ecell
6 min readMar 2, 2023

Kembali Pulang

Serayu menempati janjinya— memberikan hadiah sebuah buket bunga. Haikal mungkin bisa saja membeli bunga sungguhan yang harganya bukan main, tapi melihat bunga-bunga mekar dari kertas origami yang diberikan oleh orang paling spesial membuatnya mengulas senyum. Dia terus memandangi bunga-bunga demi bunganya dan memotretnya untuk dia pamerkan di Instagram.

Serayu turut senang jika pemberiannya di hargai, bahkan sang penerima berterima kasih beberapa kali. Kebetulan tadi pagi dia sempat membawa satu pack origami ke sekolah, saat jam ada jam kosong, dia pakai itu untuk membuat bunga-bunga hingga berbentuk buket.

"Udah sana pulang, ngapain masih di sini?" kata Serayu.

"Kamu harus ikut aku dulu, Ra." Haikal lebih dulu memasukkan buketnya ke dalam tas lalu menarik pelan tangan Serayu.

Dia bawa perempuan itu menuju gerbang, sedangkan dia berbalik arah lagi untuk ke parkiran. Entah hendak kemana Haikal setelah ini, jalanan saja lumayan becek karena hujan tadi malam.

Semua pasang mata kini terarah pada Serayu dan Haikal. Sepasang teman yang mulai dekat lagi, seolah sekatnya di babat habis. Haikal jelas tak mau ambil pusing, toh mereka punya mata yang memang dipakai untuk melihat 'kan?

Berbanding terbalik dengan Serayu, dia sedikit risih juga, takut kalau mereka berpikir yang tidak-tidak. Beranggapan kalau Serayu itu murahan padahal pacarnya baru saja berpulang. Atau anggapan kalau Serayu sengaja mendekati Haikal karena bisnis ayahnya sedang terpuruk.

Memikirkan hal-hal seperti itu membuat pikiran Serayu berkecamuk, padahal belum tentu mereka berpikir sejauh itu.

"Hati-hati, Sera! Haikal makan orang!" Kata salah satu siswa di halte, dia terkekeh setelah mendapati sorot mata elang Haikal.

Satu orang lagi menimpali, "Haikal pacaran mulu, ayok lah kita tanding. Yang kalah makan ikan sapu-sapu."

Sialan memang, Serayu terkekeh geli mendengar menu baru dari siswa dengan name tag Dery.

"Sirik tanda tak mampu."

"Iya, nih. Nafkahin aku dong, om." Lagi, teman dari Dery, Luwi namanya, meledek seperti itu.

Mereka dengan Haikal itu sama, sama-sama geblek. Bedanya Haikal tau tempat, tapi mereka bertiga tidak.

Haikal memilih langsung menjalankan motornya usai memberikan dua lembaran berwarna merah pada tiga beban tadi.

Serayu baru tahu kalau Haikal berteman dengan mereka Manar, Luwi dan Dery. Dan anehnya, ketiga teman Haikal itu tau nama dia padahal kenalan saja tak belum pernah.

Keduanya beberapa kali kontak mata, si adam selalu saja memastikan Serayu lewat kaca spion.

"Pegel, gak?"

"Nggak."

"Panas banget hari ini, Ra. Biasanya mendung."

"Abis ini paling hujan."

Haikal kembali bertanya, "Haus?"

Pertanyaan tadi tak terdengar karena bunyi klakson dari arah belakang.

Haikal lalu berinisiatif untuk berhenti disebuah minimarket, meminta Serayu untuk tetap diam di tempat. Dia tidak lama di dalam, hanya membeli satu buah es krim dan minuman botol.

"Jangan cepet-cepet makannya, santai aja, Ra."

"Ini juga santai."

"Aku udah ngabarin A Jidan kalau adeknya mau di pinjem dulu."

"Mau kemana emang? Jujur aja aku mager."

"Ke tempat yang seru pokoknya. Mau, kan?"

"Boleh."

