SAMPAH MENGGUNUNG, SEMUA BINGUNG

Oleh: Achmad Ghifari Nur, Arkaan Rasyad Usman, Fariq Fauzi, Fiona Fidelia da Costa, M. Nadhif Rajendra Yussanto, Salomo Romulus

Mesin Learning HMM ITB
13 min readOct 30, 2023

1. KILAS BALIK DARURAT SAMPAH DI WILAYAH BANDUNG RAYA

Wilayah Bandung Raya mengalami kondisi darurat sampah setelah terjadi kebakaran pada tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, pada 19 Agustus 2023 [1]. Peristiwa ini menyebabkan TPA Sarimukti perlu ditutup untuk sementara waktu sehingga terjadi penumpukan sampah di ruas-ruas jalan Bandung, termasuk di wilayah Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sekitarnya. Selain menyebabkan penumpukan sampah, kebakaran TPA Sarimukti memberikan dampak bagi kesehatan masyarakat sekitar TPA. Berdasarkan data dari Posko Kesehatan Puskesmas Cipatat hingga Sabtu siang, 26 Agustus 2023, sebanyak 246 warga mengalami ISPA sebanyak dan 19 warga mengalami konjungtivitis [2].

Tumpukan sampah di sekitar ITB [3]

Adanya tumpukan sampah di TPA Sarimukti, yang mengalami kebakaran, menandakan bahwa produksi sampah yang dikirim ke TPA sudah melebihi kapasitas tampung (overloaded). Terbukti, pada Mei 2023, terdata bahwa TPA Sarimukti mengalami overloaded sebesar 786,44 persen [4]. Selain di TPA Sarimukti, beberapa TPA lain di Indonesia juga sempat mengalami kasus overloaded pada 2023, yaitu TPA Cipayung, Depok [5]; TPA Putri Cempo, Surakarta [6]; TPA Pesalakan, Pemalang [7]; dan TPA Piyungan, Sleman [8].

Kasus-kasus tersebut menandakan ketidakefektifan sistem pengelolaan sampah kota di Indonesia, terutama di kota-kota besar yang ramai penduduk. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi maupun memilah sampah kota membuat mayoritas sampah-sampah tersebut dibuang menuju TPA. Apabila tidak segera disolusikan, Indonesia akan terkena imbasnya. Ditambah lagi, pada tahun 2019 sampai dengan 2022, terjadi tren peningkatan timbulan sampah secara nasional yang ditunjukkan oleh tabel dan grafik di bawah.

Tabel timbulan sampah nasional pada tahun 2019–2022
Grafik timbulan sampah nasional dari 2019–2022

Atas dasar permasalahan-permasalahan yang telah dijelaskan, dipublikasikanlah “Mesin Learning” tentang metode pengelolaan dan pengolahan sampah yang difokuskan hanya pada sampah kota padat atau municipal solid waste (MSW).

2. BAGAIMANA CARA MENGELOLA SAMPAH KOTA DENGAN BENAR?

The Waste Framework Directive (WFD) 2008/98/EC adalah milestone dari pengelolaan sampah modern di Uni Eropa [10]. Pada WFD, diperkenalkan hierarki sampah (waste hierarchy) yang merupakan urutan prioritas dari aksi pengelolaan sampah secara berurutan prevention, preparing for reuse, recycling, other recovery, dan disposal. Pada tulisan ini, definisi dari masing-masing metode tersebut dilandaskan pada pasal ketiga WFD [11] seperti berikut.

a. Prevention, yaitu pengukuran yang diambil sebelum material/produk telah menjadi sampah sehingga mengurangi kuantitas sampah, dampak negatif dari sampah terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta kandungan berbahaya dari material/produk.

b. Preparing for reuse, yaitu pengecekan, pembersihan, atau perbaikan operasi-operasi pemulihan dengan cara mempersiapkan sampah agar dapat digunakan kembali (reuse) tanpa perlu diproses terlebih dahulu.

