Pemilu hanyalah taktik, bukan tujuan akhir

Miftachul Choir
14 min readNov 5, 2023

--

Pemilu adalah lesser evil dari taktik perubahan sosial lainnya.

Pandangan dominan mengenai pemilu mengatakan bahwa pemilu yang juberadil merupakan mekanisme paling mutakhir dalam menerbitkan pemimpin-pemimpin masyarakat dan transisi menuju demokrasi. Melalui institusi demokrasi lainnya seperti partai politik, kualitas dari pemimpin tersebut terjaga melalui serangkaian program kaderisasi, Pendidikan politik, dan penjangkauan ke konstituen mereka. Partai politik pun dianggap sebagai sebuah wadah artikulasi dan kompetisi kepentingan antara kelompok warga. Ide yang paling rasional, masuk akal, dan tepat akan diperdebatkan, dipilih secara adil untuk kemudian menjadi kebijakan bersama.

Bagi pemikir Marxis, pemilu tidak lain dari salah satu dari sekian taktik operasional melawan kelompok pemiliki modal. Revolusi sosialis tidak mungkin dicapai melalui pemilu. Marx dan Engels berulang kali menyebutkan satu-satunya cara yang tepat adalah dengan menggulingkan kelompok borjuasi secara paksa. Namun, dalam tulisannya yang ditujukan kepada Liga Komunis tahun 1850, Marx dan Engels tidak memunafikkan pentingnya perjuangan melalui demokrasi parlementer. Menurut mereka, partisipasi dalam pemilu adalah sesuatu yang wajib dimana kelas pekerja harus mengusung kandidat mereka sendiri yang independent dan terbebas dari kepentingan-kepentingan liberal.

Melalui pandangan tersebut, maka seharusnya perdebatan lesser evil tidaklah relevan untuk memperdebatkan level kandidat. Pemilu, sebagai warisan demokrasi liberal, sudah menjadi lesser evil dari perjuangan sosialis. Pemilu bukanlah tujuan dari revolusi sosialis, melainkan alat yang dapat memfasilitasi tahapan-tahapan revolusi. Marx dan Engles menerangkan setidaknya terdapat dua faedah utama perjuangan melalui parlemen. Pertama, ditengah represi absolut monarki pada masanya, pemilu menjadi legitimasi atas hak-hak politik kelas pekerja dan kelompok progresif. Kedua, ibaratkan thermometer, pemilu dapat menjadi alat untuk mengukur kekuatan kelompok sosialis. Melalui pemilu, kelompok sosialis dapat memetakan lokasi kekuatan mereka, kelemahan, isu yang disukai publik, kelompok yang membenci rezim, hingga membawa propaganda-propaganda sosialis. Setelah agenda-agenda ini tercapai, maka tahapan selanjutnya adalah menghapuskan pemilu dan menggantikannya dengan dictator proletariat.

Sebagai penstudi Marx dan Engles, tidak ada yang mengadvokasi penggunaan demokrasi parlementer sebagai taktik melawan borjuasi selain Vladimir Lenin. Sebagai taktik, implikasi dari pemikiran Marx, Engels, dan khususnya Lenin memandang pemilu sebagai sesuatu yang pragmatis dan bersifat sementara. Selama menuju Revolusi Bolshevik tahun 1917, Lenin beganti-ganti taktik dalam menghadapi pemilu mulai dari aksi boikot terhadap empat seri Duma (parlemen Russia buatan Tsar), mengadvokasi Kerjasama kaum miskin-pekerja, hingga mendukung Cadet Party dan Menshevik.

Berubah-ubahnya taktik merupakan hasil dari kalkulasi materialis dan historis atas kondisi Russia dibawah pemerintahan absolut monarki. Adapun pertanyaan yang Lenin berupaya jawab adalah apakah resistensi sosialis dapat dilakukan pada saat ini? Pada dekade awal 1900, Russia merupakan negara terakhir di Eropa yang menganut absolut monarki dan berada ditengah instabilitas. Namun, Lenin memandang revolusi sosialis belum dapat terlaksana selama belum ada kesadaran politik serta kepemimpinan dari kelompok progresif. Disatu sisi, Lenin menganggap Russia adalah police state dimana setiap resistensi dari kelompok progresif akan berakhir pada penangkapan dan pembunuhan.