Motor Haikal kembali menerobos jalanan yang tengah sibuk, tidak ada pelan-pelannya. Tak ayal, dia menyalip beberapa mobil tanpa bilang dulu, atau tiba-tiba menyapa seseorang di jalan padahal di kanan-kiri ramai pengemudi.

Perjalanan 30 menit mereka habiskan hingga sampai pada sebuah toko bunga, dekat pemakaman. "Gantian, kamu kasih aku buket bunga, kamu juga harus kasih Agas kayak apa yang kamu kasih ke aku."

Serayu menatap Haikal sejenak, masih tak mengerti tujuannya berkata seperti itu apa. Dia sudah sering memberikan bunga hingga bunga-bunga yang dia beri layu atau rusak terbawa air hujan. Sengaja pula dia memberikan Haikal bunga karena dia tak punya hadiah besar karena Haikal saja sudah punya segala hal.

Karena paksaan Haikal pula, mereka sudah menapaki tanah pemakaman. Serayu sampai hapal jalannya, Haikal berjalan di belakang.

Mereka duduk bersebelahan dengan alas kardus bekas. Haikal memimpin untuk berdo'a dan menyiramkan satu botol besar air setelahnya.

Beberapa tangkai bunga yang Serayu beli dia taruh di batu nisan.

"Agas. Kita datang lagi. Bedanya, suasana hati yang kita bawa ke sini cukup baik." Serayu sibuk memerhatikan gundukan bersih tanpa rumput. Makamnya cukup terawat, seperti hampir setiap hari dibersihkan.

"Gas, Serayu boleh buat gue, gak? Masa gak boleh? Kan udah bukan hak milik lagi."

Serayu tahu kalau itu sebuah permintaan yang dibungkus oleh candaan. Haikal bahkan menatap si perempuan tanpa berkedip, Serayu diam saja.

Keduanya habiskan waktunya di sana, bercerita panjang lebar di makam Bagas.

Sampai sore menjemput, pukul 17.00 memaksa mereka untuk pulang. Sebelum itu Serayu sempat menangis karena tiba-tiba kangen katanya.

"Udah nangisnya?"

"Udah."

"Mau ikut aku atau mau pulang?"

"Males pulang, Kal. Ada A Jidan."

"Sama kakak sendiri masa males?"

"Kayak gak tahu dia aja."

"Yuk, udah sore."

Dia menjalankan lagi motornya, menuju jalan yang berbelok, hingga melewati sebuah perkampungan. Haikal mendadak ramah, semua orang yang dia lewati, disapa tanpa terkecuali. Sempat juga membeli takoyaki pinggir jalan dan memakannya berdua di atas motor. Sama sekali tidak romantis dan tidak modal.

Tapi Haikal berpesan seperti ini saat takoyaki pertama dia lahap habis. "Yang mahal itu moment-nya, Ra. Gak akan ke ulang lagi makan berdua di kondisi kayak gini."

Serayu tak masalah, yang jadi masalah hanya ibu-ibu pecinta gosip yang matanya sudah tertuju pada mereka. Mungkin sedang menggosipi yang tidak-tidak.

"Kita mau kemana lagi?" Serayu sebenarnya ingin merebahkan tubuh, tapi otaknya tetap ingin mengikuti kemana Haikal membawa raganya pergi.

Usai memarkirkan motornya, mereka berjalan beberapa meter sampai sebuah pasar malam terlihat lebih jelas meski sejak tadi bianglala sudah Serayu lihat.

"Mau naik kora-kora, gak?"

"Masih sore, gak seru."

"Tahu bulat mau? Atau cimol? Pop ice aja, ya?"

Haikal bertanya, meminta jawaban tapi dia tidak mendengarkan kata 'nggak' malah membeli beberapa makanan dan dua gelas pop ice. Mau tidak mau mereka makan semua itu sambil duduk di tanah beralaskan rumput

Dari posisi mereka sekarang duduk, mereka dapat menyaksikan matahari yang mulai tenggelam dan burung-burung berterbangan.

