[548] Code Blue — When The Moon Kisses The Ocean (1)

alanine
14 min readMar 27, 2024

--

Taman Marronier, Seoul National University, tiga puluh menit sebelum panggung musik dimulai.

Seokjin selalu menyukai perayaan yang membuatnya sedikit merasa manusiawi di antara kegiatan yang terlalu intens sebagai dokter residen. Ulang tahun SNU sekaligus RS SNU di musim panas serta retreat di musim gugur adalah dua di antaranya. Mereka selalu bertindak sebagai pelarian sementara dari hiruk pikuk lorong bangsal penyakit dalam yang melelahkan.

Meski teriknya matahari membakar kulit hingga sekujur tubuhnya memerah (walau tidak semerah Yoongi, sih), Seokjin memilih menyusuri deretan booth jurusan di SNU dan tenda-tenda jajanan untuk mengisi waktu. Sayangnya, sebanyak apa pun sebenarnya ia ingin jajan, dompetnya yang hampir tipis selalu mengingatkan untuk menahan diri. Seokjin meneguk ludah saat melewati sekumpulan street food berbau harum minyak panas.

Jangan jajan, jangan jajan. Nanti lo nggak bisa makan malam, Kesetkaki.

Rapalan itu terus berulang sampai mengebaskan lidahnya. Keinginannya digulung dan dimasukkan ke saku-saku celananya yang juga kempis.

Langkah kakinya baru terhenti di depan sebuah tenda berdekorasi nyetrik yang cukup ramai — Faculty of Liberal Education.

“Hai, Kak, mau coba baca tarot??”

Seorang perempuan dengan aksen Korea yang agak unik dan iris mata sebening batu malasit mendekati Seokjin. Jelas bukan orang Korea.

Belum sempat menjawab, tangan Seokjin ditarik pelan, kemudian ia didudukkan di sebuah bangku kecil dalam tenda beraroma lilin lavender. Warna ungu batang tubuh lilin menyatu dengan dekorasi di bagian dalam tenda.

Seorang perempuan berwajah Latin — mahasiswi kelas internasional, Seokjin pikir — yang duduk tepat di hadapannya mulai mengajak berbicara seperti siapa namanya, usianya, profesinya, bahkan kabarnya hari ini. Seokjin mengatakan ia hanyalah mahasiswa biasa yang tidak punya uang untuk membayar sambil mengambil ancang-ancang untuk pergi. Mereka tertawa dan berucap bahwa ini semua gratis. Mereka hanya berniat memeriahkan Festival SNU. Barangkali juga bisa membantu beberapa orang.

Setelah berdebat dengan diri sendiri, Seokjin mulai membuka diri. Perbincangan kecil dimulai di antara Seokjin dan sang peramal. Tak sedikit dari mahasiswa internasional yang ikut menunggui hasil pembacaan kartu Seokjin hingga membuat sedikit kerumunan. Wajah memerah terbakar matahari dengan poni sedikit basah itu memang masih saja tampan dan menarik di mata kebanyakan orang.

Terpilihnya satu kartu membuat mahasiswi peramal bersama beberapa temannya saling berpandangan. Lalu, mereka tertawa kecil.

“Apa kamu sedang dibuat bingung, Seokjin-ssi?” Mata si peramal berbinar seakan menunggu cerita cinta teman dekatnya sendiri. Senyumnya penuh makna yang tak bisa Seokjin tebak. Jarinya menunjuk kartu pilihan residen tahap satu itu. “Kamu lihat mata yang tertutup kain ini? Dan dua pedang ini?”

Seokjin mengerjapkan mata. Clueless. “Ah, bagaimana artinya?”

Mahasiswi yang ternyata seumuran dengannya itu tersenyum. “Di masa kamu bertemu dengan orang yang ditakdirkan untukmu, ada orang lain yang datang kepadamu.”

Seokjin berpikir, apakah orang yang ditakdirkan untuknya adalah Jeon Jungkook? Sebab, ialah orang pertama yang membuat Seokjin sedikit mempertimbangkan kesempatan melanjutkan masa depan bersama seseorang setelah perpisahan yang memilukan dengan Sangyeob. Lantas, siapa orang lain yang akan datang kepadanya sebagai tabir di antara ia dan Jungkook?

