ecell
2 min readFeb 6, 2023

Malam sebelum larut.

“Pa, Aren pulang.” Alih-alih mencari keberadaan sosok yang sudah lama tidak dijumpainya, Aren memilih abai karena pikirannya sudah kacau sedari tadi.

Setelah menyimpan sepasang sepatu pada rak samping pintu, dia bawa raga letih itu menaiki beberapa anak tangga. Derap yang tercipta sangat pelan, menandakan kalau Aren jauh dari kata baik.

“A?”

Panggilan tadi kontan mengalihkan Aren yang sudah benar-benar ingin merebahkan diri. “Iya, Pa. Kenapa? Butuh apa?” tanyanya.

“Gak kangen sama Papa.”

“Pertanyaannya bikin Aren bosen.”

“Kenapa gak bareng Caka?” Papa bertanya sembari meletakkan kopinya ke atas meja.

Dari atas tangga, Aren bisa melihat wajah lelah Papanya. Dia lalu menjawab, “Caka di rumah Manar. Nanti juga pulang.”

Papa berniat menghampiri anak sulungnya, tapi respon dari Aren seperti orang yang tak suka— dia sampai menarik nafas berat.

“Papa mau ngobrol sebentar.”

“Nanti kalau Caka udah pulang. Jangan libatkan Aren kalau bahasan Papa cuma Caka, Caka, Caka terus.”

“Kamu tahu, kan, gimana jadinya kalau Caka lepas dari pengawasan?”

“Papa tahu? Kalau tahu kenapa gak coba pantau anak Papa sendiri? Kenapa lebih milih jarang pulang?”

“Jarang pulang bukan pilihan, A. Papa kerja, supaya kalian gak pernah ngerasain apa itu hidup susah.”

Jujur, ada sakit yang Aren pendam sejak lama. Seperti marahnya yang tertahan, atau jengkel berkepanjangan.

Aren muak, jujur. Kalau saja dia tidak kasihan pada si bungsu, sudah dari lama dia tinggalkan kota Bogor ini. Karena dunia yang Aren punya tidak secantik dunia milik orang lain, lebih banyak sedih ketimbang tawa.

“Papa minta waktu kamu sebentar, A.”

“Waktu Aren banyak buat Papa, tapi ngga sekarang. Nanti, Pa. Kalau topik Papa lebih dominan ke Aren.”

Bukan pasal si Kakak mencemburui adiknya, Aren hanya butuh perhatian lebih. Sebab katanya, anak pertama itu bebannya paling berat, pundaknya selalu dipaksakan kuat oleh keadaan.

Lantas, Papa membatu, menatap mata sang anak dengan tatapan paling tulus, berharap kalau Aren tidak se-keukeuh tadi. Sambil mengusap pucuk kepala Aren, Papa berujar, “Kamu itu Kakak.”

“Bukan berarti fokus Papa selalu ke Caka, kan?” tanyanya memastikan. Dia lemparkan pandangannya kemudian.

“Gak melulu soal Caka kalau kamu bisa ambil sisi positif dari apa yang Papa bilang, Aren.”

Aren terkekeh sedikit, kembali menatap mata Papanya. “Papa bisa turun sekarang.”

Diposisi ini, Papa mundur atas kerasnya watak sang anak. Kalau dibandingkan dengan Caka, Papa selalu bilang bahwa Aren lebih keras kepala. Namun Papa tidak sadar kalau kedua anaknya tidak bisa dijalankan bahan perbandingan.