Mery Ana Farida
6 min readJan 27, 2018

Sedikit Pemahaman Secara Fundamental: sebagai bagian dari tulisan publikasi berjudul “Menilik Isu Gender dalam Konteks Urbanisme

Dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan secara fundamental konteks gender di mana dalam tulisan ini lebih berfokus pada konteks perempuan, kenapa? karena yang biasanya diangkat ke ranah publik adalah isu ketimpangan yang sebenarnya terkadang lebih membicarakan entah konteks anak atau perempuan. Sangat jarang dibahas mengenai konteks laki-laki. Jadi, langsung saja pada konteks yang sering menjadi topik utama dan dalam hal ini adalah perempuan. Menurut sebuah buku berjudul “the second sex” karangan Simone de Beauvoir, membenarkan bahwa konstruksi sosial adalah pembentuk budaya dalam masyarakat. Menurutnya terdapat 3 kategori perempuan di mana dia pada kenyataannya tidak mendapatkan kebebasannya sebagai seorang manusia, yaitu:

Mereka-mereka yang identik dengan bunga dan perhiasan dalam kehidupan sosial

Manusia (perempuan) semacam ini dapat dikategorikan sebagai manusia narsistik. Di mana pada kenyataannya bahwa narsisme itu adalah sebuah proses identifikasi yang dibentuk dengan baik, di mana ego dipandang sebagai suatu tujuan absolut dan subjeknya mencari perlindungan dari dirinya sendiri di dalamnya. Dalam konteks ini secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa secara tidak langsung memang mereka seolah-olah adalah bunga yang indah dan bangga pada diri mereka sendiri dan merasa sah-sah saja sebagai objek untuk selalu dipandang dan dinikmati. Juga dikatakan sama saja halnya sebagaimana artis-artis hebat yang meleburkan diri dalam tokoh-tokoh yang mereka ciptakan sendiri, namun kelompok-kelompok yang lebih rendah tidak terlalu memperdulikan yang mereka kerjakan, tetapi lebih terfokus pada ketertarikan dan kemegahan yang terefleksikan dalam diri mereka. Secara sederhana dapat dipahami bahwa apa-apa yang mereka cari adalah hanya demi menegaskan kepentingannya sendiri tanpa melihat manfaat secara general. Salah kaprah ini juga akan sangat mempengaruhi segala aktivitasnya, ia akan tergoda oleh segala sesuatu yang membawa pada ketenaran, tetapi tidak akan pernah berkomitmen pada dirinya untuk melakukan sesuatu dengan setulus hati. Oleh sebab itu, tidak jarang tokoh-tokoh yang terkadang gagal walaupun telah bekerja keras dengan bersungguh-sungguh. Hal tersebut terjadi karena apa-apa yang mereka lakukan bukan atas dasar hasrat positif untuk berkarya, tetapi mereka terlalu mencintai diri mereka sendiri sehingga tak dapat betul-betul mencintai apa-apa yang mereka lakukan. Oleh sebab itu, ia tidak pernah berdiri di atas kebebasannya, melainkan menjadikan dirinya objek yang ditempatkan dalam bahaya oleh dunia dan oleh makhluk-makhluk sadar lain di lingkungannya sendiri; narsisme — ketenaran.

Pengaruh cinta dan kebebasan dalam kehidupan sosial

Cinta dan kehidupan laki-laki adalah sesuatu yang berbeda, sementara bagi perempuan adalah keseluruhan eksistensi. Nietzsche juga mengungkapkan pemikiran yang sama dalam tulisannya yang berjudul “The Gay Science”, dikatakan bahwa:

“Satu kata cinta sebenarnya menerangkan dua hal yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang perempuan pahami dari cinta adalah cukup jelas; cinta itu tidak hanya kesetiaan, cinta adalah penyerahan total akan tubuh dan jiwa, tanpa pamrih, tanpa harapan mendapatkan imbalan apapun. Sifat mutlak dari cintanya itulah yang membuatnya menjadi kesetiaan, satu-satunya yang dimiliki perempuan. Sementara laki-laki jika ia mencintai seorang perempuan, apa yang ia inginkan hanyalah cinta dari perempuan, sebagai konsekuensinya ia jauh dari mendalilkan perasaan yang sama baginya seperti pada perempuan. Jika memang ada laki-laki yang juga merasakan hasrat terhadap kepasrahan total, mereka tidak akan menjadi laki-laki”

