Kepada dia, sang Bintang Angkasa.

Je
2 min readApr 11, 2022

“Kamu ingat, dulu kamu bilang kamu ingin jadi bintang?”

Pertanyaanku buat kamu yang sedang duduk membaca buku langsung mendongak. “Hm?”

“Dulu kamu pernah bilang kalau kamu ingin jadi bintang, kan?”

“Iya… Tapi kenapa?”

Aku hanya tersenyum sambil menggeleng. Dan kamu, yang selama ini selalu heran dengan sikapku, hanya menggeleng perlahan sambil bergumam, “Ada-ada aja.”

Hari ini tanggal dua belas April. Dan seperti biasanya, kamu tak pernah berikan aku kode untuk izinkan aku merayakannya dengan benar. Kamu tak pernah mau aku rayakan ulangtahunmu dengan meriah, dipenuhi sorakan atau kue besar dengan krim enak diatasnya serta lilin yang memenuhi permukaan kue.

Hari ini tanggal dua belas April; lebih dari itu, hari ini adalah hari bertambahnya umurmu.

Namun kamu masih sibuk bergelut dengan buku sejak pagi, buat aku jadi bingung harus melakukan apa.

Malam semakin dekat, waktu bergulir tanpa mau berhenti. Hingga saat istirahat jadi satu hal yang diperlukan oleh tubuhmu, aku harus meminta maaf saat masuk ke kamarmu dengan lilin kecil di tangan.

Tanpa kue, tanpa sorakan, tanpa nyanyian meriah.

Hanya lilin kecil yang cahayanya bahkan tak bisa capai dua meter, dan nyanyian dari suara sumbangku memenuhi ruangan.

“Selamat ulangtahun, selamat ulangtahun. Selamat ulangtahun, kamu. Selamat ulangtahun.”

Lalu kamu mendengus geli, terduduk di tepi ranjang dan menurut saat aku menyuruhmu berdoa, meminta sesuatu pada Tuhan sebagai hadiah ulangtahun. Saat kamu tiup nyala lilin kecil itu, aku tak bisa tahan diriku untuk tidak bertepuk tangan, meskipun aku melakukannya pelan-pelan agar tak undang keributan.

“Terimakasih,” katamu. “Aku kira kamu lupa.”

Aku mana pernah lupa, kataku dalam hati. Aku mana pernah lupa jika itu tentang kamu.

Namun alih-alih yakinkan kamu bahwa aku benar-benar tak lupa, aku malah berkata, “Kamu pernah bilang kamu ingin jadi bintang, kan?”

“Ada apa denganmu dan bintang hari ini?” tanyamu geli. “Sejak siang, kamu bertanya itu terus padaku.”

“Aku cuma ingin bilang,” Kamu menatapku dengan satu alis terangkat, memintaku meneruskan apa yang ingin kukatakan.

“Bagiku, kamu adalah bintang. Ingat saat kamu temukan aku dalam kegelapan, kan? Kamu bawa aku pergi dari sana, memberiku tempat yang bisa membuatku melihat jalan yang aku tapak. Kamu memberiku cahaya dan selamatkan aku dari jurang,

Dan untuk itu, aku berterimakasih padamu, bintang.

Dan selamanya, kamu adalah bintang untukku.”

Kamu terkekeh. Tanganmu terangkat dan mengusak puncak surai hitamku pelan.

Lalu aku melanjutkan, “Tapi tolong, jangan jadi bintang yang paling terang, ya?”

Dahi mengerut lagi. Perubahan ekspresimu itu.. aku selalu menyukainya. “Kenapa?” tanyamu tanpa klu.

Aku tersenyum lebar.

“Katanya, bintang yang paling terang itu adalah bintang yang paling cepat meledak.

Aku tak mau kamu meledak, apalagi hilang.

Makanya, jadi bintang yang biasa saja. Supaya kamu bisa menemaniku selama yang kita mau.

Setuju?”

--

--