Midodareni & Harapan

Ben
7 min readOct 19, 2022

--

Chetell tidak bisa fokus pada acara yang akan berlangsung malam ini. Pikirannya terus saja terpusat pada kondisi sang anak.

“Tenang aja Tell. Cain itu hebat.” Ucap Ambar yang berusaha menenangkan.

“Masalahnya dari tadi Jana gak bales chat aku. Aku takut Cain kenapa-napa.” Chetell terus saja mengecek ponselnya setiap menit, berharap ada kabar dari Jana yang sedang berada di rumah sakit.

“Sekarang perasaanmu piye? Masih was-was banget atau dah mendingan?”

“Udah mendingan sih.”

“Yaudah artinya kondisi Cain semakin membaik. Biasanya feeling ibu itu kuat sama anaknya. Tadi kamu was-was karena Cain belum ditanganin dokter, sedangkan sekarang Cain udah dirawat dengan baik.” Ambar menepuk bahu Chetell pelan. “Percaya wae karo anakmu. Cain kui anak lanang sing hebat.” (percaya aja sama anakmu. Cain itu anak laki-laki yang hebat)

“Aku takut Cain butuh aku. Mbar.”

“Cain emang selalu butuh kamu dan sebaliknya. Tapi disaat kayak gini kamu gak boleh egois. Pernikahan kamu udah didepan mata, gak mungkin kamu ke rumah sakit dan gagalin semua rencana yang ada. Bukan bermaksud jahat, cuma kamu harus mikir juga. Kalo pun kamu ke rumah sakit, Cain pasti kecewa dan nganggep dirinya sebagai sumber masalah sampe bikin mama sama papanya gagal nikah.”

Chetell hanya bisa menatap sepupunya sambil tersenyum. Ia berterimakasih pada Ambar karena selalu ada dan membuatnya tenang disaat kondisi sedang tidak baik-baik saja. Tadi saat tahu sang anak pingsan dengan mimisan yang banyak, Chetell panik bukan main dan hampir saja nekat ikut ke dalam mobil Jana untuk menemani Cain ke rumah sakit. Namun ditahan oleh Ambar, karena bagaimana pun sebagai calon pengantin yang sedang dipingit, Chetell tidak boleh pergi keluar rumah.

“Makasih ya Mbar.”

Ambar menggangguk lalu tersenyum.

Ditempat yang berbeda, Sura pun mengalami hal yang sama. Pria itu terus saja memegang ponsel, menunggu kabar dari Jana mengenai kondisi sang anak.

“Mending lu duduk diem sih bang.” Sentak Tian yang sejak tadi rasanya jengah melihat Sura terus saja mondar mandir di depan mukanya.

“Jana sama Hawi gak ada kabar njir.” Kesal Sura.

“Ya tungguin aja bang. Lagian belum ada 10 menit dah mereka ngabarin kalo Cain mau transfusi darah.” Saut Zeno.

“Mending lu duduk dulu dah, terus tenangin diri. Lu harus mikir acara nanti malem juga.” Saran Nanda.

“Gue gak fokus.”

“Se gak fokusnya lu, pikirin juga kalo misalnya acara nikahan lu gagal gimana.” Akhirnya Yasa angkat bicara. “Kita semua paham kalo lu khawatir karena anak lu lagi sekarat, cuma lu pikirin juga keputusan yang lu ambil sekarang akan mempengaruhi kondisi anak lu dikemudian hari.”

Mendengar ucapan Yasa, Sura langsung terdiam dan duduk. Tian dan Zeno saling tatap. Keduanya ingin sekali bertepuk tangan tetapi diurungkan, karena suasana sedang tidak mendukung. Bisa disikat para abang kalo mereka berulah.

“Lu harus siap-siap buat malem. Masalah anak lu, ada Jana sama Hawi di rumah sakit, terus kita semua juga pasti mantau. Lu gak usah khawatir. Cain itu kuat. Lu harus percaya.” Sambung Yasa.

Acara midodareni sendiri berasal dari kata widodari yang artinya bidadari. Ritual ini dilakukan malam hari sebelum melepas masa lajang, sehingga harapannya sang pengantin wanita akan terlihat cantik esok hari bak bidadari di surga.

Pada malam ini, pengantin wanita ditemani oleh Ambar dan para saudara lainnya. Calon pengantin tidak diperkenankan bertemu dengan calon suami, karena Sura akan menerima nasehat yang berkaitan dengan pernikahan.

Keluarga besar Sura datang ke kediaman Chetell dan disambut dengan ramah oleh tuan rumah. Tujuan dari kedatangan Sura adalah bertemu orang tua Chetell, dimana hal ini menunjukkan bahwa dirinya telah mantap secara fisik maupun psikis untuk menikahi Chetell.

Kedatangan Sura kali ini pun dibarengi dengan membawa bingkisan atau seserahan. Seserahan sendiri berisi barang keperluan sehari-hari dan dibawa dalam bilangan ganjil.