Atau, mungkinkah Jungkook yang menjadi tabir di antara dirinya dengan seseorang-yang-entah-siapa?

Seokjin tertawa kecil sendiri. Malu karena barusan berpikir jauh tentang seseorang yang bahkan pernah ia tolak karena dirinya tidak siap dengan masa depan dan menjadikan mendiang Sangyeob sebagai tameng alasan.

“Seokjin-ssi?”

“Uh — I’m sorry.” Seokjin mengerjapkan mata. “Please, tell me more.” Padahal, ia tidak pernah percaya ramalan.

Perempuan itu tersenyum. “Di saat itulah, kamu harus benar-benar membuka seluruh indera, hati, termasuk logikamu, Seokjin-ssi. Karena … masa-masa itu akan menjadi masa yang panjang bagimu untuk menentukan.” Gelang perak dengan ornamen bintang dan bulan bergemerincing saat mahasiswi itu memegang pundak Seokjin.

“Kapan?” tanya Seokjin. Matanya membulat penasaran.

When the moon kisses the ocean, the sky is painted just for you two.

Sebuah kalimat yang puitis, Seokjin akui. Namun, masih terlalu abstrak dan abu-abu. Percintaan bukan prioritasnya sekarang, maka Seokjin menganggap semua kata-kata si peramal sebagai angin lalu. Banyak hal mengerikan yang menunggunya di dalam gedung RS SNU, mulai dari tanggung jawabnya sebagai seorang murid, calon peneliti, hingga sebagai dokter. Belum lagi dua konsulen yang sudah cukup sensi dengan kehadirannya — yang Seokjin rasa suara napasnya saja bisa jadi masalah. Seokjin merinding memikirkan bagaimana hidupnya semester depan kelak ketika ia naik ke tahap dua terutama di divisi hemato-onkologi dan geriatri.

Oh, hampir lupa kalau Kim Taehyung juga sudah menunggunya di divisi kardiovaskular nanti.

Oh, Kim Taehyung.

Seokjin meneguk ludah yang diartikan keliru oleh orang-orang di sekelilingnya sekarang.

“Seokjin-ssi, kamu sampai melamun begitu. Pasti sudah mulai sulit ya memilihnya?” Peramal itu mengedipkan sebelah mata.

“Ah, bukan, bukan, saya keingetan tugas-tugas yang belum saya kerjain HEHE.” Seokjin sadar bahwa ia adalah pendongeng yang buruk.

“Tidak perlu dipikirkan dulu, Seokjin-ssi! Ini adalah musim panas, waktu di mana SNU banyak acara jadi kita harus senang-senang!” timpal seseorang.

“Iya, bahkan teman-teman lain yang biasa belajar 24/7 juga sedang menikmati acara!” Salah seorang lainnya memberikan sekaleng “Chilsung Cider” dari cool box. Seokjin lantas bergumam, “Terima kasih.”

Plot twist, ternyata salah satu orangnya dosen muda, ya? Soalnya langsung kepikiran tugas.”

“Kalau masih jomblo enggak apa-apa, Seokjin-ssi!”

Mereka tertawa, memberi ruang bagi Seokjin yang terdiam karena terpikirkan seseorang. Kali ini bukan Jungkook, melainkan orang yang belakangan banyak berurusan dengannya. Gurunya sendiri.

Duh, ini buat seru-seruan,‘kan? Enggak perlu penasaran siapa mereka dan kapan. Tapi kenapa malah keinget beli—

Di saat itulah sebuah pesan bernada tak asing masuk ke ponselnya. Orang itu hadir setiap hari, di setiap kegiatan yang berhubungan dengan pasien dan penelitian. Bahkan dari sebaris pesan yang dikirimkan, Seokjin merasa mampu mendengar suara itu saat menyebut namanya. Mampu melihat wajah itu saat menatapnya. Mampu menghidu aroma parfum itu saat berada di sekitarnya.

Namun, kali ini pesan itu berada di waktu yang tak akan pernah ia duga. Untuk tujuan yang tak pernah ia sangka.

“Kim.”

Please, Dok, jangan sekarang.

Iya, Dok?

