Aged like a fine wine.

mothrapixie
5 min readOct 21, 2021

--

August 16, 2019.

Age is like fine wine — it gets better with time!”

— The Fresh Quotes

“Gue cuma lagi bingung. Gue bingung nanggepin diri gue sendiri yang masih belum bisa sepenuhnya nerima keadaan. Bokap nyokap pisah dari SMP dan itu bikin gue ngerasa gagal jadi anak karena ga bisa nyatuin mereka, Ji. Not gonna lie, salah satu alasan gue buat kuliah dan kerja jauh dari Surabaya itu biar bisa lupa. Gue berusaha ngehindar supaya ga inget-inget lagi, gue berusaha sejauh mungkin biar ada sedikit ke-distract sama hal baru, dan bangsatnya lagi, itu semua bikin gue jarang nanya kabar ibu. Makanya kemarin gue di-chat ibu sampe disuruh pulang saking jarangnya ngabarin.”

Jiji masih mengingat jelas kata demi kata yang dilontarkan oleh Rayyan beberapa hari lalu tentang kondisi keluarganya dan perasaannya sendiri yang masih belum bisa sepenuhnya menerima hal yang sudah terjadi. Alih-alih karena perpisahan kedua orang tuanya, Rayyan lebih belum bisa berdamai dengan luka dan dirinya sendiri. Jiji paham akan itu, instead of telling Rayyan that everything’s gonna be okay, Jiji malah melakukan hal yang sebaliknya. Karena Jiji merasa, sebelum ada di tahap “everything’s gonna be okay” atau tahap “acceptance”, seseorang berhak mengglorifikasi kesedihannya selama mungkin yang ia mau. Dan Jiji pun tahu bahwa Rayyan selama ini belum benar-benar ada di tahap “acceptance” tersebut.

Jiji tahu itu. Pun tentang instastory Rayyan yang memainkan lagu Linkin Park feat. Kiiara bertajuk Heavy, ia juga tahu bahwa lelaki yang selama ini berhasil merebut hatinya itu sedang tidak baik-baik saja. So thats why, here they are. Karena kebetulan Rayyan ingin menghabiskan akhir pekannya bersama Jiji, ia menawarkan Rayyan untuk menghabiskan waktu di rumahnya saja.

Setelah makan malam, mereka duduk bersantai di sofa bed yang terletak di depan televisi yang menyala — menayangkan film dari aplikasi netflix yang entah berjudul apa, karena mereka memilihnya secara acak — dengan dua botol wine yang sudah tersedia di meja depan mereka berdua. Mereka duduk bersampingan, masih saling diam, dan belum ada yang memulai percakapan kembali.

How was your day, Yan? Dari tadi kita makan, gue lupa nanyain ini ke lo deh.” Jiji akhirnya memulai percakapan.

Rayyan tersenyum, seperti responnya yang sudah-sudah saat Jiji bertanya kepadanya. “Haha, it’s not a mandatory though. But thank you for asking me.”

“Perlu tapi, Yan. Just want to make sure that everything’s alright and you already survived. I mean it.”

I appreciate it. Thank you ya, Ji.”

No worries, Yan. So? Jawabannya apa?”

Rayyan menghela nafasnya berat. “First, I thank you to myself that I already survived today. Sisanya, gue ga bisa bilang baik-baik aja. Gue capek. Banget. Bukan capek fisik kali ya. Tapi dalemnya yang capek.”

I see. Selain yang kemarin lo ceritain di FaceTime, ada lagi ga yang pengen lo share sama gue? If you don’t mind.”

“Belum ada. Kalo capek cuma karena kerja from eight to four mah itu udah biasa ya. But for this thing, sometimes, I feel like I can’t handle. Gue tau gue gapapa, cuma emang lagi ke-trigger aja. Lucu banget kadang kalo dipikir-pikir tuh.”

Rayyan bercerita sedikit demi sedikit dan Jiji mendengarnya sambil menuangkan wine pada dua gelas dan memberi salah satu gelas tersebut kepada Rayyan.