Sejalan dengan pemikiran Marx dan Engels, Lenin menganggap revolusi sosialis di Russia bergantung pada kebebasan politik dari seluruh masyarakat Russia. Sehingga, Lenin menegaskan tercapainya kebebasan politik adalah strategi utama dalam mencapai revolusi sosialis yang dapat dicapai dengan pemilu. Pengalaman Lenin memberikan Pelajaran bahwa dalam menanggap pemilu sebagai taktik alih-alih tujuan utama, ada beberapa pertanyaan yang kita harus jawab bersama antara lain : apa yang menjadi hambatan revolusi sosialis? Bagaimana kesiapan kelompok revolusioner? Siapa musuh bersama dari kelompok reformis-liberal dan kelompok sosialis? dan pada tahapan apa revolusi yang kita tempuh saat ini (jika ada)?

Selama perjalanannya, Lenin juga menjalankan taktik yang diharamkan oleh kalangan sosialis pada masa itu: beraliansi dengan kelompok borjuis liberal. Dalam Tasks of the Russian Social Democrat, Lenin mengakui adanya kedekatan tujuan antara kelompok sosialis dengan demokratis dan memiliki Nasib yang sama yaitu mengalami persekusi dari pemerintah otokratik. Pandangan ini juga menegaskan bahwa kelompok borjuasi tidak dapat direduksi menjadi satu entitas homogen; kelompok sosialis perlu secara kritis menganalisa borjuis secara materialis dan historis. Lenin juga menegaskan bahwa relasi antara borjuis dan sosialis adalah aliansi melawan monarki, bukan menyatukan dua kelompok. Aliansi pun bersifat sementara dan terbatas. Aliansi bersifat sementara karena kelompok borjuasi tidak dapat diandalkan dan tugas untuk menuntaskan revolusi sosial jatuh kepada kelas pekerja.

The Russian revolutionary Social-Democrats made repeated use of the services of the bourgeois liberals, i.e., they concluded numerous practical compromises with the latter. In 1901–02, even prior to the appearance of Bolshevism, the old editorial board of Iskra (consisting of Plekhanov, Axelrod, Zasulich, Martov, Potresov and myself) concluded (not for long, it is true) a formal political alliance with Struve, the political leader of bourgeois liberalism, while at the same time being able to wage an unremitting and most merciless ideological and political struggle against bourgeois liberalism and against the slightest manifestation of its influence in the working-class movement. The Bolsheviks have always adhered to this policy. Since 1905 they have systematically advocated an alliance between the working class and the peasantry, against the liberal bourgeoisie and tsarism, never, however, refusing to support the bourgeoisie against tsarism (for instance, during second rounds of elections, or during second ballots) and never ceasing their relentless ideological and political struggle against the Socialist-Revolutionaries, the bourgeois-revolutionary peasant party, exposing them as petty-bourgeois democrats who have falsely described themselves as socialists. (Lenin, 1920)

Melalui argumentasi bahwa pemilu adalah taktik dan alat, berarti harus juga memandang pemilu dari kacamata materialis-historis. Perdebatan lesser evil pada level kandidat justru mereduksi pemilu menjadi persoalan personal dan moralis. Padahal, pemilu sebagai taktis memiliki konskuensi kelompok sosialis harus berpartisipasi dan memperhitungkan secara kritis tahapan revolusi saat ini dan konteks gerakan sosialis. Kacamata personal dan moralis berujung pada apa yang disebut August Nimtz sebagai voting fethisim, dimana pemilu hanya sebatas registrasi dan kewajiban memilih kandidat secara biner. Pemilih seakan-akan telah menjalani partisipasi politik secara langsung namun nyatanya mereka tidak memiliki nilai apa-apa dimata kelas pemodal.

Konteks di Indonesia

Sulit untuk menjawab pertanyaan ada dimana tahapan revolusi Indonesia saat ini jika tidak pernah ada kelompok yang secara serius memperhitungkan hal tersebut, selain tentunya DN Aidit melalui Partai Komunis Indonesia. Namun, hal yang mungkin bisa disepakati adalah konteks electoral Indonesia yang mahal dan sulit serta partai politik yang busuk membuat kita tidak memiliki harapan pemilu dapat menghasilan pemimpin yang terbaik dan dapat meneruskan perjuangan kelas.

