Baju gua basah gara-gara dicekokin nih.” Sadam malah ikutan beralibi, lalu buru-buru tinggalkan ruang tamu itu. Sisakan Nigel dan Hanan yang sama-sama tahan senyum.

“Gasin Gel.” Ucap Hanan tanpa konteks.

“Lagi proses nih, sabar dong.”

Hanan tampilkan ekspresi tidak percaya. Mana tahu juga dia kalau ternyata Nigel simpan perasaan yang sama dengan sahabatnya. Dia pikir Nigel tertarik pada Sena karena kerap kali beri perhatian lebih pada primadona timnya.

“Ga expect diiyain beneran. Padahal gua cuma bercanda. Kirain naksirnya sama Sena.”

Nigel lirik Hanan, “Sekarang jadi tau kan. Emang sempet oleng ke Sena,btw.”

“Kok gak jadi?” Hanan penasaran.

“Masih lebih banyak di Sadam ternyata.” Singkat Nigel sambil teguk alkoholnya.

Hanan cuma geleng-geleng kepala. Cinta segitiga macam apa ini?

Atau segiempat termasuk sosok yang Sena belum bisa lupakan? entahlah.

“Jangan lama-lama, selagi Sadam lagi nempel banget sama lu nih.”

Pernyataan Hanan buat Nigel berpikir.

Maksudnya apa?

Satu tatapan bingung berhasil sampaikan kode untuk Hanan.

Hanan lanjutkan, “Sebelum naksir lu, dia ngincer Sena. Tapi Sena nya masih gamon.”

Maka pusinglah Nigel.

“Samperin gih. Gua mau nyamper Jovan.” Tutup Hanan sambil bangkit berdiri, menepuk bahu Nigel, lalu langkahkan kaki kearah pintu.

-

fheeverx

--

--