Juga dikatakan bahwa tidak satupun dari laki-laki dapat dikatakan sebagai kekasih yang hebat, bahkan dalam pelarian mereka yang paling kasar pun, mereka tidak pernah sepenuhnya memasrahkan diri, bahkan saat mereka berlutut di hadapan kekasihnya. Apa yang mereka inginkan adalah memilikinya, namun hal ini terjadi sebaliknya bagi perempuan, mencintai berarti menyerahkan segalanya demi kebahagiaannya. Sebagaimana yang dikatakan Cecile Sauvage:

“Perempuan harus melupakan personalitasnya saat jatuh cinta. Ini adalah hukum alam. Seorang perempuan tidak ada artinya tanpa seorang tuan. Tanpa seorang tuan, ia adalah sebuah karangan bunga yang tercecer.”

Maka, jika melihat konteks ini, seorang perempuan yang terlalu mencintai, dia telah menyerahkan transendensinya, menyubordinasikannya kepada sosok yang esensial tersebut, seseorang yang kepadanya dia menjadikan dirinya seorang abdi dan budak. Hal tersebut dilakukannya untuk menemukan dirinya sendiri, bahwa ia meleburkan dirinya di dalam kekasihnya dan kenyataannya perlahan-lahan dia memang sedikit demi sedikit meleburkan dirinya seutuhnya. Baginya seluruh realitas berada dalam diri orang lain. Berdasarkan pemahaman ini, seolah-olah perlahan-lahan bahwa seorang perempuan yang tergolong kategori ini menjadi sangat terlalu bergantung dan membanggakan kekasihnya. Cinta terepresentasikan dalam bentuknya yang paling menyentuh dan terbelenggu dalam dunia femininnya sendiri, yang secara tidak langsung (tanpa sadar) memutilasi diri mereka sendiri, bahwa seolah-olah mereka tidak berdiri untuk diri mereka sendiri dan tidak bisa hidup jika tidak bersama kekasihnya. Terpenjara karena cintanya sendiri.

Tentang Kebaikan; tentang cinta dan kasih Tuhan

Sebagaimana pemahaman bahwa cinta itu diperuntukkan bagi perempuan sebagai panggilan yang paling utama baginya, secara lebih sederhana dapat dianalogikan bahwa pada saat ia mengarahkan cinta tersebut kepada seorang laki-laki, ia pun mencari sosok Tuhan dalam diri laki-laki tersebut, tetapi jika cinta manusia menolak dirinya karena keadaan, jika ia kecewa dan terlalu risau, bisa saja kemudian ia memilih untuk menyembah kesucian Tuhan itu sendiri. Maka, hal ini juga yang kemudian mendorong pada kondisi bahwa jika suatu keindahan dan kecerdasan yang kecil sering kali cukup untuk menjadikan seorang perempuan merasakan penghormatan yang layak, dengan alasan yang lebih baik ia akan berpikir bahwa ia bertanggungjawab terhadap semua misi pada saat ia tahu bahwa ia adalah pilihan Tuhan. Maka, semangat mistikal seperti cinta dan bahkan narsisme semacam ini dapat diintegarasikan dengan suatu kehidupan aktivitas dan kemerdekaan. Tetapi, dalam diri mereka sendiri usaha-usaha pada penyelamatan individu diikat agar bertemu dengan kegagalan, salah satu dari perempuan menempatkan dirinya dalam kaitannya dengan sesuatu yang tak nyata yaitu pasangannya atau Tuhan. Dalam kedua hal tersebut, ia tercerabut dari genggaman dunia, ia tidak melepaskan subjektivitasnya. Hingga akhirnya hanya ada satu jalan untuk menggunakan kebebasannya secara otentik, dan hal tersebut dimaksudkan untuk memproyeksikan melalui tindakan positif ke dalam masyarakat.