Saya rasa, gerakan progresif di Indonesia memiliki satu kepentingan taktis utama di pemilu yaitu mencegah otoriter kembali berkuasa. Jika otoriter berkuasa, maka tidak ada lagi harapan bagi masyarakat sipil untuk mengorganisasikan diri dan melakukan resistensi kepada penguasa. Jika otoriter kembali berkuasa, mungkin tulisan ini tidak akan ada. Jika otoriter kembali berkuasa, mungkin demonstrasi Reformasi Dikorupsi atau perlawan warga di daerah — yang telah memakan korban — tidak akan ada sejak awal atau jika pun ada, akan lebih berdarah dan memakan korban. Peluang kecil keterbukaan sipil adalah tujuan taktis universal suffrage yang disebutkan oleh Marx dan Engels.

Serupa dengan perhatian Lenin atas terpecahnya gerakan sosialis di Russia sebelum revolusi, Indonesia juga mengalami hal yang serupa sehingga insureksi dan gerakan yang lebih radikal justru akan menyebabkan banyak korban dan kontra-revolusioner. Tidak seperti Russia yang Trotsky sebut sebagai laboratorium revolusi, sulit membayangkan adanya potensi gerakan progresif di Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh David Bourchier, depolitisasi Soeharto berhasil menjinakkan gerakan sipil dan malah menjadi apologis terhadap dosa-dosa pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat bagaimana warga cenderung masokis terhadap pemerintah mulai dari persoalan rendahnya gaji, polusi udara, hingga transportasi publik — ketiga isu tersebut merupakan persoalan borjuis kecil.

Penghancuran gerakan kiri pada masa Soeharto membuat gerakan progresif tidak memiliki kemampuan untuk berorganisasi atau pun membayangkan alternatif dari kapitalisme dan rezim yang berjalan. Disatu sisi, pemerintah mendominasi wacana-wacana sosial mulai dari korupsi hingga hak asasi manusia. Akibatnya, segala persoalan hanya dianggap sebagai masalah teknis alih-alih structural. Masyarakat harus bertanggungjawab atas masalahnya sendiri. Masyarakat harus berkontribusi membantu pemerintah. Ditengah absennya gerakan progresif, kemarahan atas pemerintah justru tersalurkan ke kelompok fundamentalis.

Reformasi 1998 memberikan angin segar untuk kebebasan sipil di Indonesia. Namun, lembaga donor asing melalui narasi hak asasi manusia dan demokratisasi memenangkan perlombaan atas pemilik gerakan sipil di Indonesia. Akibatnya seperti yang Mudhoffir dokumentasikan, gerakan sipil terkonsentrasi pada NGOs atau fenomena NGOisasi gerakan. Mudhoffir juga menerankan NGOisasi ini berimplikasi pada belum adanya masyarakat progresif yang memiliki agenda politis dan radikal serta aksi yang dilakukan masih sporadic. Belum lagi kita bicara mengenai patronase yang sudah tumbuh sejak aktivis memulai ‘karirnya’ di gerakan mahasiswa.

Gerakan daerah, gerakan independent, Partai Buruh dan Partai Hijau Indonesia dapat dikatakan sebagai warisan positif dari demokratisasi. Namun, perlu diakui juga kelompok tersebut belum siap untuk melakukan revolusi sosialis. Keterbatasan finansial, logistic, anggota, dan Pendidikan politik masih menghantui gerakan saat ini. Serupa dengan perhatian Lenin terhadap gerakan sosialis Russia jelang revolusi Bolshevik, kelompok progresif Indonesia mengalami fragmentasi, krisis kepemimpinan, dan tidak memiliki strategi yang koheren tentang bagaimana cara menghadapi oligarki.

Ruang gerak kelompok progresif semakin sulit mengingat oligarki Orde Baru bisa menyelamatkan diri di pasca-reformasi dan justru semakin memperkuat diri. Jelang dekade dua reformasi, rezim sudah tidak malu lagi menutupi kekerasannya dengan menggunakan aparat untuk menggusur resistensi, menangkap demonstran, hingga membunuh. Institusi yang seharusnya mengawasi pemerintah seperti KPK dan MK telah dikooptasi, undang-undang sengaja dibuat untuk kepentingan oligarki, dan kompetisi legislative dibuat untuk mendukung kompetisi antar petahana dibanding calon baru. Dalam kondisi seperti ini, sudah ada demonstrasi saja merupakan capaian yang luar biasa.

