Iris.

Manusia bias
2 min readNov 1, 2021

"Semesta itu terlalu luas, ya?"

"Engga, kok."

Kahiyang memasang telinga, bersiap mendengarkan setiap alun kata yang Alsaki terbangkan. Alsaki memandang perempuan di sampingnya yang mendongak menghadap cakrawala.

"Semesta cuma seluas pupil mata kamu, Yang."

Ranum bibir Kahiyang memahat seutas senyum. Lentik jarinya menyembunyikan juntaian surainya ke balik telinga.

"Kamu jago gombal ya, Al."

"Aku serius, Yang. Semestaku cuma seluas pupil matamu."

Alsaki beralih memandang bumantara yang bertabur bintang. Bagi Alsaki, di antara bintang itu tak ada yang lebih terang dari warna kedua iris Kahiyang.

"Berarti semesta kamu gelap banget ya, Al?"

"Kamu mau dinyanyiin apa?"

Tak ubah dimakan waktu. Menyumbangkan sebuah lagu menjadi rutinitas Alsaki semenjak hatinya diberikan pada Kahiyang secara cuma-cuma. Senar gitar yang ia petik seketika memenuhi gendang telinga.

"Aku suka apa pun yang kamu nyanyiin, Al."

Dawai asmara terus Alsaki petik. Lantunannya menumbuhkan bunga-bunga seumpama mahkota. Namun belum sempat bait terakhir lagu ia senandungkan, langit mendadak redup. Bintang jatuh. Dan semesta menurunkan hujan.

"Aku belum pernah bilang, ya? Bahwa semestaku cuma seluas ruas-ruas jari kamu."

Kahiyang tidak lagi mendongak ke cakrawala. Ia menunduk, meratapi gundukan tanah.

"Kamu nggak pernah cerita, bahwa warna iris matamu lebih terang dari bintang di angkasa."

Semesta kembali menurunkan hujan di pelupuk netra Kahiyang. Cukup deras untuk bisa membanjiri pipinya.

"Dulu duniaku gelap, Al. Tapi jemari kamu selalu bisa menuntun aku kembali ke rumah. Sekarang dunia terlihat terang. Tapi aku hilang arah dan nggak bisa kembali ke rumah."

Semesta Alsaki hanya seluas pupil netra Kahiyang yang tak diberi kesempatan melihat cahaya. Dan semesta Kahiyang hanya seluas ruas jemari Alsaki yang selalu memetik indah lantunan nada cinta. Tidak lebih. Dan tak pernah kurang. Tapi keduanya kehilangan masing-masing semestanya. Alsaki pergi meninggalkan sepasang netra untuk Kahiyang, mungkin sebagai jawaban atas pertanyaan yang tak sempat ia jawab.

"Berarti semesta kamu gelap banget ya, Al?"

"Engga, kok. Terang. Kamu mau coba lihat semestaku?"

--

--