Kasih Anak Sepanjang Masa

Meutia Faradilla
4 min readJan 7, 2024

--

Photo by Wallace Chuck: https://www.pexels.com/photo/person-covered-with-white-textile-2945535/

Seumur hidupku aku selalu dicekoki konsep kasih orang tua sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan. Seumur hidup aku selalu diberi tahu bahwa kasih orang tua bersifat tanpa batas, sementara kasih anak berhingga. Ketika aku kecil, cerita yang kudengar adalah tentang Malin Kundang yang durhaka. Cerita ini selalu digunakan untuk menakuti-nakuti kami agar menjadi anak yang penurut. Kalau tidak, orang tua akan mengutuk, dan kutukan orang tua pasti akan dikabulkan oleh Tuhan. Anak harus selalu hormat dan patuh pada orang tua. Orang tua selalu benar. Tanpa cela. Surga ada di telapak kaki ibu. Restu Tuhan ada pada restu orang tua.

Namun, tak ada yang membelaku saat tulang pahaku ditekan hingga biru ketika aku menangis. Hingga tangis itu terhenti karena kesakitan. Tak ada pertolongan bagiku saat aku didudukkan di dapur yang gelap di depan piring berisi muntahanku sendiri dan dipaksa untuk memakannya. Tak ada yang menghapus air mataku ketika aku dikurung di dapur yang gelap itu. Tak ada yang menyelamatkanku ketika kepalaku diinjak di suatu sore yang temaram. Tak ada yang mengusap punggungku setelah wajahku dicoret-coret dengan spidol boardmarker dan aku dimaki sebagai anak bodoh dan tolol karena tak kunjung mengerti konsep matematika sederhana. Tak ada yang memelukku ketika aku diteriaki lonte. Tak ada yang memujiku ketika pertama kali aku mendapatkan angka 8 pada pelajaran matematika. Tak ada yang menyemangatiku ketika aku diancam harus mengembalikan seluruh uang yang telah dibahbiskan kedua orangtuaku, hanya karena aku ingin bekerja di bidang yang lain. Hanya ada aku sendiri yang menahan luka dan badai. Aku sendiri yang menebalkan benteng diri, menabahkan hati, menguatkan perisai, dan berusaha tetap tegar menghadapi dunia. Meski aku selalu bertanya, mengapa aku tetap hidup.

Ketika semua itu terjadi, aku kembali mengingat petitih yang selalu dikatakan kepadaku. Bahwa orang tua selalu benar. Anak harus selalu menurut perintah orang tua. Rida Tuhan ada beserta rida orang tua. Namun, ketika semua itu terjadi, aku bertanya mengapa Tuhan mengizinkannya? Mengapa tak ada perintah agar orang tua berbuat santun pada anak-anaknya? Mengapa tak ada nasihat agar orang tua menjaga muruah anak? Mengapa anak harus berbakti pada orang tua yang seperti itu? Mengapa bila sang anak melawan atau memutuskan untuk pergi, ia dikatakan sebagai anak yang durhaka? Mengapa anak tak boleh berkata “ah”, tapi orang tua boleh mengeluarkan kata-kata yang melecehkan perasaan anak?

Yang paling menyakitkan dari pengalaman itu adalah mereka yang sok tahu dan menasihati agar seorang anak yang terluka memaafkan sang orang tua. Seolah-olah memaafkan itu semudah membalikkan telapak tangan. Mereka pikir memaafkan itu tidak membutuhkan proses yang kompleks dan panjang. Mengurai apa yang sudah terjadi, memberi jarak antara diri kita saat ini dan kejadian lampau yang begitu menyakitkan. Mengizinkan perspektif baru hadir bahwa kita adalah manusia utuh yang sudah aman, tidak lagi mengalami kejadian menyakitkan tersebut. Memaafkan tak semudah itu. Apalagi kalau tak ada perubahan perilaku. Mereka pikir mudah memaafkan seseorang yang menyakiti dengan cara yang sama secara berulang-ulang?

Itu baru proses yang kompleks dan panjang untuk mengurai luka yang tertoreh begitu dalam. Belum lagi kita bicara soal dampak yang harus ditanggung akibat segala luka yang pernah terjadi. Rendahnya rasa percaya diri. Kebiasaan keras pada diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri. Kebingungan memulai dan menjalani relasi dengan orang lain. Kesulitan memiliki relasi yang sehat. Sinisme pada dunia. Ketidakmampuan untuk terbuka dan menjadi rapuh di hadapan orang yang disayang. Mudah curiga. Terlalu banyak dampak dari luka yang ditorehkan oleh orang tua pada anak yang bahkan tak pernah meminta untuk dilahirkan. Yang bergantung pada orang tua sejak hari pertama ia hadir ke dunia. Yang semestanya hanya berisi kedua orang tuanya hingga ia mengenal rekan sebaya dan saudara-saudaranya yang lain. Anak yang selalu berusaha mendapatkan cinta orang tuanya, terlepas bagaimana pun ia diperlakukan. Ia yang akan menyesuaikan diri agar terus merasa aman dan mendapatkan sensasi dicintai dan dihargai oleh orang tua yang bahkan tak berpikir apakah perbuatan dan perkataannya melukai sang anak.

Siapa yang harus menanggung semua dampak itu? Siapa yang harus bekerja keras memproses dan memperbaiki itu semua? Siapa yang harus menanggung lelah dan frustrasi karena masalah akibat luka yang dimiliki tak kunjung selesai? Siapa yang harus menahan tangis karena terpantik ingatan tentang luka? Siapa yang harus menghabiskan waktu dan biaya untuk memproses luka-luka yang dimilikinya?

Tolong, jangan bilang padaku soal bakti. Apalagi soal memaafkan. Bakti dan memaafkan tak akan bisa hadir dengan tulus tanpa ada proses yang mendahuluinya. Dan proses ini tidak pernah berlangsung secara cepat. Tidak pernah mudah. Tidak pernah mulus. Tak akan mungkin muncul rasa sayang dan peduli tanpa kelapangan dada menerima bahwa luka bukanlah identitas yang melekat pada diri. Tak mungkin ada kasih tanpa pemahaman lebih tentang dinamika keluarga. Tak mungkin ada rida tanpa kesadaran.

Bagiku, bukan kasih orang tua yang sepanjang masa. Kasih anak lah yang bertahan sepanjang masa. Mulai dari ia lahir hingga akhirnya ia memutuskan untuk terus menjaga dan merawat sang orang tua. Bagaimana pun orang tua menetapkan standar dan harap pada anak, anak akan selalu diminta mengerti keadaan orang tua, dan ia akan memahami pada akhirnya. Jangan suruh kami, anak-anak yang terluka, untuk memaafkan. Karena itu adalah hasil akhir dari semua proses pemulihan. Sebaiknya dukung saja kami untuk tetap bersemangat menjalani proses pemulihan. Berikan kami ruang aman untuk bercerita. Akui rasa sakit dan luka yang kami miliki. Dan biarkan kami berproses sedemikian rupa hingga barangkali suatu hari pemaafan hadir dalam hati kami yang semakin lapang.

--

--