Are You Okay, Elang?
Elang berlari kencang seperti orang kesetanan mengikuti para perawat yang sekarang sedang membawa tubuh kembarannya. Elang taku, sangat takut. Lelaki itu bahkan tidak sadar bahwa dirinya hanya menggunakan pakaian rumah dengan sandal yang biasa ia pakai di dalam apartement-nya. Elang tidak peduli, yang ada di otaknya sekarang hanya bagaimana kondisi Delana. Saat tadi Elang memanggil bantuan untuk membuka pintu kamar milik Lana, Elang menemukan kembarannya itu sudah tergeletak lemah dengan darah segar yang mengalir dari pergelangan tangannya.
Lana pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya saat mereka mereka berada pada bangku SMP. Saat papa membuang semua buku gambar miliknya, saat itulah Lana langsung menggores tangannya dengan cutter yang ada di kamarnya waktu itu. Padahal Lana sudah berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi, namun hari ini gadis itu ingkar janji.
Elang menghela napasnya dengan berat sambil memijat pelipisnya pelan. Terduduk lemas di bangku yang ada di depan ruang tempat Lana sedang ditangani. Lelaki itu baru sadar bahwa ia lupa membawa ponselnya akibat terlalu terburu-buru. Elang mengarahkan pandangannya ke arah mr. Reno, bodyguard yang sengaja disewa oleh papa untun menjaga Lana.
Elang ingat dia belum membalas pesan Acila, dirinya juga ingat bahwa besok dia memiliki janji dengan perempuan cantik itu. Elang takut dia tidak bisa menepati janjinya untuk bertemu dengan Acila besok, jadi dia memutuskan untuk meminjam ponsel mr. Reno untuk mengabari gadis itu. Elang hafal nomor Acila, lelaki itu sengaja menghafalkannya kalau-kalau ada situasi di mana dia lupa membawa ponselnya, seperti sekarang.
“Mr. Reno, I’m so sorry, but can I borrow your phone? I forgot to bring my phone, tadi buru-buru banget soalnya. Mau ngabarin temen sebentar.”
Mr. Reno mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu memberikannya kepada Elang. Lelaki itu langsung sedikit menjauhkan jaraknya, lalu menekan nomor Rasyilla yang sudah ia hafal di luar kepala.
“Hello?” suara yang sangat Elang sukai itu terdengar, membuat semua beban yang sejak tadi Elang rasakan seketika hilang entah ke mana.
“Cila, it’s me, Elang. I’m so sorry, tadi aku belum sempet balas chat kamu.”
“Hey, it’s okay, Lang. Where are you? Terus ini handphone punya siapa?”
“I’m at hospital now, something happened to Lana. Tadi aku buru-buru banget, jadi handphone aku ketinggalan di apart. Ini aku pakai handphone bodyguard-nya Lana.”
“Hey, it’s okay, Lang. I’m sorry to hear that, but what’s wrong? Lana sakit?”
“I can’t explain it now, I’ll tell you when the situasion better, ya? I’m so sorry, pretty. Kayaknya besok kita gak bisa jalan-jalan dulu, ya? I promise we’ll do a timezone date later, I’m so sorry, princess.”
“Elang, no need to sorry. Of course you should take care of Lana. What’s the hospital name? Aku boleh ke sana sekarang?”
“The Royal Melbourne Hospital, besok aja, Cil. It’s late.”
“Please?”
Elang menghembuskan napasnya pelan, jujur lelaki itu membutuhkan Acila untuk berada di sisinya, “fine, but don’t go alone. Tell Jian to drive you here, okay?”
“Okay, deal. See you there.”
Panggilan diputuskan oleh Acila, perempuan itu sepertinya langsung bersiap-siap untuk berangkat. Hampir satu jam menunggu, akhirnya Rasyilla terlihat di sudut matanya. Perempuan cantik itu hanya menggunakan cardigan berwarna coklat dipadukan dengan rok berwarna putih tulang. Acila langsung mendudukkan dirinya di bangku sebelah Elang. Menatap Elang yang sejak tadi sudah menatapnya lebih dulu.
“Hey, gimana Lana?”
Elang memaksakan senyumnya mengembang walau hanya senyum tipis yang mampu ia tunjukkan sekarang. “Kata dokter Lana gapapa, tapi butuh istirahat beberapa hari. Makanya sekarang di rawat inap, kamu mau masuk?”
Acila menggelengkan kepalanya pelan, “enggak deh, takutnya ganggu Lana istirahat. Besok aja.”
Elang menganggukkan kepalanya pelan sambil tetap menatap Acila, lalu mulai menyusupkan jari-jarinya di sela jari milik Acila. Acila langsung membalasnya dengan menggenggam tangan Elang sambil mengelus-elusnya dengan lembut, berniat menenangkan lelaki itu.
“Is everything okay?”
“Okay kok, Lana kan juga gak kenapa-napa.”
Acila lagi-lagi menggelengkan kepalanya, perempuan itu mengarahkan tangan kanannya untuk mengelus pelan wajah lelaki tampan di depannya. Elang menutup matanya pelan, merasakan lembutnya sentuhan jari-jari Rasyilla di pipinya.
