Negeri Keadilan yang Dibungkam

Muhammad Alfitras Tavares
6 min readFeb 16, 2019

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”

- Pramoedya Ananta Toer

Jika dilihat dari kutipan diatas, seyogyanya seorang pelajar haruslah berbuat adil. Tapi apakah adil itu?

(Source: https://quotefancy.com/quote/1378734/John-Rawls-Justice-as-fairness-provides-what-we-want)

Dalam buku yang berjudul A Theory of Justice, karya John Rawls, ia mencoba mengkaji permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan, dan ia juga berpendapat bahwa karyanya itu sejalan dengan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya diusung oleh berbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant.[1] John Rawls menyatakan dua prinsip keadilan yang ia yakini yang pertama yaitu “each person is to have an equal right to the most extensive total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for all, dan yang kedua adalah social and economic inequalities are to be arranged so that they are to the greatest benefit of the least advantaged and (2b) are attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity”.[2]

Prinsip pertama menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang setara untuk mendapatkan kebebasan yang mendasar, dimana kebebasan tersebut adalah kebebasan untuk berpolitik, kebebasan untuk berpendapat, bebas dari penindasan secara psikologis, kekerasan fisik dan lainya.[3] Prinsip kedua menyatakan bahwa segala bentuk perbedaan dan ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik harus diatur agar menguntungkan bagi pihak yang tidak beruntung dalam masyarakat, dan segala jabatan dan posisi harus dibuka bagi semua orang.[4] Prinsip ini juga menyatakan bahwa semua orang mendapatkan kesempatan yang sama dengan cara memberikan suatu fasilitas dan kesempatan kepada orang yang berbeda secara tatanan ilmiah seperti terlahir dari golongan kaya atau miskin, dan tatanan ilmiah lainnya. Jika terdapat konflik antara prinsip pertama dan prinsip kedua maka prinsip pertama lah yang harus di prioritaskan dibanding prinsip kedua. Dengan demikian untuk mewujudkan masyarakat yang adil tersebut, kebebasan akan hak-hak dasar harus diposisikan sebagai nilai tertinggi kemudian diikuti kesempatan yang sama bagi setiap orang.[5] Itulah prinsip keadilan menurut John Rawls.

Dilihat dari teori keadilan sosial, maka kita tidak bisa memisahkan antara keadilan sosial dengan hak asasi manusia. Keadilan sosial bisa terjadi jika hak asasi manusianya dipenuhi, dan hak asasi manusia bisa dipenuhi jika ada keadilan sosial. Lalu yang dimaksud dengan hak asasi manusia itu adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut.[6]

Berkaitan dengan keadilan sosial di Indonesia, keadilan sosial di Indonesia merupakan suatu hal yang dijamin oleh negara. Hal ini sesuai dengan Pancasila sila ke-5 yang berbunyi:

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Keadilan sosial ini di manifestasikan dalam bentuk kesejahteraan bagi warganya dan hal ini tertuang pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi:[7]

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,…”

Pembukaan tersebut menjadi dasar bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan. Maksud negara kesejahteraan disini adalah dimana setiap hak-hak warga negara selalu dipenuhi, diberikan layanan sosial, dan memastikan setiap warga negaranya memperoleh pendapatan minimum.[8]

Sebagai negara kesejahteraan, dan negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Indonesia seyogyanya harus memenuhi segala hak asasi manusia bagi warganya, yaitu yang tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 dan Undang-Undang № 39 tentang Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia ini didalamnya termasuk kebebasan berpendapat/berekspresi. Kebebasan berpendapat ini adalah prinsip-prinsip yang menjadi landasan kebebasan seorang individu, kelompok, atau komunitas untuk mengemukakan pendapat dan ide mereka tanpa harus takut akan sensor, pembalasan, ataupun sanksi.[9] Menurut John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke-17 kebebasan berpendapat ini penting karena semakin luas kebebasan berekspresi dibuka dalam sebuah masyarakat, atau peradaban maka masyarakat atau peradaban tersebut semakin maju dan berkembang.[10]

(Source: https://cpb-us-w2.wpmucdn.com/blogs.pace.edu/dist/1/154/files/2014/09/Freedom-of-Speech-megaphone.jpg)