Arah jam enam kamu.”

Seokjin tercengang. Seember air dingin terasa mengguyur seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Bagaimana bisa konsulennya menemukan ia di tengah kerumunan manusia? Lebih anehnya lagi, apa yang konsulennya lakukan di sini di hari libur?

Khawatir salah lihat karena tidak menggunakan kacamata, Seokjin mengetik begitu cepat di ponselnya. “Loh Dokter di SNU?? Taman Marronnier?

Sebuah gambar dikirimkan sebagai balasan. Tenda tempat ia berada.

Seokjin beranjak setelah mengucapkan terima kasih beberapa kali, mencari wujud konsulennya di antara manusia. Bukan perkara sulit sebab ia langsung menemukan orang yang dimaksud tengah berdiri di tengah keramaian dengan sebuah kamera yang talinya melingkari leher.

Taehyung berdiri di sana — menghalau segala teori penyerapan kalor karena menantang suhu musim panas di siang bolong dengan setelan serba hitam. Topi kupluk yang ia kenakan memberi kesan muda dan segar sehingga siapa pun mungkin tidak akan menyangka bahwa Taehyung adalah seorang dosen merangkap dokter subspesialis. Baju yang agak pas badan itu lengannya digulung tiga per empat, memberikan akses visual pada lengan berkulit agak tan. Segala sesuatu tentang Kim Taehyung mengisyaratkan tajam — sinar matahari melukis segala tajamnya mulai dari sepasang mata beriris hazel, lalu ke rahang yang kokoh, hingga ujung jemari yang bertengger pada rangka kamera.

Seokjin berlari kecil menghampiri Taehyung. Napasnya terengah di antara detak jantung. “Dokter, saya enggak nyangka ketemu Dokter di sini!”

Taehyung ingin mengatakan hal yang sama, tetapi gengsi. Taehyung ingin menyampaikan kepada Seokjin bahwa betapa hatinya diliputi cita saat ini, tetapi gengsi. Taehyung bahkan ingin merapikan letak topi baret Seokjin yang sedikit miring, tetapi gengsi. “Yeah, saya juga tahun lalu ke sini kok. Saya butuh pelarian juga dari rutinitas sehari-hari.”

“Ah, mungkin karena saya belum terlalu familier sama Dokter tahun lalu. Atau … memang kita enggak bertemu ya yang lalu-lalu?” Seokjin menggaruk tengkuk, perhatiannya teralihkan. “Dokter bawa kamera apa itu?”

Mata yang berpendar ingin tahu seperti anak rusa itu selalu menarik perhatian Taehyung. “Ini kamera yang saya pakai untuk lomba tahun ini. Belinya sudah agak lama sih, mau coba?”

Taehyung meloloskan tali kamera dari lehernya dan menyodorkan pada Seokjin. Bahasa tubuh residen tahap satu itu langsung menolak, khawatir menciderai kamera yang ia taksir harganya mencapai jutaan won. “Eh, enggak, enggak maksud seperti itu, Dok, hanya bertanya — ”

“Kalau kamu mau coba kameranya tidak apa-apa, Kim.” Taehyung berjalan menuju sisi kiri Seokjin. Jarak mereka begitu dekat hingga perlahan pipi Seokjin memanas lebih dari sekadar terbakar matahari. “Mau coba ambil foto penjual yang di sana? Yang pakai food truck?”

“Eh? Dok?” Seokjin menatap bingung kamera berukir tulisan “Leica M6” itu.

Try it, Kim.” Taehyung mengambil tangan kiri Seokjin dan meletakkan kamera itu pada telapak tangan yang berukuran tidak jauh berbeda dengan miliknya. Kontur tangan Taehyung yang sedikit kasar terasa mendebarkan di permukaan kulit Seokjin.

“Tapi, kelihatannya mahal banget, Dok. Saya takut ngerusakin,” jawab Seokjin berdebar sambil meragu.

Taehyung menggeleng. “Sedestruktif apa sih tanganmu sampai ngerusakin kamera?”

Seokjin tercengang. “Kita lagi enggak ngomongin kamera harga 500.000 won loh, Dok. Saya yakin ini harganya bisa lima juta won! Kalau jatuh saya bakal ganti pakai gaji berapa tahun residen, Dok.”

