I Just Want You To Be Happy

ZEA
4 min readJan 6, 2024

--

Saat terdengar bunyi pintu apartment-nya terbuka, Aletha segera bergegas menuju ke depan dan menyambut kekasih tercintanya.

“Sayang, di luar hujan— “

Perkataan Aletha terhenti saat tubuh kekar Alvaro mendekap erat dirinya secara tiba-tiba, seolah menyalurkan semua kerinduan yang sedang dirasakannya.

Erat sekali pelukan yang lelaki itu berikan, hingga Aletha sedikit merasa susah bernafas. Dengan perlahan jemarinya mengusap surai lembut milik lelakinya ini, ia agaknya paham bahwa ada sesuatu yang sedang dirasakan oleh calon suaminya ini.

“Kenapa, sayang? Ada apa? Nggak biasanya kamu kayak begini loh,” tanyanya dengan nada yang terdengar lembut sekali di telinga Varo.

Varo pun melepaskan pelukannya, kemudian menuntun Aletha untuk duduk, seraya dirinya beranjak dengan langkah yang gontai menuju ke dapur, untuk mengambil dua buah minuman kaleng, setidaknya agar dirinya dapat dengan lancar menjelaskan semua ini kepada wanitanya.

Setelah membuka serta meminum, minuman kaleng yang diberikan oleh kekasihnya itu, Aletha kembali bertanya, dengan memutar posisi duduknya untuk menghadap lelakinya. “Coba sekarang cerita, kamu kenapa sih sayang? Ada masalah apa? Kok kayaknya berat banget sampai nggak ada tenaga gitu?”

Alih-alih menjelaskan, Alvaro hanya menundukkan kepalanya dengan bahu yang sedikit bergetar, ia menangis. Rasa sesak memenuhi dadanya, ia tak mampu lagi untuk berkata, bahkan menatap wanitanya saja, dirinya tak kuasa.

Aletha menarik Alvaro ke dalam dekapnya, ia memeluk lelakinya dari samping, mencoba untuk menenangkan. “Sayang, aku nggak tau seberapa besar masalah yang lagi kamu hadapi, tapi kalau kamu merasa belum siap untuk cerita, nggak apa-apa, jangan dipaksa. Silahkan kamu nangis, luapkan semua beban kamu, supaya lega. Aku nggak akan komentar atau tanya apa-apa, aku ada di sini untuk support kamu, untuk nenangin kamu.”

Perkataan sang puan semakin terasa menusuk tepat di jantung Alvaro, membuat dirinya semakin terjerembab ke dalam jurang penyesalan yang terasa semakin dalam. Seharusnya ini tidak terjadi, jika saja di kala itu dirinya dapat menahan diri.

Namun nasi sudah menjadi bubur, ia harus mengakui kesalahannya. Tidak seharusnya Aletha dibohongi, sebab wanita ini hanya ingin meraih bahagianya. Dengan nafas yang masih terbata serta wajah yang masih penuh dengan bulir air mata, Alvaro memberanikan diri untuk menatap wanita yang sangat dicintainya.

Jemarinya menangkup wajah puannya, membelainya lembut seolah ini adalah yang terakhir yang dapat ia rasakan. Dengan perlahan, Alvaro mengikis jarak di antara mereka berdua, kemudian membubuhkan kecupan manis, di ranum sang puan, dengan mata yang terpejam. Setelahnya, dahi mereka menyatu, saling menatap dengan tatapan penuh tanya. juga rasa bersalah yang membelenggu.

Aletha tersenyum, kemudian kembali mengecup dengan perlahan ranum lelakinya. “Aku sayang kamu, Varo,” ucapnya perlahan dengan senyuman yang merekah di wajah cantiknya, entahlah mungkin senyuman ini adalah senyuman terakhir dari Aletha, yang akan Alvaro temukan sekaligus senyuman yang akan selalu dirinya rindukan. Karena setelahnya, dirinya yakin, hanya akan ada kebencian yang meraja di dalam sana.

Berusaha untuk menguarkan senyuman, walau terasa berat, Varo mencoba untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Sayang, maafin aku ya?” ucap Varo, kembali dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.

Aletha hanya bisa menatapnya dengan wajah penuh tanda tanya, “Kenapa kamu minta maaf ke aku? Ada apa?” tanyanya kembali, mencoba untuk mencari benang merah dari kejadian di malam ini.

“Aku nggak bisa terusin rencana pernikahan kita, Aletha. Aku mau batalin semuanya. Maafin aku? Tapi aku bener-bener nggak bisa.”

Bagai tersambar petir di siang bolong, dada Aletha terasa sangat sesak. Ia tak mampu untuk bicara, bahkan netranya sudah dipenuhi oleh bulir air mata yang telah siap untuk turun membanjiri wajahnya. Tubuhnya bergetar, ia lemas tak berdaya.

“Maafin aku….” ucap Varo, masih dengan suara yang terbata.

“Kenapa kamu mau batalin pernikahan kita yang tinggal beberapa minggu lagi, Varo? Apa alasannya? Coba jelasin ke aku!” Intonasi suara Aletha meninggi, seraya jemarinya sedikit mendorong tubuh kekasihnya.

“Tatyana hamil anak aku, bukan anaknya Darian.”

Sekali lagi, Aletha merasakan sesak yang berkali-kali lebih hebat. Pandangannya kabur, sebab bulir air mata semakin gencar untuk menyambut setiap tangis di dalam hatinya.

Seorang Aletha hancur malam ini. Begitu pula dengan Alvaro. Keduanya tenggelam dalam rasa yang tak dapat mereka ungkapkan.

Mungkin takdir memang membawa Alvaro untuk berjalan menuju Aletha, namun nasibnya berkata lain.

Alvaro menggenggam jemari Aletha dengan sangat erat, “Maafin aku karena udah bikin luka yang sangat besar di hati kamu, tapi sebelum luka itu semakin membesar, lebih baik aku jujur ke kamu, aku nggak mau menjadi seorang pengecut dan lari dari masalah, Aletha. Aku juga nggak mau bikin Darian harus bertanggung jawab atas semua kesalahan yang aku perbuat. Aku harus pergi, karena aku nggak mau lebih banyak lagi menyakiti kamu dengan semua kebohongan yang nantinya pasti akan terungkap. Kamu layak dapat kebahagiaan, I just want you to be happy, Aletha. Walaupun bukan aku orangnya.” []

--

--