Atas kondisi diatas, kelompok progresif di Indonesia berada dalam posisi yang sangat sulit. Dalam tulisan sebelumnya, saya menyatakan bahwa gerakan di Indonesia masih berada pada tahap yang sangat dini yaitu dekonstruksi atas warisan-warisan Soeharto dan mulai mengorganisasi kelompok politik independent. Sejalan dengan pemikiran Marxis, Engels dan Lenin, prasyarat adanya kelompok politik independent adalah setidaknya ada sedikit kebebasan politik. Dalam pemilu mendatang, terdapat ancaman nyata kembalinya otoriter yang dapat menutup kebebasan sipil sepenuhnya, sedangkan kandidat lainnya akan menutup secara parsial.

Pilihan-pilihan kita

Ketiga kandidat presiden saat ini memang tidak ideal bagi kelompok sosialis dan dapat dikategorikan sebagai otoriter. Namun, menganggap otoriter sebagai entitas homogen merupakan sebuah Langkah yang keliru. Bahkan pada pemilu 2014, pemikir liberal seperti Marcus Mietzner mengkategorikan populisme Prabowo sebagai maverick, sedangkan Jokowi sebagai polite populsime. Selama menjabat, Jokowi juga menyandang banyak gelar mulai dari a new hope, antek-antek post-clientelist, neo-developmentalis dan lain sebagainya. Hal ini seharusnya mengingatkan kita bahwa dalam melihat otoriter, perlu pertimbangan multi-level mulai dari rekam jejak, pemberi dana, kekuatan politik dan non-politik, afiliasi dengan apparatus represif, finansial, dan ideologis. Melalui analisa tersebut, seharusnya terlihat bahwa ada satu otoriter yang lebih otoriter dibanding lainnya.

Untuk mempermudah, Marx dan Engels memberikan simplikasi sebagai berikut: otoriter mana yang menyulitkan gerakan sipil? Siapa yang paling banyak membunuh orang? Tentu saja tidak ada jaminan (seperti segala hal di dunia ini) bahwa otoriter yang paling lemah akan tetap lemah. Terlebih, fenomena Jokowi tentu saja memberikan trauma berat bagi gerakan sipil. Namun, pertanyaan kritis yang saya hendak ajukan selanjutnya adalah apa yang akan terjadi apabila Prabowo berkuasa? Memang banyak warga tewas dan ditangkap akibat kekerasan aparat, tetapi apakah kita mampu mempraktikan demokrasi jika Prabowo berkuasa?

Masih sama dengan pemilu 2014 dan 2019, tujuan kita pada pemilu 2024 nanti adalah untuk mencegah Prabowo berkuasa. Atas alasan yang sudah jelas. Dengan cara apapun, Prabowo harus dicegah. Prabowo, warisan otoriter yang masih bertahan hingga saat ini secara terang-terangan pernah menyatakan pemilu adalah produk barat yang harus dihapus dan mendukung amandemen UUD 1945 yang mana juga akan menghapuskan pemilu.

Jika Prabowo menang, sudah barang tentu koalisinya akan menjadi mayoritas di parlemen. Berbeda dengan PDIP di 2014 yang menjadi minoritas dan Jokowi harus bersusah payah untuk menjalankan misinya. Dibalik Koalisi Indonesia Maju juga terdapat Airlangga Hartarto di Golkar, Hashim Tjojohadikusumo di Gerindra, serta dukungan konglomerat seperti Luhut Binsar Pandjaitan dan Erick Thohir. Secara finansial dan mesin politik, Prabowo bisa dikatakan menang telak.