“Ssshhh, saya percaya kamu.” Taehyung kali ini menatap Seokjin, mengisyaratkan untuk tenang sedikit melalui mata.

Seokjin mengalungkan tali ke lehernya sendiri saat Taehyung maju satu langkah mendekatinya. Parfum Taehyung beraroma air hari ini. Tipis, tetapi Seokjin tetap bisa merasakannya. Ia tercium seperti kesejukan tepian Pantai Sockho yang terpagari deretan pinus di sore hari. “Ini pakai photofilm kan, Dok? Kalau fotonya gagal rugi enggak sih? Kayak buang-buang uang aja.”

Photofilm bisa dibeli kapan aja, tapi diajari seorang street photographer kapan lagi.”

Seokjin menengok cepat ke arah Taehyung, kaget dengan kata-kata beliau yang tiba-tiba narsis. Taehyung cepat-cepat membuang muka karena memperhatikan Seokjin sedari tadi.

“Oke, jadi yang perlu kamu perhatikan untuk awalan sederhana aja kok. Ini shutter button yang kamu pencet kalau kamu mau ambil gambarnya, ini view finder sama range finder window buat kamu bidik objeknya, dan benda ini bernama noctilux 50 mm. Ini lensa yang kamu bisa putar-putar buat fokusin objeknya. Lihat titik merah di sini?” Pelajaran dimulai. Seokjin mengangguk menjawab pertanyaan Taehyung. “Coba kamu putar melawan jarum jam.”

“Baik.” Seokjin mengikuti instruksi Taehyung.

“Putar sampai bunyi klik.”

Click.

“Sekarang kamu lihat view finder kameranya.”

“Begini?” Seokjin mengangkat kamera sejajar mata kanan sambil menatap Taehyung, meminta konfirmasi.

“Ya, sekarang fokus pada jendelanya. Lihat titik putih di sana?”

Seokjin mengangguk.

“Titik putih itu membuat kamera kita bisa baca cahaya dari objek yang akan kamu ambil fotonya dan seberapa besar eksposurnya.”

“Uh huh.” Seokjin mengangguk meski agak bingung.

“Kalau kamu ganti-ganti lensanya dan focal length-nya di notilux tadi dengan objek yang sama, kamu bisa liat seberapa luas gambar yang ditangkap. Nanti kamu lihat, white dot-nya akan membesar dan mengecil,” ujar Taehyung.

“Oh yang notilux ini hanya digeser-geser sampai kita dapat fokus yang kita mau ya, Dok?”

“Betul,” lanjut Taehyung, “sorry, Kim, boleh saya berdiri di belakang kamu? Saya tidak bermaksud apa-pun.”

“Eh? I … iya … enggak apa-apa, Dok.”

Taehyung sebenarnya ragu, khawatir anak didiknya tidak nyaman. Rasanya kalau ia mampu, akan ia tarik kembali kalimat pertanyaan itu. Atau minimal, dua-duanya mendadak amnesia. Taehyung berani bersumpah kalau ia tidak ada maksud lain. Sebagai street photographer, sudah bukan hal aneh kalau ia mengajari banyak orang yang ia temui di jalanan soal bagaimana cara mengambil foto yang bagus. Ditambah, Taehyung memang memiliki jiwa seorang pengajar dalam bidang apa pun. Anak-anak, lansia, laki-laki, bahkan perempuan yang harumnya melebihi area cherry blossom di Morning Calm Arboretum pada musim semi adalah orang-orang yang selalu mendekat kepadanya di jalanan. Sejauh ini, Taehyung tidak pernah terbawa hati sedekat apa pun ia dan orang-orang itu saling bersinggungan.

Namun, Seokjin berbeda. Ia selalu berbeda dan Taehyung tidak menyukai ini. Taehyung tidak menyukai fakta bahwa ia tidak bisa mengurai kenapa dan sejak kapan Seokjin selalu terlihat berbeda di matanya. Taehyung tidak menyukai fakta bahwa berada di dekat Seokjin atau tak sengaja memikirkannya memiliki efek buruk terhadap sistem pembuluh darahnya. Taehyung tidak menyukai fakta bahwa status mereka mempersulit segalanya ketimbang Jeon Jungkook.

