Akhirnya, tepat pada tanggal 25 November 2020, Daffin diperbolehkan untuk pulang, ia sudah selesai dari rawat inapnya. Kondisinya kian membaik setiap harinya, keyakinan Daffin untuk sembuh membuahkan hasil yang dinanti-nanti. Sudah tidak ada gejala lagi yang timbul, bahkan Daffin sudah menerima kepergian Anjani dengan ikhlas. Tidak lagi berbaluti bayang-bayanh cinta-nya itu. Walau tetap, rasa cintanya tidak luntur sedikit pun. Tidak akan pernah. Ia hanya bisa lebih lapang dada untuk menerima semuanya.
Setelah mendapatkan izin untuk bisa menjalani kehidupan pada umumnya. Di sinilah Daffin sekarang, di parkiran rumah sakit, ia ingin balik ke rumahnya. “Fin, ngga ada yang ketinggalan?” ujar Ezra dengan tangan yang sibuk bergerak, ia sedang merapihkan beberapa barang Daffin yang ada di bagasi mobil.
“Udah nggak ada, udah gue ambilin semua.” Daffin menggeleng, ia menyakinkan dirinya lalu meyakinkan Ezra dengan tatapan sungguh-sungguhnya. Ezra mengangguk, lantas kedua tangannya terangkat untuk menutup bagasi mobil miliknya.
Pandangan Daffin beralih, dari melihat kegiatam Ezra ke arah samping kanan. Dilihatnya Tari yang masih tersenyum ke arah keduanya, senyumnya merekah lebar sebab ia senang bukan main.
“Daffin, sehat-sehat terus ya?” Tari mengikis jarak, tangannya ia sengaja letakan di bahu Daffin, ditepuknya berkali-kali dengan pelan. “Daffin harus bahagia! Daffin pantes untuk bahagia tanpa tersiksa. Jangan mikirin hal yang terlalu berat lagi, ya?” tepukan itu berakhir menjadi usapan. Doa Tari terdengar sangat tulus tiap katanya, karena ia benar-benar menginginkan Daffin untuk berbahagia layaknya manusia yang bisa menjalani kehidupan normal. Sudah cukup ia menyaksikan bagaimana terluka dan frustasinya Daffin semasa diurus olehnya, Daffin pantas hidup dengan bahagia tanpa dihantui gejala penyakitnya. Kendati harapnya memang sangat tinggi, tidak akan bisa dipungkiri bahwa Daffin bisa saja kambuh kapanpun.
Daffin membawa kepalanya untuk mengangguk paham. “Tari, makasih,” tuturnya kelewat tulus, sengaja Daffin bawa ingatannya bagaimana peran sabar Tari miliki untuk menjaga dan mengawasinya. Peran Tari untuk kesembuhannya patut diacungi dua jempol, empat kalau bisa, pakai jempol kaki.
“Iya, sama-sama.” Perasaan tari selalu bahagia jika ada pasiennya yang berhasil melewati semuanya, mungkin tidak akan bisa 100% sembuh. Tapi bagi Tari, sembuh atau tidak, kala pasiennya bisa menjalankan kehidupan normal tanpa gangguan yang menyulitkan, itu sudah lebih dari cukup untuknya berbahagia.
“Tar, salam sama Dokter Fariss, ya?” Kali ini Ezra yang berbicara kepada Tari. Ungkapan itu juga datangnya tulus dari hati, diingat bagaimana susahnya Dokter Fariss mengawasi perkembangan Daffin. Belum lagi perannya cukup menduduki tahta tertinggi setelah Tari.
“Pasti Zra! Dia kayaknya lagi sedikit sibuk.” Dari yang Tari ketahui memang begitu adanya.
Setelahnya terjadi sedikit obrolan kecil yang Ezra ungkapkan kepada Tari. Karena keduanya semakin sibuk, Daffin memutuskan untuk menaiki mobil terlebih dahulu. Sedikit ia berfikir bahwa dirinya menajubkan, sudut kiri bibirnya sengaja ia tarik sedikit, saat mengingat bagaimana dirinya sangat kacau beberapa bulan lalu, ia bangga, pada dirinya sendiri.