Acara midodareni diawali dengan sambutan dari masing-masing keluarga, kemudian dilanjutkan dengan pemberian seserahan dari pihak pengantin pria kepada pengantin wanita. Pertama seserahan dilakukan oleh ibu Sura kepada ibu Chetell, lalu selanjutnya Sura kepada ibu Chetell.

Selesai Sura memberi seserahan, kali ini ibunya Chetell memberikan segelas air putih untuk diminum oleh Sura.

Selain acara penyambutan dan seserahan, pada midodareni juga dilakukan prosesi tantingan yang bertujuan menanyakan kemantapan hati pengantin wanita.

“Tell,” panggil salah satu sepupu yang baru saja masuk ke kamar Chetell.

“Iya.”

“Dapet calon suami dimana?”

Chetell dan Ambar mengerutkan dahi memperhatikan gelagat Indri yang datang dengan senyum aneh.

“Kenapa emangnya?”

“Ganteng banget.” Ucap Indri dengan ekspresi super excited. “Tadi aku baru liat dan ternyata bukan main. Pantesan aja Cain seganteng itu, bapaknya aja macem begitu.”

Memang hanya beberapa saudara saja yang tahu bagaimana wujud calon suaminya seperti apa, karena terakhir Sura berkunjung saudaranya belum banyak yang datang.

“Yang lain langsung jerit waktu liat mukanya pas dateng. Bersinar banget.” Kagum Indri.

“Wah kamu telat banget Ndri. Aku dari awal Chetell disini udah sering liat mas Sura. Orangnya emang ganteng dan baik banget.” Ujar Ambar terdengar sombong.

“Ah kalian kok gak bilang-bilang.”

Chetel hanya menggeleng. Biarkan saja Ambar dan Indri berdebat mengenai calon suami yang terkenal itu.

Acara dilanjutkan dengan penyerahan catur wedha atau disebut wejangan. Catur wedha berisi empat pedoman hidup yang menjadi bekal Chetell dan Sura dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Ayah Chetell membacakan isi catur wedha, kemudian diserahkan kepada Sura sebagai tuntunan memimpin kehidupan berumah tangga.

Malam itu ditutup dengan silahturahmi antar keluarga. Keluarga Chetell menyerahkan oleh-oleh berupa makanan, pakaian serta keris kepada Sura.

Acara midoderani berlangsung dengan lancar dan akan dilanjutkan acara pernikahan keesokkan harinya.

Sebelum pulang, Sura sempat berbincang dengan beberapa sepupu Chetell. Awalnya ia merasa malu karena terus dipuji perihal ketampanannya. Namun lama kelamaan ia semakin pede dan membuat semua orang iri pada Chetell.

“Mas abis ini langsung jemput Cain ke rumah sakit?” tanya Jina saat dalam perjalanan pulang.

“Iya ma.”

“Mas hati-hati ya. Biasanya H-1 sebelum pernikahan itu rawan. Mau dilarang, tapi mama tau kamu juga bakal pergi, jadi mama cuma bisa wanti-wanti.”

“Iya mah. aku perginya bareng yang lain kok.”

“Jemput langsung pulang ya, jangan mampir-mampir. Besok acaranya pagi-pagi.”

“Iya mah tenang aja.”

Kondisi Cain sudah membaik. Setelah dilakukan transfusi darah dan penanganan yang baik, bocah remaja itu diperbolehkan untuk pulang, tetapi dengan catatan untuk tidak melakukan aktivitas yang berat atau kecapekan. Sebenarnya dokter menyarankan untuk dirawat, tetapi Cain menolak. Ia ingin melihat pernikahan kedua orang tuanya.

“Uncle,” panggil Cain yang masih berbaring di ranjang rumah sakit menunggu sang ayah menjemput.

“Inget ya Cain, jangan capek-capek. Besok pokoknya mata uncle sama uncle Hawi bakal ngikutin kemana kamu pergi.”

Cain terkekeh mendengar Jana berbicara seperti berkomat kamit. “Iya uncle.”

“Kamu tau kan papa kamu kayak apa? Aduh males dah bahasnya.” Jana sebenarnya jengkel dengan Sura. Pasalnya setiap menit ia harus terus melapor mengenai kondisi Cain. Padahal kondisi tetap sama saja. Cain itu hanya kekurangan darah dan kecapekan sehingga butuh transfusi darah dan istirahat.

Cain terkekeh sebentar dan suasana menjadi hening.

“Uncle,”

“Iya.”

“Uncle takut mati gak?” tanya Cain tiba-tiba.

Jana mengubah posisi duduknya. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa dan menatap langit-langit. “Takut. Kamu gimana?”

“Sekarang takut.”