Dilihatnya Seokjin melepaskan kamera itu dari matanya dan menunduk melihat barisan semut di ujung sepatu. Setengah kaget, setengah tidak percaya mendengar pertanyaan Taehyung. Wajahnya merah padam hingga ke area leher. Namun, yang paling kentara adalah telinga yang kini mirip lobak merah.

Oh, apakah Seokjin merasa malu seperti dirinya saat ini? Sumpah, Taehyung berdebar memikirkannya. Sumpah, Taehyung ingin bertanya dan menggenggam tangannya sekarang juga. Mengatakan bahwa Taehyung adalah Taehyung saat ini, bukan dosennya sehingga ia tidak perlu bersikap malu-malu.

“Walaupun enggak berniat jadi street photographer, saya tertarik sama fotografi, Dok. Sebenernya kamera itu salah satu wishlist saya nanti kalau saya udah lulus dan punya uang. Mungkin bisa dicoba biar peka sama objek yang mau saya ambil. Trial and error.” Seokjin mengangkat wajahnya, menatap Taehyung dengan wajah yang masih memerah. Bulu matanya beberapa kali mengipas udara, indikasi kalau ucapannya dilontarkan dengan perasaan malu. “Kapan lagi kan diajarin sama street photographer.”

Taehyung tertawa detik itu juga mendengar Seokjin membalikkan kata-katanya. Tawa yang jarang sekali Taehyung bagikan kepada dunia. Tawa itu semanis permen kapas yang akan Seokjin ambil keindahannya melalui bidikan kamera. Tawa itu datang beriringan dengan matahari yang muncul kembali setelah bersembunyi di balik awan yang membuat Marronnier Park gelap sesaat. Taehyung, walau tampak rupawan di keseharian bagaimana pun ekspresinya, tetap saja tawa adalah komponen yang paling cocok bersanding dengan sambaegan eyes unik itu.

Lebih pentingnya, tawa Taehyung juga mengundang tawa Seokjin. Meleburkan kaku dan ragu yang sedari tadi melingkupi keduanya.

“Oke, coba stand by lagi,” titah Taehyung sambil berjalan ke belakang Seokjin, berdiri dengan spasi satu langkah. Tangan kirinya terjulur memperbaiki postur tangan kiri Seokjin hingga nyaman mencapai shutter button, ibu jari dan telunjuk kanannya memandu jari-jari Seokjin di atas notilux. Wajahnya sejajar dengan wajah Seokjin untuk membidik objek di seberang sana. “Sorry.”

It’s okay, Doc.” Ketimbang kedua lengan itu yang sebenarnya melingkupinya, Seokjin lebih merasa aroma Taehyung memeluknya. Ia merasa tenggelam dalam lautan yang membuat lena sesaat. Wajahnya terasa panas, Seokjin butuh kompres dingin sekarang.

Taehyung, di sisi lain, juga menahan detak jantung yang tidak karuan. Meski tidak bermaksud apa pun, aroma Seokjin yang segar khas pewangi pakaian menusuk inderanya. Kala angin musim panas berembus hingga rambutnya tertiup menginvasi wajah Taehyung, di saat itulah tercium aroma manis sampo stroberi. Sederhana, tetapi mampu mengambil hatinya.

“Kalau kamu geser-geser lensanya, hasil fokusnya akan beda-beda. Ini 28 mm, coba kamu liat,” ujar Taehyung sambil berdebar. Tidak pernah ia mengajarkan orang lain fotografi sampai begini, kecuali dengan Jimin di masa pendekatan mereka dulu.

“Oh, area bidikannya jadi luas ya.”

Yes.” Lensanya diputar kembali. “Sekarang coba lihat 90 mm.”

Seokjin mengerti sekarang. “Spotnya jadi kecil.”

Taehyung mengangguk. “Kamu bisa cari terus sampai kamu merasa itu adalah ukuran yang tepat. Kalau sudah, gunakan shutter button.” Telunjuk kiri Taehyung menekan sedikit telunjuk kiri Seokjin yang bertengger di atas tombol bidik itu. “Jangan ragu-ragu. Tidak pernah ada dalam sejarah bahwa orang akan menjadi ahli dalam semalam. Tapi, sejarah juga mencatat bahwa orang tidak akan menjadi ahli kalau dia adalah seorang penakut.”