Kemenangan mutlak Prabowo juga semakin memungkinkan dengan adanya dukungan dari otoriter yang paling dipuja-puja di Indonesia: Joko Widodo. Bagi kelompok progresif, Jokowi merupakan wajah dari kemunduran demokrasi Indonesia atas tindakannya melemahkan KPK, mengeluarkan UU Cipta Kerja, dan melanggengkan dinasti politik. Namun, akan menjadi naif apabila kita menegasikan citra ‘positif’ Jokowi bagi warga Indonesia dan merupakan obat jitu dari pemerintahan SBY yang tidak memberikan pelayanan bagi warga. Tidak hanya itu, Jokowi menguasai berbagai mesin politik mulai dari Kaesang Pangarep di PSI, Bobby Nasution sebagai salah satu kepala daerah, ketua Mahkamah Konstitusi, hingga kapolri, dan Kepala BIN. Bahkan baru-baru ini Jokowi menyatakan tahu rahasia-rahasia partai politik berdasarkan laporan BIN. Intinya, Jokowi sudah memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk memperkuat otoritarianisme. Jokowi merangkak untuk Prabowo bisa menuntaskan misi otoritarianismenya.

Darah-darah di tangan Prabowo juga tidak terhenti pada penjajahan Timor Leste dan penculikan di Reformasi 98. Perusahaan batubara Nusantara Energy telah merusak tata ruang lingkungan di Indonesia, meracuni anak-anak dengan polusi batubara, dan menggusur banyak pemukiman. Sama halnya dengan proyek Food Estate di Papua dan Kalimantan Tengah, yang sudah terancam gagal namun juga menggusur pemukiman warga lokal dan dapat dikatakan sebagai Upaya gastrokolonialisme.

Tentu saja akan Panjang lebar untuk membahas dosa-dosa Prabowo-Gibram, tetapi seharusnya masyarakat sudah cukup sadar bahwa segala Upaya pemilu perlu dikerahkan untuk mencegah kemenangan mereka. Lalu, bagaimana dengan kandidat lain?

Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar memang terlihat sebagai kandidat yang ideal. Memang Anies memiliki rekam jejak terlibat dalam penggusuran di DKI Jakarta, didukung oleh PKS yang menggunakan narasi-narasi fundamental dan bertolak dari liberalisme, rekam jejak Muhaimin Iskandar sebagai pihak yang mengkhianati Gus Dur, dan didukung oleh konglomerat Surya Paloh yang juga berkontribusi partainya menyumbang kader koruptor. Namun, Anies tetaplah bukan kandidat berlatarbelakang militer seperti Prabowo atau dicap sebagai pelanggar HAM berat. Muhaimin Iskandar tidak terpilih menjadi wakil presiden dengan mempreteli konstitusi.

Namun, memilih Anies-Amin adalah sebuah tindakan yang sia-sia. Buang-buang suara. Alias, memilik mereka sudah seperti memilih kandidat yang akan kalah. Ketika dalam posisi seperti ini, Lenin pun menolak untuk mendukung calon yang tidak diuntungkan dan mengkonsentrasikan kekuatan pada kelompok yang memiliki kans tertinggi. Mesin politik Anies-Amin sudah terlihat sejak dini, ketika ditinggal oleh Partai Demokrat yang beralih ke Koalisi Indonesia Maju. Nasdem, partai yang semula mendukung Jokowi pun diserang habis-habisan dengan penangkapan dua kader mereka yang menjadi Menteri (walaupun memang pantas untuk ditangkap). Kelompok muslim yang mendukung Anies pada Pilkada DKI 2017, FPI dan HTI telah dibubarkan oleh Jokowi. Kelompok liberal pun enggan mempertimbangkan Anies secara serius mengingat narasi fundamentalis dari PKS.

Sehingga, sayang sekali pilihan kelompok progresif dalam rangka mempertahankan kebebasan sipil adalah dengan cara memobilisasi suara untuk mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tidak seperti Anies, Ganjar mungkin masih bisa melaju ke putaran kedua apabila ada. Tidak seperti Prabowo, Ganjar bukan sosok dominan di partai, tidak memiliki latarbelakang militer, dan jika menang koalisi PDIP kemungkinan akan menjadi minoritas di parlemen. Burhanuddin Muhtadi mencatat Jokowi pernah mengalami situasi dirinya menjadi ‘triple minority’. Alhasil, program-programnya baru tercapai pada tahun 2016 ketika berhasil mengintervensi Golkar dan PPP serta membubarkan HTI.