Cain yang tadinya tidur menghadap kanan, ia rubah menjadi terlentang dan ikut menatap langi-langit ruangan. “Dulu waktu belum ketemu papa, aku selalu siap dan berani kalo semisalnya Tuhan panggil tiba-tiba. Orang selalu tanya kenapa seberani itu dan aku sering dikatain anak durhaka karena mau ninggalin mama sedih dan kehilangan sendiri. Tapi dari sisi aku, aku gak perlu khawatir sama mama, karena saat itu mama udah dilindungi sama orang-orang yang mama cinta. Ada uncle Yuki, uncle Maki, onty Gwen dan temen-temen dokter di rumah sakit. Kalo aku kambuh atau sekarat, aku gak pernah takut buat mejamin mata dan bisa jadi aku gak pernah buka mata lagi, karena aku tau kalo ini takdirnya, aku siap dan gak pernah berharap dunia memihak aku.”

“Tapi setelah ketemu papa…” Cain tercekat. “Aku ngerasa takut buat memejamkan mata, bahkan tidur malam aku selalu was-was. Aku takut kalo besok gak bisa liat senyum papa, denger ketawa papa atau menikmati hidangan ala-ala bapak Sura dipagi hari. Aku juga takut buat ninggalin mama karena uncle Maki sama uncle Yuki udah gak bisa jagain mama lagi. Keberanian aku nguap gitu aja. Padahal aku tau takdir gak berpihak sama kehidupan aku.”

Cain menghembuskan nafas kasar dan berusaha untuk tidak menangis. “Aku coba buat berani lagi, tapi nyatanya aku selalu takut uncle. Setiap aku merasa siap untuk menghadapi takdir buruk, papa selalu meluk. Pelukan hangat papa bikin aku berharap kalo bisa terus ngerasain itu. Kadang aku mikir, boleh gak sih minta lagi ke Tuhan untuk yang terakhir? Dulu aku pernah minta ke Tuhan buat temuin aku sama papa sebagai hadiah terakhir hidup dan Tuhan memberikan itu. Awalnya aku kira Tuhan cuma pertemuin aja terus udah selesai. Tapi ternyata Tuhan malah bikin aku nyaman sama papa dan bikin aku pengen minta lagi. Boleh gak sih aku serakah untuk minta satu permohonan yang bener-bener terakhir dihidup aku?”

Cain menoleh pada Jana dan ternyata pria itu sejak tadi sudah menatap dirinya dengan mata sembab.

“Boleh Cain.” Ucap Jana serak sembari mengusap air mata. “Minta yang banyak sama Tuhan, jangan cuma satu. Rakus aja. Serakah adalah sifat manusia, gapapa.”

Cain yang awalnya ingin menangis, malah jadi terkekeh sendiri. “Uncle,”

“Hmm.”

“Kalo suatu saat uncle jadi ayah, tolong jadi ayah yang baik ya. Kayak papa aku, papa Sura. Walaupun diluar sana orang bilang papa brengsek karena ninggalin aku sama mama, tapi dimata aku, papa Sura selalu jadi papa yang terbaik. Uncle harus jadi suami dan ayah yang baik didalam keluarga. Kasih banyak cinta dan pelukan hangat.”

“Uncle janji dan kamu harus janji juga, kamu bakal jadi saksinya kalo uncle jadi ayah yang baik.”

“Aku gak janji kalo itu. Umur aku pendek.”

Jana beranjak lalu membekap mulut Cain agar tidak berbicara yang aneh-aneh. “Ngawur banget kalo ngomong.” Jana kembali menangis. “Kamu pasti umur panjang. Uncle jamin 1000%.”

Cain terkekeh dalam bekapan Jana. Unclenya itu terlihat seperti anak kecil yang kehilangan mainan.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, kemudian tampaklah Sura bersama Zeno dan Hawi. Semuanya mendadak panik.

“Eh anjing.” Umpat Sura saat melihat Jana membekap mulut Cain. Pria itu sigap mendekati ranjang Cain dan menjauhkan Jana.

“Yang anjing anak lu bang.” Gerutu Jana sembari mengusap air mata. “Anak lu kalo ngomong suka gak dipikir dulu.”

“Lu nangis kenapa?” tanya Hawi heran.

“Dih kek bocil nangis.” Goda Zeno.

“Lu gatau aja ceritanya Cain.” Raung Jana dengan seseguk.

“Uncle ini rahasia kita.” Sanggah Cain.

Jana menoleh pada Cain dan bocah remaja itu mengedipkan mata. “Pokoknya gue nangis ada sebabnya.”

Jana pergi dari sana meninggalkan semua orang yang heran akan tingkatnya.

“Kamu apain uncle Jana?” tanya Sura pada Cain.

“Cuma cerita aja.” Cain beranjak dari ranjang dan bersiap untuk pulang. “Ayo kita pulang aja. Aku udah sumpek disini.”

“Yaudah ayo.”

Cain berjalan sambil memeluk tubuh sang ayah. Selama perjalanan ia tidak pernah lepas dari Sura, menempel seperti perangko. Cain tidak ingin melewatkan pelukan hangat sang ayah sebelum waktunya habis. []

--

--