Sampai malam langit sudah seluruhnya temaram, Haikal memesan dua tiket untuk dirinya dan Serayu naik bianglala. Dia raih tangan Serayu, hati-hati agar perempuan itu duduk manis disebelahnya.

Bianglala mulai berputar pelan, Serayu diam-diam memegangi baju bawah Haikal. Dia tidak takut ketinggian, hanya sedikit kaget karena telah cukup lama tidak main ke pasar malam.

Sekarang, mereka berada di atas. Pemandangan dari atas terlihat semakin cantik— lampu-lampu berkilauan. Dari atas juga Serayu bisa melihat rumah-rumah yang terlihat kecil tapi elok dipandang mata.

"Kamu cantik, Ra." Tiba-tiba saja dia berceluk, Haikal bahkan tidak sadar kalau matanya terus memandangi Serayu yang masih menunduk. Bukan ikut menyaksikan pemandangan dari atas ketinggian.

Serayu tidak mendengar apa kata Haikal tadi, Suara Haikal yang samar hilang dimakan musik dari pedangan kaset.

"Makasih Haikal. Aku suka."

"Suka aku?"

"Suka liat pemandangan dari atas."

"Suka sama akunya kapan?"

"Nunggu A Jidan nikah."

"Yaudah besok aku suruh dia nikah."

"Pacar aja gak punya. Gimana bisa nikah?"

Mereka tertawa lagi sampai bianglalanya berhenti.

"Mau naik dua kali gak, A?" kata si Mamang sambil membukakan pintunya.

"Nggak, ah, Mang. Saya mau langsung beli tanahnya aja."

Serayu dibuat tergelak dua kali, Mamang berperawakan gendut itu dibuat mati kutu.

"Kamu beneran mau beli tanah ini, Kal?"

"Ya nggak atuh, duitnya aja belum liat. Ini gede lho, Ra."

"Siapa tahu beneran mau gitu, aku nanti jadi calo-nya."

"Udah jangan bahas tanah, takut ada biro pesugihan. Kamu mau apa lagi? Bilang mumpung belum terlalu malem."

Serayu tersenyum lalu menunjuk pada penjualan gula kapas.

"Itu aja?"

"Aku tahu diri kalau di traktir orang, Kal."

"Kamu sama aja merendahkan aku, Ra."

"Siap Baginda. Apapun akan saya makan."

"Mau telor gulung, gak?"

"Ayok kalau boleh."

"Pasti boleh." Haikal terus mengikuti kemana pun Serayu pergi sampai tangannya mulai penuh kantung plastik berisi jajanan.

Permintaan Haikal malah hanya satu, pergi ke penjual aksesoris yang letaknya paling pojok. Membeli sebuah kalung kupu-kupu berwarna biru.

Cantik. Sungguh.

Serayu yang memilih itu.

"Buat siapa? Mama kamu atau pacar kamu?"

"Buat kamu." Langsung dia memasangkan pada leher jenjang Serayu. "Nah, cocok!"

Serayu lantas menatap Haikal kemudian memeluk pemuda itu walau tangannya penuh dengan makanan. “Makasih udah bikin aku seneng, Ikal."

Sudah. Hanya sebentar. Hanya sebentar tapi mampu membuat Haikal membatu. Dia tak menyangka kalau Serayu memeluknya padahal dia hanya ingin melihat perempuan itu senyum lagi, seperti permintaan ayahnya.

"Hei?"

"Ayok pulang," Haikal menarik pelan tangan Serayu.

Tangan kirinya di genggam Haikal, sedangkan tangan kanannya terus dia gunakan untuk memasukkan telur gulung ke dalam mulut.

Setelah sampai parkiran, Haikal memasangkan helm pada Serayu sambil berkata, "Jangan di depan umum juga, Ra. Lama-lama kamu aku karungin."

Serayu tergelak. "Spontan. Aku cuma menyalurkan rasa bahagia aja."

"Makasih kalungnya," lanjut Serayu sebelum mereka berdua pulang.