c. Recycling, yaitu semua operasi pemulihan dengan cara memproses kembali material-material sampah menjadi produk, material, atau kandungan baik sesuai maupun tidak sesuai tujuan awalnya. Proses ini melingkupi pemrosesan ulang dari material organik, tetapi tidak melingkupi proses pemulihan energi (energy recovery) maupun pemrosesan ulang sampah menjadi material dari bahan bakar ataupun backfilling.

d. Other recovery, yaitu semua operasi pemulihan yang tidak termasuk dalam kategori recycling, seperti pemulihan energi, pemrosesan ulang sampah menjadi material dari bahan bakar atau backfilling.

e. Disposal, yaitu semua operasi yang tidak termasuk pemulihan sampah.

Hierarki pengelolaan sampah [12]

Berdasarkan waste hierarchy, metode reduce, reuse, dan recycle menempati posisi tiga teratas pada piramida secara berturut-turut dari yang tertinggi. Recycle merupakan metode efektif dalam mengelola sampah yang telah terproduksi (metode reduce tidak mungkin dilakukan) dan tidak bisa digunakan kembali tanpa diproses dahulu (metode reuse tidak mungkin dilakukan).

Sebelum metode recycle dilakukan, sampah perlu dipilah terlebih dahulu dalam beberapa kategori. Kategorisasi sampah itu sendiri memiliki berbagai variasi tergantung konteks dan kebutuhan. Dalam lingkungan ITB, tempat sampah dikategorisasi menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah tempat sampah organik, sampah daur ulang, sampah residual, sampah taman, dan limbah medis seperti pada gambar-gambar berikut. Perlu dicatat, sampah taman sebenarnya merupakan sampah organik karena berasal dari makhluk hidup dan mengandung unsur karbon di dalamnya. Pemisahan sampah taman terhadap sampah organik lain mungkin disebabkan oleh kebutuhan kampus ITB itu sendiri dalam pemilahan sampah.

Kategorisasi tempat sampah di ITB

Meskipun recycle telah banyak dipraktikkan, tidak semua sampah mampu didaur-ulang. Oleh karena itu, perlu metode lain untuk mengelola sampah-sampah tersebut. Daripada langsung dibuang ke TPA, lebih baik sampah-sampah tak daur-ulang dipulihkan kembali, salah satunya adalah dalam bentuk pemulihan energi. Opsi ini termasuk ke dalam proses other recovery pada waste hierarchy. Opsi terakhir dalam pengelolaan sampah adalah pembuangan langsung tanpa pemulihan (disposal). Salah satu contoh umum dari pengelolaan sampah berupa disposal adalah landfill, yaitu metode penguburan sampah ke dalam tanah dari lahan yang telah disediakan.

Lalu, bagaimana aktualisasi pengelolaan sampah di Indonesia? Berdasarkan data KLHK tahun 2022, kurang lebih 65,83% sampah di Indonesia masih diangkut dan ditimbun di landfill [13]. Padahal, pengelolaan sampah dengan metode landfill berpengaruh terhadap produksi metana dan karbondioksida sebagai hasil dekomposisi bahan-bahan organik. Metana itu sendiri merupakan gas rumah kaca yang mudah terbakar sehingga meningkatkan probabilitas terjadinya kebakaran di sekitar landfill, terutama saat kemarau. Selain itu, metode landfill juga rentan menyebabkan terjadinya pencemaran air dan tanah sehingga merugikan masyarakat sekitarnya [14]. Terkait hal ini, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Rosa Vivien Ratnawati, membuka suara pada kegiatan workshop “Pengelolaan Sampah dalam rangka Pengendalian Perubahan Iklim, Penguatan Ketahanan Pangan dan Pengembangan Ekonomi Rakyat” di Bandung pada 7 Juni 2023 [13].