Memilih Ganjar memang terlihat sebagai penghianatan mengingat kekerasan yang terjadi di Wadas dan lokasi lainnya di Jawa Tengah. Namun, perlu diingat bahwa dibawah pemerintahan Prabowo, kekerasan akan menjadi lebih parah dan sangat memungkinan tidak ada ruang bagi masyarakat sipil. Sementara itu, Ganjar yang secara politis dan jabatan di PDIP lebih lemah dibanding Prabowo di Gerindra akan tidak lebih leluasa dalam membuat kebijakan dan Langkah tertentu, seperti halnya Jokowi di 2014–2016. Ini mengartikan, ada waktu sempit bagi kelompok progresif untuk mengorganisasikan diri.

Pelajaran dari 2014 dan Langkah Selanjutnya

Dalam rentang 2014 hingga 2016, indeks demokrasi Indonesia menurut Freedom House membaik dibanding paruh kedua periode pertama Jokowi. Meskipun gagal, Jokowi juga berhasil mengadakan symposium pemaafan korban 1965. Agenda-agenda pembangunan Jokowi juga terjegal di parlemen hingga tahun 2017. Awal tahun 2015 juga Jokowi berseturu dengan Megawati terkait pencalonan Kapolri yang tersandung kasus dengan KPK. Ini menunjukan bahwa pemerintahan Jokowi mengalami instabilitas dan kelemahan serta terjadi konflik antar oligarki. Konflik antar oligarki, dekonsolidasi oligarki ini kemudian memberikan ruang masyarakat sipil untuk mengorganisasikan diri dan menabung kekuatan, meskipun kondisi tersebut masih sempit.

Celakanya, masyarakat sipil tidak memanfaatkan waktu tersebut untuk mengorganisasikan diri dan percaya saja pada janji Jokowi. Partai Buruh yang legitimasinya rusak pasca mendukung Prabowo di 2014 tidak mampu memulihkan pelemahan gerakan buruh. Indoprogress dengan Tesis Oktober berhenti mengawal Jokowi dan baru sadar bahwa yang didukungnya adalah otoriter beberapa bulan yang lalu.

Salah satu kesalahan utama gerakan kelompok progresif pada tahun 2014 adalah tidak membuat kontrak politik dengan Jokowi, seorang calon yang masih lemah dan belum memiliki modal untuk jadi otoriter. Kontrak politik yang konkrit berisi agenda, target yang terukur, dan ancaman apabila tidak terpenuhi adalah salah satu cara untuk menjaga akuntabilitas dari kandidat borjuasi. Tanpa kontrak politik, kelompok progresif hanyalah penonton yang sesekali menganggu jalannya pemilu. Ketiadaan kontrak politik ini juga membuat aktivis-aktivis yang masuk parlemen dan kantor staf kepresidennan seenaknya melakukan apapun yang mereka mau karena tidak adanya pertanggungjawaban kepada kelompok progresif tempat mereka berasal.

Dalam kata lain, pil pahit yang perlu kita telan adalah mengakui jalan Jokowi menuju otoriter didukung oleh kenaifan kelompok progresif dalam memandang pemilu sebagai arena taktis. Alhasil, kita justru terlena dengan sikap positif Jokowi pada dua tahun pertama pemerintahannya dan lupa untuk mengorganisasikan diri.

Kekeliruan berpikir berikutnya adalah menanggap Jokowi sebagai ‘boneka oligarki’ dan ‘dikendalikan’ oleh elite politik. Pemikiran ini masih langgeng hingga sekarang dan berimplikasi pada aktivis yang menanggap Jokowi adalah orang baik dan terus menuntut dirinya untuk tobat. Vedi Hadiz menjadi satu dari sedikit pemikir yang sudah mengetahui marabahaya Jokowi sebelum dirinya dilantik menjadi presiden.

Jika memandang dengan kacamata materialis-historis, maka kita seharusnya mampu melihat rezim Jokowi bukan sebagai satu lintasan waktu yang konstan dan pasti. Ada alasan mengapa UU KPK disahkan di akhir periode pertama, UU Cipta Kerja pada tahun 2020, dan pelanggaran HAM semakin masif jelang periodenya berakhir. Dalam kata lain, kekuatan politik-ekonomi menentukan pembabakan atas kekuatan Jokowi dan dapat menjadi penentu peluang gerakan sipil.

