What Do You Think About the End of the World?

R
6 min readFeb 19, 2023

--

Part I.

Apa yang seharusnya manusia rasakan ketika terbangun dengan sinar matahari cerah mengenai wajah mereka? Senang karena masih bisa bernafas atau sebal karena sudah lelah untuk bangun setiap harinya?

Junhui akan menjawab, tidak tahu. Ia sudah lupa kegembiraan dan kejengkelan yang biasa orang rasakan ketika bangun.

Let the water rise, let the ground crack, let me fall inside, lying on my back

Yang bisa Junhui lakukan hanya bangkit, berjalan perlahan sambil bersenandung lirih, mengikuti jalan setapak menurun dan memasuki arena panahan tertutup buatan orangtuanya. Junhui bersyukur arena ini dibuat diantara pepohonan, jadi orang-orang tidak bisa melihat betapa memalukannya dia. Yang terpenting, orang-orang tidak akan terluka karena dia.

“Jangan gagal, Junhui,” bisiknya sambil menatap busur hitam di tangan kirinya.

Set up — drawing — anchoring — holding — aiming — release.

Langkah-langkah yang Junhui sudah hafal betul, sampai dosa rasanya jika lupa satu saja. Tapi kini Junhui menambah 1 langkah lagi: Meleset. Helaan nafas keluar bersamaan dengan anak panahnya yang menancap di pohon, jauh dari titik sasaran yang sudah disiapkan. Kenapa harus kecewa? Junhui sudah biasa menjadi gagal. Tapi seperti hari-hari sebelumnya, Junhui kecewa untuk kesekiankalinya.

Junhui ingin menangis tapi air matanya tidak bisa keluar. Junhui ingin menangis karena ia tidak bisa menangis. Rasa kecewanya terus berputar-putar tidak ada habisnya.

Jadi Junhui hanya berdiri disana, melihat busur yang rasanya sudah sangat asing di tangan, merapal kalimat-kalimat jahat untuk dirinya sendiri, mempertanyakan tujuannya bangun setiap pagi dan mengangkat busur besi.

Sampai akhirnya suara rem motor terdengar dan Junhui melihat disana, sepasang mata sehitam malam menatapnya tajam dari tepi jalan utama. Mengawasinya tanpa berkedip seakan berkata, “oh aku tahu orang macam ini.”

“Woy Won! Pondoknya disana, ngapain lo berenti disitu?” Suara lain masuk telinga Junhui. Dengan cepat Junhui melepas peralatannya dan berlari di antara pepohonan untuk kembali ke pondok. Lari dari tatapan manusia-manusia yang mungkin saja tidak peduli padanya, tapi ia tetap melarikan diri, as he always does.

Di pagi hari selanjutnya, setelah menerima telepon dari orangtuanya dan mendengarkan ceramah yang ia tahu betul arahnya kemana, Junhui kembali berjalan ke arena panahan.

“Juni, please dengerin mama sama papa, ya?” Junhui selalu dengerin, kok.

“Juni sayang, mama sama papa sedih kalau kamu kaya gini terus.” Junhui juga sedih.

“Juni, coba inget tujuan kamu apa?” Mau nyenengin mama papa.

Junhui yang orang-orang lihat adalah atlet panahan hebat, pemenang banyak turnamen, dan kebanggaan keluarga. Dengan orang tua pebisnis kaya raya yang begitu menyayanginya dan mampu membiayai semua keperluannya. Junhui yang orang-orang lihat adalah atlet panahan yang memberi dan diberi banyak cinta oleh semua orang.

Sampai akhirnya cinta yang ia terima terlalu banyak dan begitu menyesakkan, memaksanya terus menarik tali busur panah tanpa henti dan melukai jari-jari dan hatinya. Junhui melepas tali busur itu, membiarkan panah melaju kencang menancap jauh dari sasaran. Pada saat yang sama ia merasakan panah-panah menancap di punggung bidang nan rapuhnya, merasakan bagaimana semua orang menatapnya sangsi dan penuh kekecewaan.

Tolong berhenti, pinta Junhui. Tapi panah terus menancap di tubuhnya, mengikuti dan mengawasi Junhui kemanapun ia pergi. Terkadang berbisik, terkadang tertawa akan kesusahan dan ketidakberdayaannya. Tolong Junhui, tapi tidak ada yang mendengar. Suara tertawa mereka terlalu keras, tidak mau pergi entah berapa kali dan sekuat apa Junhui memukul kepalanya.

Kenapa mereka jahat? Junhui pernah bertanya, tapi bukan jawaban yang ia dapat, kepala Junhui balik bertanya: Siapa yang jahat? Kamu atau mereka, kamu yang memberi banyak kekecewaan atau mereka yang selama ini percaya sama kamu? Kamu yang jahat.

Junhui yang jahat.

Yang Junhui lihat di cermin setiap pagi adalah manusia yang jatuh pingsan ditengah-tengah turnamen panahan, yang tidak kuat akan tatapan ratusan manusia dan panah yang mereka tancapkan di punggungnya. Manusia yang kalah akan suara tertawaan di kepalanya sehingga ia harus mendapatkan perawatan karena gangguan kecemasan katanya, yang diasingkan oleh orang tua kaya rayanya dengan alasan “agar Juni bisa tenang”, padahal mereka malu anaknya gagal dan meninggalkannya sendiri agar bisa berintrospeksi. Manusia rusak yang tidak mampu lagi memegang busur dan panah yang dulu menjadi kebanggaan.

Come out, come out, to the sea my love, and just drown with me.