“Beban tempat pemrosesan akhir yang berat, membuat pengelolaan sampah menjadi tidak optimal dan berpotensi untuk menimbulkan permasalahan lingkungan seperti pencemaran lingkungan, longsor sampah, dan juga perubahan iklim dikarenakan emisi gas metana dari timbunan sampah di landfill,” ucap, Vivien.

3. TEKNIK PENGOLAHAN SAMPAH KOTA

Seperti yang telah dijelaskan, pemulihan sampah melalui recycling ataupun pemulihan lainnya merupakan metode pengelolaan sampah yang diprioritaskan setelah reduce dan reuse. Namun, untuk melakukan pemulihan sampah, perlu dilakukan pengolahan sampah agar dapat menjadi bahan yang siap didaur ulang. Pada tulisan ini, teknik pengolahan sampah dibagi menjadi dua, yaitu pengolahan secara biologis (biological treatment) dan termal (thermal treatment).

3.1 Pengolahan Biologis

Pengolahan ini merupakan teknik pemrosesan sampah yang dilakukan secara biologis yang mengandalkan peran makhluk hidup, seperti mikroorganisme. Secara umum, pengolahan biologis melibatkan degradasi sampah oleh mikroorganisme sehingga hanya dapat diterapkan pada sampah organik. Karena pengolahan biologis seringkali diiringi dengan proses pemilahan dan pre-treatment mekanikal, istilah mechanical and biological treatment (MBT) seringkali digunakan, alih-alih biological treatment saja. Dua contoh dari metode ini adalah pengomposan dan digestasi anaerobik.

Pengomposan merupakan proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap material organik secara aerobik sehingga memperlukan keberadaan oksigen sebagai reaktan [15]. Produk dari reaksi pengomposan adalah kompos dan karbondioksida. Berdasarkan definisi yang ditetapkan oleh Waste Framework Directive (WFD) 2008/98/EC, pengomposan termasuk dalam proses recycling pada waste hierarchy karena merupakan pemrosesan ulang sampah organik. Dengan demikian, pengomposan merupakan salah satu metode pemulihan sampah yang diprioritaskan pada sampah organik, jenis sampah yang dominan di Indonesia sesuai dengan diagram berikut (sisa makanan dan kayu/ranting merupakan sampah organik).

Komposisi sampah berdasarkan jenis [9]

Sementara itu, digestasi anaerobik merupakan proses fermentasi bahan organik oleh bakteri anaerob pada kondisi tanpa oksigen bebas [16]. Proses digestasi anaerobik secara garis besar ditunjukkan oleh skematik berikut.

Proses digestasi anaerobik [15]

Gas metana yang dihasilkan dari digestasi anaerobik dapat digunakan sebagai bahan bakar berjenis biomassa. Hal tersebut telah diterapkan pada Bio-Coal Briquette, sebuah briket batubara berbahan dasar eceng gondonk yang diproduksi oleh Biomass Operating System of Saguling (BOSS). Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif dengan mengkonversi biomassa menjadi biogas melalui proses digestasi anaerobik yang menghasilkan gas metana atau menjadi bahan bakar padat berupa briket biocoal melalui proses pengolahan eceng gondok. Proses ini merupakan pemulihan energi sehingga berdasarkan definisi yang ditetapkan dalam Waste Framework Directive (WFD) 2008/98/EC, digestasi anaerobik termasuk dalam proses other recovery pada waste hierarchy.

Briket Bio-Coal dari Eceng Gondok [17]

3.2 Pengolahan Termal

Pengolahan ini menggunakan prinsip-prinsip termal dalam pengoperasiannya. Untuk meminimalisasi timbulan sampah di TPA, sampah kota yang tidak dapat diguna-ulang maupun daur-ulang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar [18]. Bahan bakar yang berasal dari sampah disebut sebagai refuse derived fuel (RFD).