Jokowi perlu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari oligarki. Sebelum memegang jabatan publik, Jokowi merupakan seorang pebisnis dan exportir hasil hutan Indonesia dan memiliki pasar di Eropa. Bisnis Jokowi pun mampu bertahan ditengah krisis ekonomi. Bersama Luhut Binsar Pandjaitan, Jokowi bekerjasama untuk mendirikan PT Rakabu Sejahtera ketika menjabat sebagai Walikota Solo. Jalannya menuju kursi Gubernur DKI Jakarta pun didukung oleh Prabowo Subianto. Ketika menjadi kandidat presiden 2014 dan 2019, Jokowi dikelilingi oleh pensiunan militer dan berbagai konglomerat. Seharusnya, Analisa ini dapat menjadi peringatan dini bagi gerakan progresif untuk tidak sepenuhnya percaya pada Jokowi dan menyadari bahwa meskipun Jokowi mengawali kepemimpinannya dengan penuh kelemahan, waktu tersebut akan berlangsung singkat sehingga perlu dimanfaatkan dengan baik.

Marxis Puritan tidak akan menyelamatkan Indonesia

Whoever expects a “pure” social revolution will never live to see it. Such a person pays lip-service to revolution without understanding what revolution is. (Lenin, 1916)

Berulang kali Lenin mengatakan bahwa Marxisme bukanlah sebuah pemikiran yang bersifat dogmatis. Marxisme tidak dapat digunakan pada segala kondisi dan situasi, melainkan harus sensitif terhadap konteks materialisme dan historis. Marxisme adalah panduan praktis menuju pemerintahan kelas pekerja. Kalkulasi tersebut tentu saja salah, namun bukan berarti tidak layak menjadi konsiderasi. Saya sengaja membawa contoh Lenin karena revolusi keberhasilannya menunjukan bahwa revolusi bolshevik tidak hadir pada ruang hampa, melainkan atas rangkaian kalkulasi, aliansi, penghianatan, pertemanan, kematian, hingga akhirnya cita-cita sosialisme tercapai.

Saya sepakat pada pemikir Marxian Indonesia yang menganggap ‘orang baik’ atau ‘milenial’ tidak akan menyelamatkan Indonesia. Namun, begitu juga dengan Marxis-marxis puritan dan aktivis HAM dogmatis. Belakangan gerakan Golput sudah mulai terdengar namun Analisa materialis-historis masih abai dalam penetapan strategi tersebut. Pemilu 2024 dianggap akan sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya, padahal jelas ada perbedaan antara lain dengan adanya tiga kandidat, satu kandidat hasil dinasti politik dan pelanggar HAM berat, dan satu kandidat dari partai petahanan dengan catatan HAM yang buruk. Keberadaan Partai Buruh juga seharusnya semakin menunjukan pemilu 2024 akan berbeda.

Namun sayangnya, Partai Buruh yang seharusnya dapat menjadi harapan pun tidak mendapat dukungan penuh dari kelompok progresif hanya karena dukungan politik mereka kepada Ganjar Pranowo. Beberapa hari yang lalu juga muncul ‘poros keempat’ pemilu yang berencana melakukan intervensi politik kepada dua kandidat demi menggagalkan kemenangan Prabowo. Meskipun tidak sepenuhnya ideal, upaya tersebut perlu diapresiasi. Namun, pernyataan sikap tersebut tidak disertai dengan kesiapan masyarakat Indonesia untuk mengikuti poros keempat atau memiliki kesadaran politik untuk tidak memilih Prabowo. Dalam kata lain, kehadiran poros keempat juga dapat dikatakan sebagai Langkah yang premature dan belum secara efektif mengkalkulasikan politik-ekonomi gerakan sosial Indonesia.

Jelas belum terlihat adanya tanda-tanda konsolidasi kelompok progresif dan agenda politik versi mereka untuk menantang para kandidat dan acuan untuk menjaga akuntabilitas. Siapa yang akan paling diuntungkan dari kondisi ini? Tentu saja Prabowo. Dengan masyarakat sipil yang tidak terkonsolidasi dan kekuatan lawan politik yang relative lebih rendah, cita-cita Prabowo menjadi Presiden Indonesia sepertinya akan tercapai.

--

--

Miftachul Choir

a postgrad student in Thai. Walking around Bangkok to see how does a human rights protest looks like and write about it - without being analytical at all