Perempuan yang Menua

Meutia Faradilla
3 min readJun 28, 2023

--

Sumber gambar: Photo by Yogendra Singh from Pexels: https://www.pexels.com/photo/closeup-photo-of-woman-portrait-731506/

Masih hasil kontemplasi dari satu bab dalam buku In Defense of Witches. Kali ini tentang menua. Lagi-lagi ini bukan hal yang baru didengar atau dibicarakan, bahkan mungkin sudah disadari sejak lama oleh para perempuan. Perempuan dilarang menua. Mulai dari tampilan para artis di televisi (begitu selebriti perempuan mencapai usia tertentu, pasti dia jarang tampil di layar kaca atau di majalah), sampai ke produk antipenuaan yang dijual oleh industri kosmetik (yang sekarang branding-nya adalah antipenuaan dini). Tidak hanya soal itu, perempuan yang menua juga seolah-olah hanya punya satu tempat saja di mana dia boleh berada. Di rumah. Setidaknya begitu yang dulu jamak terlihat dan terasa.

Menurut Mona Chollet, penulis buku ini, sebenarnya proses penuaan laki-laki dan perempuan itu sama saja. Bedanya, perempuan tidak diizinkan untuk menua. Atau, kalaupun ia menua, ada syaratnya. Misalnya, dia sebaiknya menua dengan anggun di mana di usia 50-an pun wajahnya tidak terlihat keriput, badannya tetap ramping, dan rambutnya tidak memutih. Yah, seperti Sophia Latjuba, Wulan Guritno, atau Nadya Hutagalung (meskipun saya berikan tepuk tangan untuk Nadya Hutagalung yang memutuskan untuk tetap membiarkan rambut uban berada di kepalanya dan merayakan uban tersebut). Padahal, kita juga tahu bentuk badan orang berbeda-beda, gen yang mempengaruhi proses penuaan juga beda aktivitasnya, belum lagi kondisi lingkungan yang mempengaruhi tingkat stress, paparan terhadap polusi, asupan gizi, dan kemampuan berolahraga. Belum lagi kalau mendengar ada ocehan yang mencemooh perempuan pada usia tertentu yang modis dan lincah misalnya. Seolah-olah perempuan yang menua itu harus kalem, menggunakan baju tidak mencolok, dan berada di latar belakang. Bahkan dalam proses penuaannya pun perempuan diberikan standar yang harus ia capai. Ia tidak diizinkan menua dengan apa adanya.

Mona Chollet juga membahas bagaimana persoalan penuaan ini juga berpengaruh dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang menua tetap diizinkan oleh masyarakat untuk berelasi dengan perempuan yang jauh lebih muda. Seolah-olah dia punya keunggulan yang bisa digunakan untuk berada pada posisi lebih superior dari si perempuan muda (bisa finansial, pengalaman, atau yang lainnya). Tapi, berbeda dengan perempuan. Perempuan yang berhubungan dengan pria yang lebih muda darinya selalu mendapatkan anggapan yang kurang baik. Seolah-olah dia gatal atau agresif atau yang sejenisnya. Seolah-olah perempuan yang berusia lebih tua (atau memang sudah tua) tidak boleh punya hasrat dan selera (dan ini mengimplikasikan juga, perempuan itu seharusnya tidak boleh punya kematangan dan keunggulan yang melebihi dari calon pasangannya misalnya). Apa kaitannya dengan menua? Perempuan yang menua tentu bisa mempunyai posisi yang lebih superior, entah itu secara finansial atau pengalaman. Tentu saja ini membuat saya bertanya, mengapa perempuan tidak boleh punya posisi yang lebih superior dari laki-laki? Terutama dalam hal relasi?

Namun, saya juga jadi mengingat pengamatan saya terhadap perempuan yang menua di sekeliling saya. Paling tidak yang pernah saya lihat sendiri, tentu saja. Banyak perempuan yang menua justru menjadi lebih aktif dan percaya diri. Apalagi ketika dia sudah tidak harus berurusan dengan pekerjaan mengasuh anak. Banyak ibu-ibu yang aktif di posyandu, kegiatan RT/RW, pengajian, senam pagi, arisan, dan banyak kegiatan lainnya justru ketika ia sudah lepas dari kewajibannya. Dan mereka terlihat lebih berdaya juga. Di sisi lain, perempuan yang menua juga kadang jadi lebih berani menyuarakan kegelisahan hatinya dengan lebih lantang. Ini adalah hal yang menarik yang saya amati di sekeliling saya. Dan entah ya, apakah mereka ini jadi ditakuti atau dibilang sebagai contoh yang kurang baik atau sebenarnya disegani juga oleh perempuan lainnya.

Perempuan dan laki-laki sama-sama menua, tapi perempuan tidak diizinkan menua dengan apa adanya. Dalam hidupnya, dari lahir hingga meninggal dunia, perempuan selalu dibatasi dengan pagar berupa standar-standar yang harus ia capai atau ia penuhi agar ‘layak’ disebut sebagai perempuan. Kalau tidak, selalu ada embel-embel yang disematkan di belakang sebutan perempuan yang disandangkan kepadanya. Bahkan dalam proses menua pun perempuan tidak lepas dari standar-standar tersebut. Pertanyaannya, mengapa perempuan yang diberikan standar seketat dan sebanyak itu sejak lahir hingga menutup usia?

--

--