Ada empat metode pengolahan termal pada sampah kota yang dijelaskan pada tulisan ini, yaitu insinerasi, gasifikasi, pirolisis, dan hidrotermal. Masing-masing metode tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

a) Insinerasi

Insinerasi merupakan pembakaran langsung (direct combustion) dari sampah kota atau RFD pada temperatur tinggi, yaitu di atas 800°C [15]. Untuk optimalisasi pembakaran, sampah kota dapat diolah secara mekanikal terlebih dahulu, seperti dipilah, dicacah, dan/atau diolah menjadi briquette atau pellet. Pembakaran pada insinerasi menghasilkan udara bertemperatur tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber panas pada boiler. Uap hasil pemanasan fluida dalam boiler kemudian dapat digunakan untuk menggerakkan turbin dan generator listrik [19]. Akan tetapi, udara yang dihasilkan dari insinerasi perlu diolah lebih lanjut sebelum dilepaskan ke lingkungan untuk mengurangi permasalahan lingkungan. Abu yang dihasilkan menempati volume yang jauh lebih kecil daripada sampah kota yang tidak diinsinerasi, sehingga mengurangi isi yang akan menempati landfill (TPA).

Proses insinerasi (pembakaran langsung) [15]

b) Gasifikasi

Gasifikasi merupakan suatu teknik pemanasan dalam kondisi oksigen atau udara yang terbatas, sehingga terjadi konversi sampah kota menjadi gas. Sebelum dilakukan gasifikasi, sebaiknya sampah kota diolah dan dipilah terlebih dahulu. Proses gasifikasi mampu mengkonversi energi kimia dari sampah kota menjadi energi kimia dalam bentuk gas dengan nilai efisiensi sekitar 80 persen. Pemanasan untuk terjadinya konversi biasanya terjadi pada temperatur 900–1000°C menggunakan udara atau 1000–1400°C menggunakan oksigen.

Hasil dari gasifikasi merupakan syngas, dengan lower heating value (LHV) sebesar 4-6 MJ/Nm3 ketika dilakukan dalam lingkungan udara biasa dan 10-18 MJ/Nm3 ketika dilakukan dalam lingkungan oksigen. Meski memiliki nilai kalor lebih rendah, gasifikasi dalam lingkungan udara lebih banyak digunakan secara komersial karena jauh lebih murah daripada menggunakan oksigen murni. Syngas yang dihasilkan dapat digunakan untuk beberapa aplikasi, seperti boiler dengan bahan bakar gas, turbin gas, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG/PLTGU), dan aplikasi rumah tangga [19].

c) Pirolisis

Pirolisis merupakan proses degradasi termal dari sampah kota menjadi bahan bakar cair (pyrolysis oil), gas (syngas), dan residu padat (char dan abu) pada lingkungan inert, tanpa oksigen. Pirolisis biasanya dilakukan pada rentang temperatur 400–800°C. Tidak seperti insinerasi yang menggunakan sampah kota sebagai bahan bakar, pirolisis dapat terjadi apabila ada pemanasan eksternal. Pembakaran eksternal tersebut dapat dimulai dengan pembakaran gas dan kemudian dapat dilanjutkan oleh pembakaran gas hasil pirolisis itu sendiri.

Produk hasil pirolisis [20]

Porsi dari ketiga produk pirolisis yang dihasilkan, yaitu syngas, oli pirolisis, dan abu, bergantung pada temperatur operasi dari pemanasan. Jika pirolisis dilakukan pada temperatur di atas 800°C, produk utamanya adalah syngas. Jika pirolisis dilakukan pada temperatur rendah, produk utamanya adalah oli pirolisis. Syngas dari pirolisis MSW diestimasi memiliki LHV sebesar 10–20 MJ/Nm3.

