Berdamai

Tentang Menemukan Dan Perjalanan Pulang

FMA
3 min readSep 3, 2018

Kalau aku boleh bertanya padamu, perihal bagaimana rasanya empat tahun memperjuangkan apa yang tidak benar-benar kita cintai? Untuk apa harus bertahan sebegitu lamanya, sebegitu panjangnya? Untuk apa harus berjuang sebegitu kerasnya? Untuk apa? Untuk siapa? Apa kamu bahagia? Kalau tidak mengapa rela?

Itu adalah aku, yang selama empat tahun belakang memperjuangkan apa yang tidak benar-benar aku cintai setulus hati. Sebagian dari diriku membenci apa yang sedang aku perjuangkan sedangkan sebagian yang lainnya merasa bahwa aku harus tetap berjuang. Ini tidak mudah. Orang bilang, ikuti kata hati. Tapi jika hatiku saja tidak berdamai dengan aku dan fikiranku, lalu apa yang harus aku lakukan?

Ini adalah cerita tentang masa perkuliahanku. Ibuku bilang ‘masukin kamu yang paling banyak dramanya’. Aku diam, jika difikir-fikir memang benar sekali rasanya. Bagaimana tidak? Sebulan menjelang kelulusan masa SMA, aku bertengkar dengan ayahku, kami tidak saling bicara barang sebulan. Bahkan disaat hari wisudaku ayah lebih banyak diamnya. Mungkin ia masih kecewa dan marah. Itu sungguh aku maklumi.

Entah mengapa pertengkaran aku dengannya berlanjut hingga proses menentukan tempat dimana aku akan meneruskan masa studiku, walau sebenarnya kami sempat berdamai untuk kembali berselisih. Hingga, ditempat pendaftaran mahasiswa baru kedua orang tuaku bertengkar, ibuku menangis. Lalu, aku turut menangis. Malu rasanya jika diingat-ingat melihat mereka berselisih didepan panitia penerimaan mahasiswa baru. Kuingat betul wajah dan nama salah satu panitia seleksi waktu itu, saksi atas kejadian penuh drama hari kemarin.

Selama proses masa perkuliahan entah mengapa rasanya sulit sekali bagiku untuk mencerna ilmu yang aku terima. Kata orang, kita cenderung untuk menghindari apa yang tidak kita sukai. Siapakah orang yang pertama kali mengatakannya? Wahai, kamu sungguh benar. Hampir setiap hari aku terlambat masuk kelas, beberapa kali absen untuk hal yang tidak penting. Duduk dibelakang, lebih banyak bercandanya dari pada belajarnya. Ipk ku sempat menyentuh angka dua koma, aku sempat bertanya kediri sendiri ‘besok mau kerja apa?’.

Bersyukurnya, aku dipertemukan dengan orang-orang yang justru sangat membantu. Kawan-kawan seperkuliahanku, teman sekomunitas dan organisasi yang selalu menyemangati. Mereka adalah pelarian sesungguhnya dari lelahnya aku berjuang. Hebatnya, dimasa akhir penyusunan skripsi. Sesulit apapun permasalahan yang sedang aku hadapi, selalu ada saja ada kemudahan didalamnya. Ah, ini pasti mantra ajaib kedua orang tuaku. Hebat sekali mereka.

Semua berubah setelah aku merasakan bagaimana rasanya pindah tali toga dihari wisuda. Ini sukar untuk dijelaskan, pelan-pelan aku mencintai yang semulanya aku benci. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk berangkat menuntut ilmu ke Jawa Timur, banyak sekali hal yang berubah selama aku disana. Jika kamu ingin tahu ceritanya, kau bisa mampir kejurnal pertamaku. Saat itu, tekadku bulat untuk memahami apa yang sempat aku tolak, belajar ini itu, kursus ini itu. Entah bagaimana rasanya ilmu lebih mudah dicerna jika dibandingkan dengan saat pertama aku menerimanya.

Pelan tapi pasti, aku mulai menaruh harapan atas profesiku saat ini. Mulai memahami bahwa mungkin saja rezeki terbaikku datang dari apa yang mulanya tidak aku sukai. Akan tetapi, proses ini ternyata tidak pernah semudah yang kamu kira. Ada-ada aja permasalahan yang datang berbarengan dengan semua dukungan. Aku sempat berselisih (lagi) dengan ayahku ketika di Jawa Timur, dia tidak mengizinkan permintaanku untuk kursus salah satu ilmu, aku hanya ‘main-main’ katanya. Aku menangis. Kuputuskan untuk tetap mengambil kursus dengan menyisihkan uang harianku. Akan tetapi, selepas kepulanganku dari Malang untuk menenangkan fikiran, uang ku hilang didalam kamar. Ah, Ayah. Rupanya ini balasan atas sakleknya aku.

Atau seperti saat aku sedang di Jawa Timur. Seseorang berkata kepadaku perihal salah satu peristiwa, ‘mereka kecewa’ katanya. Aku tertawa. Halah, tau apa mereka? Mereka tidak tahu bagaimana keadaanku selama disana. Atas segala kesungguhan yang mereka pandang sebelah mata. Atas segala alasan dibalik semua keputusanku selama disana. Lantas, atas dasar apa kekecewaan mereka?

Saat ini aku berhenti untuk bertanya ‘mengapa’ atau menyalahkan diri sendiri. Kian hari, kian banyak janji yang ku ucapkan dalam hati dan menggantung dikaki langit. Bersyukur atas segala yang telah aku lalui tanpa harus lagi diselipi sebuah rasa penyesalan. Mungkin, orang tua ku adalah media perantara atas segala kebaikan yang selalu aku rasakan selama ini, mereka yang tidak pernah lelah meminta kepada sang pencipta untuk semua kemudahan yang aku terima. Teruntuk kedua orang tuaku, pelabuhan cinta dan kasih tanpa batas. Tempat segala pengharapan, rumah terhangat. Terimakasih untuk semua belas kasih dan sayang.

Kini aku sudah bersahabat dengan dengan diriku, kami resmi berbaikan. Kalau kamu?

With love,
FMA.

--

--