“Perempuan Bebas”

Jika menyinggung soal kota, maka tidak terlepas dari konteks gender dan perempuan di dalamnya. Walaupun kebebasan sudah diberikan, bahwa setiap warga negara perempuan telah memiliki hak untuk memilih, tetapi rupanya kebebasan-kebebasan sipil ini masih teoritis selama mereka tidak disertai dengan kebebasan ekonomi. Seorang perempuan yang disokong oleh seorang laki-laki dalam hal ini contoh sederhananya, baik seorang istri atau perempuan simpanan tentu saja tidak terbebas dari laki-laki dengan memiliki kartu suara di tangannya. Pada kenyataannya ia masih terikat dalam kondisi keterbudakannya. Kecuali jika sekali ia berhenti menjadi parasit, sistem yang didasarkan pada ketergantungannya akan runtuh. Maka, antara dia dan dunia tidak lagi memerlukan mediator maskulin. Seperti yang telah dijelaskan pada konteks kehidupan sosial sebelumnya bahwa dalam kenyataannya perempuan itu sendiri secara historis dan budaya dibentuk sewajarnya dan secara normal tidak diperkenankan melakukan apapun yang dalam konteks bersifat maskulin, sehingga juga akan menjadi hal yang sia-sia jika dia kemudian mengejar kediriannya melalui 3 hal yang telah disinggung pada bahasan sebelumnya yaitu narsisme, cinta, ataupun agama. Tetapi, apabila seorang perempuan itu sendiri produktif dan aktif, ia akan memperoleh kembali transendensinya. Sehingga dalam berbagai rencana, dia secara konkret membuktikan statusnya sebagai subjek. Sehubungan dengan tujuan yang dia raih dengan sumber daya dan hak yang diperolehnya, dia mencoba dan merasakan tanggungjawabnya. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa kombinasi tunggal akan hak untuk memilih dan pekerjaan, kemudian menghasilkan emansipasi yang utuh. Karena bekerja, di jaman sekarang, bisanya bukanlah kebebasan. Hanya dalam dunia sosialis, seorang perempuan akan mendapatkan keduanya. Pada kenyataannya mayoritas pekerja di jaman sekarang dieksploitasi.

Seni, literatur dan filsafat mungkin dapat dikatakan mencoba menemukan dunia baru tentang kebebasan itu sendiri, yaitu dari pencipta individu. Batasan-batasan yang sekarang ada baik oleh pendidikan dan adat yang diterapkan kepada perempuan terkadang membatasinya memahami semesta, ketika perjuangan untuk menemukan tempat seseorang dalam dunia ini terlalu sulit. Seseorang harus keluar darinya ke wilayah bebas jika seseorang ingin mencoba untuk mendapatkan kembali pemahaman tentang dirinya sendiri. Dan apa yang dibutuhkan perempuan pertama-tama adalah mencoba dengan tegas dan berani, acuannya dalam penyerahan dan keutamaan, yaitu dalam kebebasan itu sendiri. Hal ini sama halnya seperti yang ditulis oleh Marie Bashkirtsev,

“Apa yang aku inginkan adalah kebebasan untuk pergi berjalan sendiri, untuk datang dan pergi, untuk duduk di bangku-bangku di Tuileries Gardens. Tanpa kebebasan itu kamu tidak dapat menjadi artis tulen. Kamu percaya kamu dapat berhasil dengan apa yang kamu lihat ketika kamu ditemani oleh seseorang, ketika kamu harus menunggu kawanmu, keluargamu! Itulah kebebasan yang dengan tidak ada atau tanpanya kamu tidak dapat berhasil dengan serius menjadi sesuatu. Pikiran adalah terbatas sebagai akibat kebodohan dan terus dibatasi itu cukup untuk membuat sayapmu jatuh. Itulah salah satu alasan utama mengapa tidak ada artis perempuan.”

Maka, menurut pemahaman seperti ini, untuk menjadi seorang perempuan bebas dikatakan tidak hanya soal bagaimana memiliki hak untuk memilih, tetapi lebih jauh juga perlu menyandingkannya dengan konteks intelektualitas. Hal Ini berarti bahwa, untuk menggerakkan emansipasi perempuan itu, berarti lebih kepada membiarkan perempuan memiliki sikap merdeka, sehingga secara timbal-balik mencoba meyakinkan satu sama lain sebagai subjek. Sehingga satu sama lain akan menjadi dirinya masing-masing tanpa juga menghilangkan hubungan perasaan yang terjadi.

27.01.2018

Jakarta.