Skematik keenergian dari pirolisis [20]

d) Hidrotermal

Hidrotermal, atau torefaksi basah, adalah proses termokimia yang terjadi melalui peluluhan material bermedia air bertekanan. Sampah atau limbah yang umumnya diolah dengan proses hidrotermal adalah plastik dan biomassa. Hidrotermal dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan produk yang dihasilkan, yaitu hidrotermal karbonisasi (produk berupa padatan), hidrotermal likuifikasi (produk berupa cairan), dan hidrotermal gasifikasi (produk berupa gas). Perbedaan produk yang dihasilkan dari masing-masing jenis hidrotermal tersebut dipengaruhi oleh temperatur operasinya. Hidrotermal karbonisasi dioperasikan pada temperatur 100-200 °C, hidrotermal likuifikasi dioperasikan pada rentang temperatur 200-350 °C, sedangkan hidrotermal gasifikasi dioperasikan pada rentang temperatur 350-700 °C) [21].

Produk hasil proses hidrotermal tidak dapat langsung digunakan karena kadar air yang masih tinggi. Untuk mengurangi kadar air yang berlebih, perlu dilakukan proses pengeringan. Kemudian, kandungan potasium dari biomassa bisa berkurang setelah diproses dengan metode torefaksi basah. Hal tersebut dapat meningkatkan nilai kalor pada produk padatan yang dihasilkan. Torefaksi basah juga bisa mengangkut komponen nutrisi dari biomassa menjadi produk cair yang bisa digunakan sebagai pupuk organik cair.

4. BEBERAPA PENELITIAN TENTANG PENGOLAHAN SAMPAH PADA PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN ITB

Dari beberapa metode pengolahan sampah kota, pirolisis merupakan salah satu metode pengolahan sampah kota yang beberapa kali dijadikan penelitian dalam Lab Termodinamika Teknik Mesin ITB. Dalam rangka meningkatkan nilai kebermanfaatan dari sampah, dilakukan analisis termodinamika dari pirolisis berbagai jenis sampah. Beberapa contoh pirolisis sampah kota yang pernah diteliti dan dianalisis adalah pirolisis plastik tak daur-ulang, pirolisis limbah masker, dan pirolisis puntung rokok.

a. Pirolisis plastik tak daur-ulang

Penelitian tentang pirolisis plastik tak daur ulang dilakukan oleh Arianto Gunawan [22]. Dalam penelitian ini, digunakan dua jenis sampel, yaitu limbah plastik yang sudah ditorefaksi basah dan limbah plastik tanpa perlakuan awal. Limbah yang diolah berupa campuran dari bungkus mi instan dan sachet minuman sebanyak 200 gram. Pirolisis dilakukan pada variasi temperatur 400 °C, 450 °C, dan 500 °C selama 120 menit. Pada penelitian ini, gas nitrogen dialirkan dengan kecepatan 200 mililiter per menit selama 35 menit untuk menghilangkan kandungan oksigen yang terdapat pada reaktor. Penelitian ini juga tidak menggunakan katalis jenis apapun.

Nilai HHV dari sampel yang diberlakukan torefaksi basah terlebih dahulu adalah 48.7 MJ/kg (temperatur 450 °C) dan 45.2 MJ/kg (temperatur 500 °C). Nilai HHV yang didapatkan dari sampel plastik tanpa perlakuan awal adalah 48.8 MJ/kg (temperatur 450 °C) dan 45.5 MJ/kg (temperatur 500 °C). Jika dilihat dari nilai HHV saja, minyak pirolisis ini sudah bisa menggantikan bahan bakar premium, pertamax, dan solar. Namun, nilai densitas dan nilai viskositas kinematik yang didapatkan lebih tinggi dari pada standar bahan bakar premium, pertamax, dan solar. Karakteristik dari minyak pirolisis secara keseluruhan sudah menyerupai minyak tanah.

Kemudian, net energi yang didapatkan selama penelitian ini bernilai positif, artinya energi yang terkandung dalam minyak hasil pirolisis lebih besar daripada energi yang diperlukan dan energi yang hilang selama proses pirolisis berlangsung.

b. Pirolisis limbah masker

Penelitian lainnya adalah pengolahan limbah masker menjadi bahan bakar cair yang dilakukan oleh Aldy Ramadhana Putra [23]. Limbah yang digunakan sebanyak 200 gram di temperatur 440-550 °C dengan tekanan atmosfer. Hasil dari penelitian ini dilihat dari nilai densitas, viskositas dinamik, viskositas kinematik, dan nilai kalor.