Namun dalam praktiknya masih banyak kasus yang melanggar hak asasi manusia di Indonesia, khususnya yang melanggar kebebasan berpendapat/berekspresi. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kasus mengenai kebebasan berpendapat sekarang ini.[11] Contoh kasus yang baru-baru ini terjadi antara lain adalah razia buku yang dianggap berpaham kiri yang terjadi di Padang.[12] Razia buku yang terjadi juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat, karena buku adalah sumber dari pengetahuan maka selayaknya, suatu pengetahuan itu tidak boleh dilarang. Razia tersebut juga tidak melalui prosedur yang ada dimana harus dilakukan oleh kejaksaan setelah ketetapan dari pengadilan. Selain razia buku, pembubaran berbagai diskusi juga dilakukan seperti pembubaran diskusi mahasiswa Papua di Jawa Timur.[13] Padahal sejatinya diskusi itu merupakan proses untuk bertukar pikiran antar pribadi dan memberikan pemahaman atas suatu pengetahuan, sehingga tidaklah patut untuk sebuah diskusi dibubarkan. Selain itu masih banyak juga kasus mengenai berbagai bentuk pelanggaran akan kebebasan berpendapat dalam kurun waktu beberapa tahun ini.[14] Hal tersebut sangat mencederai hak kebebasan berpendapat, karena seyogyanya kebebasan berpendapat itu seharusnya merupakan hak yang mutlak dan tidak dapat dikurangi sedikitpun. Semua orang bebas mengemukakan pendapat, berekspresi dan berkumpul sesuai dengan keinginan mereka. Batasan dari kebebasan berpendapat adalah etika dan suatu pendapat yang mengarah sebagai ajakan tindakan kriminil. Karena itu tidak boleh adanya suatu hukuman atas pendapat seseorang kecuali pendapat tersebut sudah mengarah kepada ajakan tindakan kriminil.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah dijamin oleh konstitusi yaitu pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat (3) yang berbunyi:[15]

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Selain itu ada pada pasal 24 ayat (1) Undang-Undang №39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:[16]

Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”.

Lalu diatur pula pada Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang №12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi:[17]

“(1) Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetak an, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”

Oleh karena sudah adanya peraturan yang menjamin kebebasan berpendapat maka seharusnya Indonesia sebagai negara yang berkeadilan sosial dan menganut konsep negara kesejahteraan, harus menjamin dan melindungi hak asasi manusia warga negaranya, hal tersebut juga sejalan dengan prinsip keadilan John Rawls dimana hak asasi manusia dijunjung tinggi, khususnya kebebasan berpendapat. Maka pemenuhan hak asasi manusia dalam mewujudkan keadilan sosial itu penting karena keadilan sosial bisa terjadi jika hak asasi manusianya dipenuhi, dan hak asasi manusia bisa dipenuhi jika adanya keadilan sosial.

[1] John Rawls, A Theory of Justice, cet. 4 (Massachusetts: Harvard University Press, 1971), hlm. 10.

[2] Ibid., hlm 53.

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Pan Mohamad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls,” Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, (April 2009), hlm. 141.

[6] Philip Alston dan Franz Magnis Suseno, “Hukum Hak Asasi Manusia” (Yogyakarta :Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008) hlm. 11

[7] Indonesia, Undang-Undang Dasar1945, Pembukaan.

[8] Jørgen Goul Andersen, “Welfare States and Welfare State Theory”, (Aalborg: Centre for Comparative Welfare Studies, Department of Political Science, Aalborg University, 2012), hlm. 4.

[9] John Stuart Mill, “On Liberty”, cet. 4 (London: Longman Roberts and Green, 1856).

[10] Hamid Basyaib, “Membela Kebebasan”, (Jakarta: Freedom Institute, 2006), hlm. 267.

[11] Ambaranie Nadia Kemala Movanita, “Amnesty Indonesia: Untuk Kebebasan Berekspresi, Rapor Jokowi-JK “Merah” https://nasional.kompas.com/read/2017/10/19/15080631/amnesty-indonesia-untuk-kebebasan-berekspresi-rapor-jokowi-jk-merah, diakses 13 Februari 2019.

[12] Irfan Teguh, “Mengapa Razia Buku Kiri Terus Terjadi Meski Orde Baru Berakhir?” https://tirto.id/mengapa-razia-buku-kiri-terus-terjadi-meski-orde-baru-berakhir-dd6f, diakses 13 Februari 2019.

[13] Adi Briantika, “Komnas HAM Kecam Pembubaran Diskusi Mahasiswa Papua di Jawa Timur” https://tirto.id/komnas-ham-kecam-pembubaran-diskusi-mahasiswa-papua-di-jawa-timur-cNP6, diakses 13 Februari 2019.

[14] ICJR, “Kebebasan Berkumpul, Berekspresi, Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam Ancaman” http://icjr.or.id/kebebasan-berkumpul-berekspresi-berpendapat-dan-hak-informasi-masih-dalam-ancaman/, diakses 13 Februari 2019.

[15] Indonesia, Undang-Undang Dasar1945, Ps. 28 ayat (3).

[16] Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU №39 Tahun 1999, LN №165 Tahun 1999, TLN №3886, Ps. 24 ayat (1).

[17] Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, UU №12 Tahun 2005, LN №119 Tahun 2005, TLN №4558, Ps. 19 ayat (1) dan (2).

--

--