“No, I mean you. Are you okay, Elang? You can tell me anything, I’m always here for you if you need me.”
“Can I hug you, Cila?”
Rasyilla tidak menjawab, gadis itu malah langsung memajukan tubuhnya lalu merengkuh tubuh Elang. Mengusap-usap pelan punggung milik lelaki itu. Elang menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Acila, lelaki itu tidak ingin menangis. Elang berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak jatuh, tidak ingin Rasyilla melihat sisi terburuk dari dirinya.
“I’m not,” lirihnya pelan sambil mengeratkan pelukan mereka.
“You know, Lang? Sometimes, it’s okay to not to be okay. You don’t have to try to always be okay, don’t act like everything’s good when it’s not. You’re a human, not a robot. Your feeling, all about it are valid.”
Elang hanya menganggukkan kepalanya pelan, lelaki itu butuh untuk mengisi kembali tenaganya. Ajaib tenaganya bisa kembali saat Rasyilla berada di sampingnya. He needs Rasyilla the most.
Jian yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa diam. Setelah memastikan Acila sampai di ruang yang ia tuju, lelaki itu memutuskan untuk membeli makanan untuk ketiganya. Jian tahu bahwa Rasyilla belum sempat menyentuh makanannya malam ini, demikian juga Elang. Bisa Jian pastikan lelaki itu sangat terburu-buru saat meninggalkan apartemen-nya. Terlihat dari cara berpakaian lelaki itu yang hanya mengenakan kaus berwarna putih serta celana training hitam.
Jian tahu kedua insan yang tengah saling memeluk itu sudah sama-sama jatuh. Jian juga tahu dia tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan mereka, jadi lelaki itu memutuskan untuk tetap diam.
“I’m sorry, Lang.”
“Say it to yourself, you’re the one who hurt yourself the most, Lan.”
Saudara kembar itu sekarang sedang berada di ruangan yang sama. Si lelaki menatap si perempuan dengan tatapan datar, namun terlihat sangat seram di mata si perempuan. Delana hanya bisa menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata hazel milik Elang yang seakan menusuknya. Elang marah, tentu saja Lana tahu akan hal itu. Apalagi dia berjanji bahwa dirinya tidak akan lagi melakukan hal berbahaya itu.
“Lan, gua cuma punya lu. We only have each other, so please I’m begging you. Stop hurting yourself like this, you’re scaring me. You can punch me or bite me or do anything you want. Gua gak bakal ngehindar, seriously. Just —please don’t hurt youself, it’s hurt me more.”
Bulir-bulir bening mulai berjatuhan dari pipi gadis cantik itu, Lana mulai terisak pelan. Elang tidak tega melihatnya, lelaki itu tidak suka melihat Lana menangis. Kembarannya itu memang cengeng. Elang menarik pelan tubuh Lana ke dekapannya. Mengusap pelan punggung yang bergetar itu, berusaha menenangkan. Elang tahu Lana pasti merasa bersalah makanya gadis itu menangis.
“Gini doang nangis. Cutting tangan gak nangis tuh kemaren? Berani-berani aja keliatannya,” canda Elang.
Lana menjauhkan tubuhnya pelan, lalu gadis itu mengusap hidungnya yang sudah merah akibat menangis. Elang terkekeh sambil mengusak rambut kembarannya, “makanya jangan sok jago.”
“Iya, maaf.”
Pintu ruangan terbuka, menampakkan seorang perempuan cantik dengan dress selutut berwarna burgundy dengan sekeranjang buah di tangannya. Perempuan itu tersenyum manis lalu menaruh kerangjang buah itu di atas nakas yang ada di samping tempat tidur Lana.
“Hai, gimana keadaannya? Udah mendingan belum?”
Lana mengangguk antusias, jujur sejak tadi dia takut dengan tatapan Elang. Saat Acila masuk, saat itu juga Lana melihat tatapan Elang perlahan melunak. Sepertinya gadis ini memang sangat berpengaruh di hidup kembarannya.
“Udah mendingan sih, hahaha. Lagian I’m fine kok, Cil. Liat, masih cantik kan?”
“Masih dong, tapi lebih cantik lagi kalau sehat, Lan. Jangan sakit-sakit dong makanya.”
Keduanya sibuk dengan obrolan seputar make up, idol korea yang Elang sama sekali tidak mengerti akan hal itu. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk pamit sebentar, ia ingin membersihkan diri di apartement. Sekalian mengambil handphone-nya yang tertinggal kemarin. Karena sudah ada Acila yang menemani, Elang jadi bisa pergi. Tadi ia ingin pergi, tapi tidak tega meninggalkan Lana sendirian. Kondisi kembarannya juga belum stabil, Elang cukup takut jika Lana ditinggal sendiri.
Elang menghembuskan napasnya sebelum menaiki mobil miliknya yang tadi pagi sudah diantarkan pleh mr. Reno ke rumah sakit.