Dari hasil penelitian ini, didapatkan temperatur optimum pada 460 °C setelah dilihat dari persentase minyak yang dihasilkan dan nilai kalor yang didapatkan. Minyak pirolisis yang dihasilkan telah memiliki karakteristik yang hampir menyerupai bensin pertamax apabila dilihat dari segi densitas yang bernilai 764,8 kg/m3, rentang rantai karbon, dan nilai HHV yang bernilai 45,06 MJ/kg. Nilai viskositas dinamik dan kinematik secara berturut-turut adalah 0,87 cP dan 1,1 eSt, mendekati karakteristik minyak tanah. Lalu, net energi bisa dipertahankan positif ketika sampel yang diolah minimal sebanyak 200 gram sampel. Dengan demikian, minyak pirolisis yang dihasilkan dari pengolahan limbah masker sudah bisa digunakan sebagai alternatif bahan bakar untuk pembakaran langsung.

c. Pirolisis puntung rokok

Penelitian terakhir yang dibahas pada tulisan ini adalah penelitian tentang pengolahan puntung rokok menjadi bahan bakar padat yang dilakukan oleh Panji Ramajaya [24]. Limbah yang digunakan pada penelitian ini adalah puntung rokok yang diolah pada rentang temperatur 350-450 °C selama 60 menit. Pada temperatur 450 °C, nilai kalor mengalami peningkatan tertinggi, nilai karbon meningkat cukup tinggi dan zat terbang menurun secara drastis. Karakteristik dari produk ini sudah hampir menyerupai batu bara sub bituminus B. Hasil dari penelitian ini adalah dipilihnya karakteristik pada temperatur 350 °C sebagai parameter optimum karena net energi dan densitas produknya mencapai titik tertinggi.

5. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa metode yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi timbulan sampah di Indonesia. Dari berbagai macam metode pengelolaan sampah, konversi sampah menjadi energi merupakan topik yang menarik dalam dunia rekayasa. Meski saat ini waste-to-energy bukanlah metode yang paling diprioritaskan, metode tersebut tetap lebih baik daripada pembuangan langsung ke TPA.

Lantas, bagaimana cara menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia? Langkah yang sekarang juga dapat diterapkan oleh masyarakat umum adalah belajar tentang pengelolaan dan pengolahan sampah kota. Karena itulah, tulisan ini dibuat bukan untuk memberikan solusi eksak atas permasalahan sampah yang ada di Indonesia, melainkan untuk “membuka mata” para pembaca tentang urgensi permasalahan sampah di Indonesia dan juga untuk mendidik pembaca tentang pengelolaan dan pengolahan sampah. Dengan begitu, pembaca dapat memiliki bekal pengetahuan tentang hierarki pengelolaan sampah, urgensi pemilahan sampah sesuai jenisnya, metode-metode pengelolaan sampah, dan teknik-teknik pengolahan sampah.

Setelah dibekali pengetahuan dan wawasan tentang sampah, para pembaca diharapkan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (atau bahkan dalam kehidupan profesional) dan juga menyebarluaskan ilmu tersebut kepada orang-orang terdekat. Apabila para pembaca memiliki ketertarikan lebih dan ingin mendalami dunia kerekayasaan, kami harap ilmu yang pembaca dalami, entah tentang teknologi sampah atau bukan, dapat bermanfaat bagi Indonesia dan umat manusia.

Demikian, Mesin Learning kali ini usai.