Kemudian Junhui bersenandung. Lagu bertempo lambat selambat hari-hari yang ia jalani di pondok ini sendirian. Selambat pertambahan umurnya yang ingin cepat-cepat ia istirahatkan. Merasakan dinginnya es yang menerobos dari kaki menuju dadanya yang selalu penuh sesak akan rasa malu dan kekecewaan. Mungkin dinginnya es bisa membuatnya lupa akan semua rasa sakitnya, mungkin sudah saatnya Junhui harus beristirahat. Iya, kan?

“Ikannya jangan ditakut-takutin. Kabur semua, kan.” Suara rendah mengganggu Junhui, menyadarkannya bahwa kini ia sudah berdiri di tengah sungai lengkap dengan peralatan panahannya dan setengah badan terendam air. Ia berbalik dan mendapati lelaki berkacamata dengan mata sehitam malam tempo hari.

“Oh, sorry.” cepat-cepat Junhui meminta maaf dan beranjak dari pijakannya, setidaknya di tempat ini ia tidak boleh mengecewakan orang lain.

“Lo udah pernah makan ikan bakar?”

Pertanyaan random membuat Junhui menatapnya aneh dan menjawab simpul, “udah.”

“Kalau bakar ikan sendiri? Atau, pernah gak lo mancing?”

Junhui menggeleng dan lelaki aneh berkacamata itu tersenyum samar, “oke kalo gitu bantuin gue.”

Dua detik kemudian lelaki itu merampas busur dari tangan Junhui, melemparnya ke rerumputan, dan menggantinya dengan pancing. Dan jika Junhui merasa sangat bersyukur karena seseorang akhirnya secara paksa melepas sebagian kecil sumber rasa sakitnya, Junhui tidak memberitahu si lelaki.

“Lo tau siapa gue, kan?” Tanya Junhui dengan mata terus melihat pancing yang diberikan kepadanya.

“Confident much?” Lelaki itu tersenyum miring seakan mengejek.

“Gue denger ya dua temen lo yang naik scooter kemarin ngobrolin gue kenceng banget sampe ke pondok gue, jadi jangan bohong.” Memang benar, Junhui sempat mendengar obrolan heboh mereka saat kaget bahwa mereka ada di satu kawasan dengan “atlet terkenal”.

“Gue cuma ngeliat anak yang gak pernah mancing, ya udah gue ajak sekalian. Itung-itung nambahin pengalaman lo.” Junhui tahu itu hanya alasan, tapi ia tidak protes. Apa hak Junhui ketika ia sendiri saat ini tidak diinginkan oleh siapa pun?

“Lo capek, kan?” tanya si kacamata lalu menepuk rumput di sebelahnya sambil tersenyum, “Istirahat aja dulu sambil nunggu umpan lo dimakan ikan,” tambahnya.

Kapan terakhir kali seseorang menyuruhnya istirahat? Junhui lupa. Ia hanya ingat bagaimana semua orang menaruh kepercayaan dan harapan besar kepada “Si Genius” Junhui dan ia tak punya pilihan lain selain berusaha dan terus berusaha.

Pertanyaan lebih penting muncul di kepala Junhui: kapan terakhir kali seseorang pernah menanyakan keadaannya?

“Cepet sini, gue ajarin dari awal.” Yang orang asing ini lihat sekarang adalah seorang manusia biasa yang lelah akan ekspektasi semua orang dan menawarinya waktu untuk beristirahat.

Pertahanan diri Junhui runtuh bersamaan dengan air mata yang selama ini ia tampung. Begitu lemah perasaan manusia, pikir Junhui. Sampai-sampai disuruh istirahat saja membuat Junhui sungguh sangat bersyukur dan menangis bahagia.

Seakan tahu apa yang terjadi, si lelaki tersenyum lebih lebar dan kembali menepuk rumput di sampingnya. Dengan cepat Junhui menyeka air matanya lalu duduk di sebelah lelaki itu, bercerita dengan semangat tentang kolam ikan koi di rumah nenek dan kucing ragdoll miliknya yang mencoba masuk ke kolam untuk menangkap ikan-ikan itu. Tertawa lucu, si lelaki berkacamata ganti bercerita akan pengalaman adiknya yang pernah memelihara ikan cupang namun bodohnya ditaruh di satu tempat yang sama dan berakhir dengan kisah tragis kedua ikan itu.

Lupa sudah akan bajunya yang basah, lupa sudah akan jam dan banyaknya ikan yang mereka tangkap, lupa sudah akan rencana jawaban yang ia siapkan untuk orangtuanya esok pagi, Junhui dan si orang asing terus tertawa dan bercerita. Akan kenangan-kenangan masa lalu dan harapan-harapan masa depan.

“Lo kocak banget, Jun.” Yang orang asing ini lihat adalah Wen Junhui.

Dry your smoke-stung eyes, so you can see the light. You’re staring at the sky watching stars collide

Lagi dan lagi nada-nada lambat disenandungkan Junhui. Kali ini sedikit lebih ringan dan jernih, ditemani kelap-kelip bintang dan dinginnya angin malam, dan sepasang mata berbingkai besi yang tersenyum seakan menjadi orang yang paling bangga akan Junhui.

“Sebelum tidur malem ini, gue ada pertanyaan buat lo.” Si kacamata berdiri, membersihkan celananya dari dedaunan dan mengangkat ember penuh ikan.

“Apaan?” Jawab Junhui kelewat semangat, ikut berdiri dan menunggu pertanyaan.

“What do you think about the end of the world?”

— fin.

ⓒ 610LOCK

--

--

R

"Show me a hero and I’ll write you a tragedy" - F. Scott Fitzgerald