Saat Daffin sibuk berkutat untuk membawa ingatannya untuk terulang dengan sengaja, Ezra mulai memasuki mobil di area pengemudi. Sedikit Daffin bisa lihat Ezra tersenyum ke arahnya. Alis Daffin bertaut, ia heran.
“Lo kenapa Zra?” tanyanya dengan keheranan yang mengelilingi. Kini Ezra sudah bukan tersenyum biasa melainkan ia tersipu.
Sejak Daffin berada di dalam mobil, Ezra memang sedikit berbincang dengan Tari dan pikir Daffin itu adalah hal yang membuatnya tersipu, atau ntahlah, hanya Ezra yang tahu kenapa ia sebenarnya.
Ezra tidak menjawab apapun, ia mulai melajukan mobilnya untuk berjalan membelah jalanan Jakarta. Keheningan mulai tercipta karena Ezra tak kunjung menyalakan radio mobil, jadi yang Daffin lakukan adalah membuka obrolan. “Sakya udah di mana Zra?” tanya Daffin dengan nada penasaran, sebab sebelumnya Daffin mengetahui Sakya akan ke Jakarta. Jadi ia bertanya untuk memastikan. Sekaligus ia tidak sabar, rindu katanya.
“Katanya udah mau sampe di Gambir, tunggu aja nanti di rumah gue.” Ezra menjawab sesuai informasi yang Sakya katakan melalui personal chat.
Setelahnya tidak ada obrolan apapun, Daffin terlalu malas memikirkan topik pembicaran dengan Ezra, toh mereka sudah bertahun-tahun berteman, rasanya untuk basa-basi sudah tidak diperlukan, apalagi saat ini tubuhnya sedikit lelah. “Zra, izin tidur ya? Kita agak jauh kan?” ia berbicara lalu menguap, tampaknya memang Daffin sangat mengantuk.
“Iya, istirahat aja.” Lalu Ezra kembali melayangkan pandangannya untuk fokus, dan sesekali tersenyum karena mengingat obrolannya tadi. Padahal itu hanya sebuah ajakan nonton yang di-iyakan oleh Tari.
Jakarta hari ini sangat cerah, walau beberapa kali sempat hujan lebat, beruntungnya hari ini cerah. Cuaca saat ini seperti ikut merayakan kebahagiaan Ezra, Sakya dan keluarga Daffin yang lain.
Sesekali Ezra melihat ke kiri ― bangku penumpang. Ia memperhatikan bagaimana Daffin istirahat. Pikirannya berbicara yang tidak dikeluarkan oleh bibir. Fin, gue seneng lo udah bisa keluar dari rumah sakit, semoga abis ini lo bahagia terus ya? Terus nurut juga buat kosumsi obat biar gejalanya nggak dateng lagi, semoga lo tahu ya Fin? gue beneran sebahagia itu ngeliat lo sekarang udah jauh lebih baik. Gue ngga suka liat lo kesiksa gitu, udah ya Fin...
Ezra mulai mengedipkan netranya berkali-kali, ia sedang mencegah bulirnya jatuh. Sepertinya hatinya sudah melunak, karena jikalau kepribadiannya dibedakan dari yang dulu dan sekarang, keduanya sangat berbeda. Sekarang Ezra bisa lebih cepat responsif akan emosi yang ingin ia keluarkan atau rasakan. Mungkin karena bergaul dengan Tari, jadi ia lebih bisa mengenali emosinya lewat kata-kata yang Tari lontarkan.
Ia sudah bukan kepala dan hati batu.
Once again, people change.
Baru saja ingin menikmati tenangnya jalanan Jakarta saat ini, tiba-tiba saja handphonenya berdering. Dilihatnya sekilas, menampakan nama Sakya di sana. Dengan tangan kanan yang sibuk memengang stir mobil, Ezra gunakan tangan kirinya untuk mengangkat benda pintar itu.
“Iya, hallo.”
“Udah di Gambir, Bang.”
“Mau dijemput? Atau langsung mesen gocar ke rumah?”
“Naik gocar aja, deh. Sakya cuma mau nyampein aja. Yaudah Sakya pesen dulu ya?”
“Oke, hati-hati Sak.”
“Iyaa.”
Sambungannya terputus, lalu yang Ezra lakukan kembali adalah melanjutkan fokusnya terhadap dirinya yang sedang mengemudi.