REFERENSI

[1] https://www.itb.ac.id/berita/darurat-sampah-di-bandung-raya-itb-siapkan-6-tim-dari-berbagai-multidisiplin/59837

[2] https://www.bbc.com/indonesia/articles/c2l8vg5wpxno

[3] Yogi Syahputra on X: “‼️ITB DARURAT SAMPAH‼️ Saat ini terjadi 3 titik penumpukkan sampah di sekitar kampus ITB Ganesha. Masing di Bonbit, Sabuga, dan Saraga. Hal tersebut merupakan implikasi dari kebakaran TPA Sarimukti yg terjadi semenjak 3 minggu lalu dan belum benar2 terpadamkan hingga hari ini. https://t.co/GlWIUXj6Mo" / X (twitter.com)

[4] Mulai Normal, Pembuangan Sampah ke Sarimukti Disegerakan (detik.com)

[5] https://news.detik.com/berita/d-6792516/tpa-cipayung-depok-overload-pupr-kucurkan-rp-70-m-untuk-tps-terpadu

[6] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230916151117-20-999856/tpa-putri-cempo-di-solo-terbakar-imbas-cuaca-panas

[7] https://www.detik.com/jateng/berita/d-6915232/tpa-pesalakan-pemalang-terbakar-pemadaman-butuh-waktu-2-minggu

[8] https://news.republika.co.id/berita/ryataf463/tpa-piyungan-overload-tempat-penampungan-sampah-cangkringan-disiapkan-untuk-sementara

[9] SIPSN — Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (menlhk.go.id)

[10] (2022) An overview of the waste hierarchy framework for analyzing the circularity in construction and demolition waste management in Europe

[11] EC, 2008. Directive 2008/98/EC of the European Parliament and of the Council of 19 November 2008 on waste and repealing certain Directives (text with EEA relevance) URL https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=

[12] Waste Framework Directive (europa.eu)

[13] https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/7218/dirjen-pslb3-harus-ada-upaya-komprehensif-dari-hulu-ke-hilir-menuntaskan-persoalan-sampah

[14] Alamsyah A. (2015). ASSESSING THE CO-FIRING POTENTIAL AND INFLUENCE OF PLASTIC WASTE IN LOW RANK COAL AND REFUSE-DERIVED FUEL BLENDS WITH THERMOGRAVIMETRIC ANALYSIS APPROACH

[15] Gea Mumin (2015) EXPERIMENTAL STUDY ON MSW PROCESSING AND SEPARATION BY EMPLOYING WET TORREFACTION PROCESS

[16] Siddharth. S., 2006. Green Energy Anaerobic Digestion. Proceedings Of The 4th WSEAS Int. Conf. On Heat Transfer, Thermal Engineering And Environment, Elounda, Greece

[17] https://ebtke.esdm.go.id/post/2020/02/14/2475/

beragam.manfaat.biomassa.berbasis.sampah.dan.eceng.gondok.di.saguling?lang=id

[18] E. Damanhuri, Tri Padmi, and Penerbit ITB, Pengelolaan sampah terpadu

[19] Kementerian ESDM RI (2015) Waste to Energy Guidebook

[20] Mauritz Daniel Mangiring Siahaan(2022) OPTIMASI DESAIN REAKTOR PIROLISIS SKALA BESAR PENGOLAH SAMPAH PLASTIK TIDAK DAUR ULANG

[21] Victoriano Jonathan Lendeng(2020) PENGOLAHAN KOTORAN SAPI MENJADI BAHAN BAKAR PADAT DAN PUPUK CAIR MENGGUNAKAN PROSES TOREFAKSI BASAH

[22] Arianto Gunawan (2014) STUDI PEMANFAATAN SAMPAH PLASTIK TIDAK DAUR ULANG MENJADI BAHAN BAKAR CAIR DENGAN PROSES TORRE-PYROLYSIS

[23] Aldy Ramadhana Putra (2023) Konversi Limbah Masker Menjadi Bahan Bakar Cair Menggunakan Proses Pirolisis

[24] Panji Ramajaya(2023) Studi Pemanfaatan Puntung Rokok Menjadi Bahan Bakar Padat Menggunakan Proses Pirolisis

--

--