108 : a surprise.

mervellic
6 min readNov 9, 2022

--

Hari Senin nya….

Savian, Shaul, Jiran, Jennifer, Janitra, Ivan, dan Yura serempak mengintip Hamal dan Jenan dibalik pintu ruangan mereka. Bukan tanpa alasan, sebelumnya, Jiran dan Shaul melihat dua AE itu tengah berjalan bersama dari halte Transjakarta sampai ke kantor, hingga Shaul bersumpah dia juga melihat Hamal menggandeng tangan Jenan saat menyebrang jalan.

Sus.” itu kata pertama yang terucap dari mulut Savian saat Hamal dan Jenan masuk ke ruangan. Kebetulan partisi di ruang kerja mereka hari ini dibuka untuk meeting mingguan, jadi ia bisa melihat Hamal duduk di mejanya sambil membuka laptop.

“Kayaknya ada yang happy nih,” pancing Ivan sambil mengedipkan matanya.

“Senin kan harus semangat,” jawab Hamal.

“Semangat banget lah ya kalau ada yang bisa digandeng.”

“Jadi kalian pacaran ya?” tanya Jennifer tanpa basa-basi. “Nggak usah denial, kita semua lihat.”

Hamal mengerlingkan matanya pada Jenan yang dibalas dengan tatapan sinis.

Chat gue sama Mas Joshua nggak dibales sepanjang weekend. Anak-anak juga curhat kalau kalian bener-bener off, dan hari ini kita liat kalian berdua jalan bareng? Wow.” Jennifer masih menyindir.

Well, gue sama Jenan lagi seneng quality time aja.” kata Hamal.

Quality time tapi temen-temen di team Jenan pada panik!” tegur Jennifer. “Shaul dari kemarin ditanya-tanya sama klien jadinya berapa orang yang mau live report hari ini.”

“Akhirnya gue cuma confirm yang pergi ke sana dua orang aja. Gue sama Jiran. Sorry kak Jenan, bukannya gue mau ngedahuluin elo, tapi approval-nya butuh cepet jadi gue nanya ke Mbak Jeni deh.” kata Shaul.

Jenan mengangguk. “Nggak apa-apa. Maaf ya guys bikin kalian jadi kepikiran.”

“Kita mulai meeting-nya ya. Waktu kita sedikit, nanti Mas Joshua mau ngomong juga sama Hamal dan Jenan.”

“Oh? Soal?” tanya Jenan.

“Apa lagi coba?” tanya Jennifer yang membuat Jenan terdiam. Ya, apalagi kalau bukan soal Giandra.

Meeting pagi itu seperti biasa membahas to-do list yang akan mereka lakukan selama seminggu. Tidak banyak, Shaul dan Yura akan tetap membuat konten untuk sosial media para klien, tapi khusus hari ini, Shaul juga harus mengunjungi ALP untuk melakukan live di akun Instagram toko tersebut.

Stabilizer kamera nya nanti ambil di bawah ya, Shaul.” kata Jennifer. “Lo sama Jiran boleh pergi sekarang.”

“Bentar kak,” sela Shaul saat melihat inbox di email-nya, “Aduhh ada revisi lagi!! Ehm… Kak Savian… Lo lagi ngerjain apa? Bisa benerin dulu konten yang ini nggak?”

Savian masih berkutat dengan desain yang masih setengah jadi di layar iMac nya. Ia sebenarnya tidak ingin menyahut Shaul, tapi dari nada bicaranya, Savian tak punya pilihan lain selain merespon.

“Sibuk banget ya?” tanya Shaul, takut-takut. Savian kalau sudah mode serius, bisa terlihat sangat menyeramkan.

“Apa yang harus dibenerin?” tanya Savian.

“Itu… katanya desainnya kurang jernih. Terus logonya kurang gede.” jelas Shaul.

“Anjirlah!” Savian mengerang kesal. “Si Mbak Tari tuh ngerti nggak sih kalau ukuran logo dari dulu udah paten segitu? Kalau gue gedein lagi nanti nggak sama kaya desain yang udah dipost ke feed. Capek-capek kita bikin guideline buat design seenak jidat aja diganti-ganti. Jen, lo jelasin dah ke klien lo yang rese itu.”

“Iya gue lagi mau chat dia.” kata Jenan.

“Cepet Jen, gue juga ada kerjaan lain!” tegas Savian saat sadar Jenan masih sibuk menatap Hamal dari kejauhan. “Prioritasin kerjaan dulu ya bro, baru yang lain.”

“Oke Vian, sorry.” suara Savian sukses membuat Jenan berpaling dari Hamal.

Setelah menghabiskan waktu satu jam mengurus revisi hingga membuat Shaul terlambat menuju lokasi live, Jenan pun bisa bernapas lega sejenak. Namun, belum sampai 10 menit berlalu, tiba-tiba Joshua masuk ke ruangan dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.

“Hamal, Jenan. Masih ada kerjaan lain nggak?” tanyanya.

Hamal langsung beranjak dari kursi saat melihat sosok Joshua. “Nggak ada Mas.”

“Jenan?”

“Ehm lagi ada revisian lagi sih, Mas.”

“Gampang, bisa gue urus.” potong Savian. “Jenan lagi lowong kok, Mas.”

“Oke. Ikut saya ke ruangan sekarang ya.” Joshua langsung keluar dari ruangan tanpa basa-basi. Sikap bosnya itu membuat Jenan berdebar tak karuan.

“Ayo, Jen.” ajak Hamal. Ia menunggu yang lebih muda di depan pintu, “Ayo jalan bareng ke bawah.”

