Perlukah Perempuan Menjadi Ibu Sosial?

Meutia Faradilla
4 min readJun 25, 2023

--

Tulisan ini adalah sedikit renungan setelah membaca satu bab di buku In Defense of Witches (Mona Chollet)

Sumber gambar: Photo by Maria Luiza Melo from Pexels: https://www.pexels.com/photo/black-and-white-photo-of-a-mother-and-a-daughter-touching-their-faces-with-hands-17182591/

Ketika saya sampai di bab yang membahas tentang ketidakinginan perempuan menjadi ibu (judulnya saja sudah thought provoking: Wanting sterility-The no-child option), saya sudah siap membaca argumen mengapa beberapa perempuan tidak menginginkan dirinya menjadi seorang ibu. Argumen ini tentu saja bukan argumen yang baru pertama kali saya dengar, tapi saya penasaran dengan contoh-contoh yang diajukan oleh Mona Chollet dalam tulisannya. Beberapa contoh argumen yang diajukan memang sangat menarik, tapi ada yang perlu digarisbawahi. Kebanyakan perempuan tidak mau memiliki anak bukan perkara tidak menyukai keberadaan anak kecil. Namun, mereka tidak mau terjebak dalam peran motherhood (keibuan) yang menyesakkan. Bagaimana para perempuan ini tahu bahwa itu menyesakkan kalau belum menjadi seorang ibu? Ya, tentu dengan melihat ibunya sendiri dan teman-teman perempuan lainnya. Bahkan ada sebuah survey di Israel di mana para perempuan yang menjadi responden mengatakan mereka menyesal menjadi seorang ibu karena peran ibu itu bukan hanya melelahkan tapi juga membuat trauma dan mengekang. Tentu saja kalau ini dibicarakan dengan terbuka seperti ini, pasti ada saja yang menyerang dan membela diri, bahwa pengalaman menjadi ibu itu indah, dan seterusnya, dan sebagainya. Tapi, sebelum mendahulukan lidah/jempol dengan kecepatan cahaya, mungkin ada baiknya dibaca dan direnungkan dulu dengan perlahan ya. Dan tolong diingat bahwa ini hanya merepresentasikan sebagian perempuan saja. Jadi, kalau Anda tidak merasa begitu, it’s your own experience, and I respect it.

Yang menarik adalah entah kenapa hanya perempuan yang sepertinya tidak bisa lepas dari kewajiban berperan sebagai ibu. Misalnya, dalam bekerja, ia diharapkan menjadi sosok “ibu” bagi bawahannya atau murid yang diajar (ini sering sekali terjadi di dunia pendidikan). Atau ketika ia berkarya, maka karyanya selalu diasosiasikan dengan “anak”. Tidak jarang kan kita mendengar karya seorang perempuan dianalogikan dengan seorang anak, misalnya buku atau karya seni yang akan diterbitkan. Pertanyaannya, kenapa perempuan harus memiliki rahim baik di dalam maupun di luar tubuhnya? Kenapa yang boleh dilahirkan oleh perempuan hanya berupa sosok anak? Kenapa kalau laki-laki menghasilkan karya tertentu, tidak disebut sebagai “melahirkan anak”? Kenapa kalau laki-laki bekerja tidak ada harapan ia menjadi sosok “bapak” di tempat kerja?

Pertanyaan yang dipantik oleh Mona Chollet dalam bukunya ini membuat saya berpikir ulang tentang aspirasi saya pribadi (dan mungkin beberapa teman perempuan lainnya) untuk menjadi “Ibu sosial”. Suatu konsep di mana perempuan tetap menjadi ibu meskipun tidak melahirkan anak biologis. Mengapa perempuan harus menjadi ibu sosial? Mengapa tidak menjadi manusia saja yang berperilaku baik dan memberikan contoh adab dan akhlak yang baik pula sehingga menjadi inspirasi bagi banyak orang? Mengapa harus menjadi “ibu”? Apakah kemanusiaannya berkurang kadarnya kalau seorang perempuan tidak mengambil peran menjadi “ibu”? Mengapa peran perempuan direduksi hanya soal keibuan?

Ketika saya, yang berprofesi sebagai dosen, mencoba bersikap adil, setara, dan berwelas asih dengan para mahasiswa saya, apakah itu karena saya merindukan diri menjadi ibu? Atau sebenarnya saya sedang menjalankan peran saya sebagai seorang manusia yang layak? Kalau saya menolak menjadi ibu dalam konteks sosial, apakah kemudian sikap welas asih yang saya tunjukkan jadi berkurang maknanya? Pertanyaan-pertanyaan ini melayang-layang di dalam benak saya sejak saya membaca bab tersebut. Saya benar-benar terpantik berpikir ulang dan mencari apakah perlu perempuan menjadi seorang ibu? Tidak hanya ibu biologis tapi juga ibu sosial?

Tuhan memang menciptakan perempuan atau betina sepaket dengan perangkat reproduksi yang bertujuan untuk membawa kehidupan baru ke dunia ini. Namun, apakah itu berarti perempuan mutlak harus menggunakan perangkat reproduksi itu secara fisik? Apakah kemudian Tuhan juga memberikan anugerah keibuan pada setiap perempuan hanya karena secara fisik ia mempunyai rahim? Apakah karena keberadaan rahim maka perempuan mutlak harus menjadi ibu? Apakah karena keberadaan rahim maka perempuan harus keibuan? Apakah struktur rahim memiliki perbedaan sedemikian rupa yang mempengaruhi proses berpikir perempuan? (tentu jawabannya tidak, karena ia hanyalah organ saja).

Berat sekali peran perempuan di dunia ini kalau hanya karena memiliki rahim, ia mutlak harus menjadi ibu dan harus keibuan. Manusia perempuan, menurut saya, tidak harus menjadi ibu dan tidak harus keibuan. Ia boleh memilih apakah ia ingin menjadi ibu atau tidak. Perempuan juga tidak harus keibuan. Ia berhak menjadi dirinya sendiri dengan segala keunikannya. Karya-karyanya tidak perlu disamakan dengan kelahiran seorang anak. Karyanya adalah buah pikirnya, bukan buah dari benih yang ditanam di dalam rahimnya. Saya rasa, kita harus mengembalikan posisi perempuan sebagaimana mestinya. Sebagai manusia. Dan sebagai manusia, ia boleh memilih dan mengembangkan potensinya sebaik dan setinggi mungkin tanpa perlu direduksi perannya hanya menjadi peran tertentu saja.

Wah, ternyata dari satu bab saja, saya jadi terpantik begitu dalam memikirkan ini. Nanti review bukunya akan saya tulis setelah saya menyelesaikan membaca hingga tamat. Tapi, saya jadi tidak sabar membaca berbagai bab lain yang saya rasa akan melahirkan tulisan lain juga sebagai bentuk kontemplasi.

--

--