“Eh, thank you.” ucap Rayyan yang dihadiahi anggukan oleh Jiji.

Rayyan mulai menyesap wine-nya dan kemudian melanjutkan ceritanya. “Karena tiap gue pulang ke Surabaya, pasti rasa kayak gitu muncul lagi. Gue bingung mau namainnya apa. Sakit iya, anxious iya, throwback iya, ngerasa useless iya, ngerasa bersalah sama ibu apalagi.”

Karena Jiji merasa Rayyan sudah menyelesaikan ceritanya, maka saatnya ia menanggapi cerita tersebut. “I see. It must be tired, right? Holding back that feeling for years and sadly, you can’t find a way out.”

Definitely. Still figure it out how to find my way out. But just because I told this to you, doesn’t mean I’m demanding you to give me some advices atau gimana-gimana ya, Ji.” Rayyan menjawabnya dengan perasaan masih merasa tidak enak karena ia merasa, Jiji juga menanggung ini semua dengan mendengar ceritanya.

Rayyan kembali menyesap wine-nya, yang tidak terasa sudah habis satu gelas. “Eh gue mau lagi ya, Ji? Enak.” Jiji tertawa mendengarnya. Namun ia mengangguk sembari melanjutkan tanggapannya.

No, not at all. Gue seneng dengerin orang cerita. Dan gapapa. Like I said before, your feelings are valid. Its suck, knowing yourself is not okay. Its suck, knowing yourself still fighting with the shadows for years. No need to fully understand what did you feel, tapi gue tau kalo lo butuh orang yang bisa dengerin lo. So, here I am. Trying to validate your feelings because I think sometimes we need that to feel okay in the future. And I hope its enough ya, Yan.”

Rayyan bersandar pada sofa bed tersebut sambil beberapa kali — masih menyesap wine-nya. “More than enough, Ji.” Rayyan menjawabnya sambil tersenyum.

Jiji memutar gelas berisikan wine yang masih tersisa satu tegukan lagi. “And one more thing, Yan.”

“Kenapa, Ji?” Rayyan menoleh kepada Jiji setelah sebelumnya melamun singkat.

Just like a fine wine, you get better with age. You can handle this, even in the middle of chaos, you can handle this. I believe you can get through this as you get older. I believe you. As I said before. Jadi, pelan-pelan ya Yan. Luka emang ga gampang bisa sembuh. Tapi bisa.”

“Ji, lo tau ga?” tanya Rayyan.

“Apa tuh?”

“Gue mixed feelings banget sekarang. Sedihnya masih ada, tapi jadi agak berubah jadi seneng, jadi ketutup semuanya karena ada lo. Gue sayang banget sama lo deh asli,” ucap Rayyan.

“Bucin banget kayaknya, Yan. Hahaha!” Jiji tertawa mendengar pernyataan Rayyan tadi.

“Lah gue jujur ini.”

Jiji lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Rayyan, yang kalau kata anak sekarang disebut bucin atau budak cinta. “Haha iya ya Yan, percaya gue. Yaudah sini peluk dulu. Mau peluk ga?”

“Mau lah gila!”

Jiji tertawa lagi. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Jiji merentangkan tangannya yang bertujuan untuk memeluk Rayyan. Rayyan menghampiri rentangan tangan tersebut dan mulai memeluk Jiji. Keduanya saling membalas pelukan masing-masing dan disertai Jiji yang mengusap punggung Rayyan pelan. Pelukan tersebut berlangsung cukup lama dan kemudian Jiji merenggangkan pelukannya sebentar sambil mengecup pipi Rayyan sekilas seraya berkata, “Sedihnya jangan lama-lama ya, Yan. You’re too precious for that.”

Kemudian, keduanya masih menikmati malam — of course with their conversation, a lot of topics, and the second bottle of wine. It was getting late, finally they fell asleep, still on the same sofa bed with sharing a same blanket. Maybe, no one really knows how does Rayyan feel right now but at least, he found his home which made him feel better just like a summer when the rain is pouring down.

--

--