Jenan melongo karena nada bicara Hamal berubah drastis. Terkesan lebih lembut dan tidak segalak sebelumnya. Ia pun menurut lalu berjalan bersisian bersama Hamal menuju ruangan Joshua.

“Tenang, kita nggak akan dipecat.” ujar Hamal sambil menepuk bahu Jenan dengan lembut.

“Ha?”

“Jen, ini salah gue, karena nggak fast response ke Mas Joshua pas weekend kemarin. Gue juga, kelewat seneng ngehabisin waktu di rumah lo.” jelas Haamal, “Lo tenang aja, kalau ada apa-apa gue yang tanggung jawab, tapi gue yakin kok kita nggak bakal kenapa-napa.”

Jenan tidak yakin apakah Hamal benar-benar serius menekankan kata kalau ia senang menghabiskan waktu di rumahnya atau itu hanya basa-basi saja. Tapi Jenan tidak menampik kalau pipinya mendadak jadi panas,

“Okay. Ehm, Mal…”

“Ayo masuk, waktu kita nggak banyak, Giandra udah nunggu di ruang depan.” sela Joshua saat membuka pintu ruangannya.

“HAH?!” seru Hamal dan Jenan bersamaan. “K-kok bisa?!”

“Dudu dulu.” perintah Joshua kepada dua pemuda itu. “Gue tadinya mau marahin kalian, karena gue kecewa. Lo berdua nggak profesional. Kalian tahu kan misi ini penting? Kalian yang menyanggupi buat kerja pas weekend berarti kalian juga harusnya tahu resikonya. Gue sama Jennifer pasti ngechat kalian di hari Minggu.”

Jenan menunduk malu, benar-benar merasa bersalah, “Maaf, Mas.”

“Akhirnya gue yang harus nanya langsung ke Giandra.” lanjut Joshua. “Jujur aja gue nggak terkesan sama sekali dengan usaha kalian berdua di sana. Hamal, lo masih kebawa dendam sama pengalaman kerja lo di Marine. Gue minta lo jangan kayak gitu. Apapun yang masih lo pendem di tempat kerja yang dulu, jangan dilampiasin ke tugas lo sekarang.”

Hamal mengangguk paham, sadar akan kekeliruannya. Ya, untuk pertama kalinya ia mengakui itu. “Maaf Mas.”

“Jenan,” kata Joshua. “Cara lo terlalu gegabah buat ikutan auction itu. Tapi gue mau bilang makasih sama lo karena seenggaknya Giandra jadi mau untuk mempertimbangkan kerjasama lagi bareng kita”

“Seriusan?!” tanya Jenan. Ia otomatis memandang ke arah Hamal yang sama-sama terkejut.

Joshua mengangguk. “But… Dia cuma mau nawarin kerjasama event aja, dia nggak bakal pakai jasa kita untuk jadi konsultan mereka secara permanen.”

“Berarti, apa tugas kami berdua gagal mas?” tanya Hamal.

Joshua tersenyum, “No. Gue masih menghargai usaha kalian berdua kok. Kalian udah berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan mantan klien kita. Walaupun banyak yang harus dibenerin lagi dari cara kalian handle mereka. But it’s good. You guys passed.”

Hamal dan Jenan saling tatap sambil tersenyum lega. Bahkan Hamal menggenggam tangan Jenan selama beberapa detik sampai yang lebih muda terkejut.

Jenan segera melepaskan genggaman tangannya ketika Joshua menyuruh mereka kembali berdiri.

“Gue tadinya mau ngasih kalian brief singkat tapi karena Giandra udah dateng dan dia minta cepet, gue jelasin di sana bareng mereka aja ya.”

“Kalau boleh tahu ini tentang apa, Mas?” tanya Hamal.

“Event Mousai Fashion Show, kita sebagai agency bakal nyiapin semuanya dari logo, sosial medianya, riset hashtag, bikin konten menuju event, sampai ke acaranya nanti. Untuk urusan acara, siapa tamunya, itu ada EO lagi, dan kita juga bakal ada tektokan sama mereka.”

“Woww…” Jenan masih terkesan karena usaha gegabahnya masih membuahkan hasil. “Jadi ini project collab ya?”

“Bisa dibilang begitu karena yang terlibat banyak. Ayo mendingan langsung ikut meeting aja.”

Hamal dan Jenan berjalan di belakang Joshua. Dua AE itu tidak bisa menebak apa yang akan menanti mereka di ruang meeting kecuali penampilan flamboyan Giandra yang sulit dilupakan sejak auction itu.

Namun, ketika Joshua berhasil membawa mereka masuk, Jenan dihadapkan dengan pemandangan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Sangat jauh pula dari yang bisa ia bayangkan.

Terlepas dari sosok Giandra yang paling menonjol diantara orang-orang di sebelahnya, mata Jenan tak bisa lepas dari sosok jangkung yang berdiri sambil menyambut jabat tangan Joshua. Sosok itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali Jenan bertemu dengannya. Rambut abu-abu yang tertata rapi, menampakkan struktur wajah persegi dan sudut pipi juga rahang yang tegas. Senyum ramah yang sulit Jenan lupakan karena selalu mengantarnya ke memori lucu selama ia tinggal di Australia.

Yehan Navaro.

Yehan. Cinta pertama Jenan, muncul kembali di tempat yang tidak pernah Jenan duga.

Howdy, Jen!” sapanya setelah bersalaman dengan Joshua. “It’s been a while.

Jenan terpaku, dan bukannya menyambut Yehan, ia malah menoleh ke arah Hamal yang sama-sama keheranan.

--

--