Dosen muda itu melepaskan diri dan mundur beberapa langkah, membiarkan Seokjin belajar sendiri. “Oke, Kim.”

Klik, klak, geser-geser.

Seokjin menahan napas.

Click.

“Lagi, Kim.”

Atur lagi. Click.

“Boleh pindah posisi enggak sih, Dok?” tanya Seokjin polos.

“Ya boleh dong,” jawab Taehyung enteng.

“Maksudnya nanti photofilm-nya — “

“Tidak usah dipirkan.”

Seokjin maju beberapa langkah, mengambil dari angle berbeda. Dari bawah, dari balik dedaunan, dari kiri, dari kanan hingga ia sudah merasa sebagai street photographer sungguhan. Taehyung tersenyum tertahan.

“Oke, sekarang fokus ke permen kapas yang penjualnya berikan,” ucap Taehyung kepada Seokjin sebelum ia berjalan cepat ke arah food truck berwarna merah muda, meninggalkan Seokjin tetap di posisinya. Dari balik view finder, Taehyung terlihat berbicara dengan seorang anak kecil yang sedang duduk berdua bersama ibunya di bangku semen. Setelah itu, Taehyung terlihat memesan satu permen kapas kepada sang penjual — barangkali — sebab Seokjin tidak bisa mendengar apa pun di tengah keriuhan ini, pun jaraknya memang cukup jauh.

Seokjin mengambil foto mereka dua kali. Satunya saat tangan Taehyung dan si anak kecil sama-sama menunjuk gumpalan kapas warna merah muda, satunya lagi saat Taehyung mengusap puncak kepala sang anak sambil tersenyum lembut.

Seokjin menurunkan kameranya karena bingung dengan sikap Taehyung. Dosennya itu benar-benar belum menikah, ‘kan? Sebab ibu si anak terlihat santai dan masih asyik dengan ponselnya sendiri seakan Taehyung memang bukan ancaman bagi anaknya.

Pemandangan itu diambil dua kali lagi, kali ini saat ia sudah lebih dekat dengan mereka dan diambil sedikit dari bawah ketika permen kapas itu dijulurkan sang penjual. Satunya lagi adalah foto saat anak kecil itu memakan gula-gulanya dengan riang.

Oh, Seokjin ingat sekarang.

Bocah yang ia temui di Manguri Park. Senyum dan mata tajamnya serupa Taehyung. Seokjin merasa melihat anak itu seperti rupa masa kecil Taehyung.

Noona, tolong satu lagi yang bentuknya seperti itu.” Taehyung menunjuk boneka RJ mini yang menggantung di dada Seokjin. Si penjual tertawa sambil memberikan acungan jempol. “Dan satu lagi kelinci pink.

Seokjin bingung. Itu pesanan untuknya? Kalau iya, Seokjin ingin menolak. Namun, kalau bukan, akan malu sekali kalau ia kepalang bicara hal-hal seperti “tidak usah, Dok”. Jadi, Seokjin memilih membiarkan Taehyung. Kalau memang permen kapas itu untuknya, Seokjin akan memberikan Taehyung sesuatu sebagai balasan.

“Kakak mau?” Anak itu memecah lamunan Seokjin. Menyodorkan permen kapas berwarna merah muda berbentuk kepala kelinci.

“Eh, tidak, terima kasih,” ujar Seokjin sambil mendekat ke arah Taehyung dan mengembalikan kamera itu kepada empunya. “Oh iya, ini, Dok. Terima kasih banyak.”

Taehyung mengalungkan kamera itu kembali. Tangan kanannya mengelus-elus rambut si anak, sedangkan tangan kirinya memegang kamera sambil melihat hasil jepretan Seokjin. “Not bad.”

“Eh, itu pujian kan, Dok?” Seokjin merapat di sebelah kiri untuk melihat hasilnya. Bibirnya membentuk huruf O, lumayan takjub dengan hasil kerjanya.

“Ada kamu nih,” ucap Taehyung kepada anak itu.

Kamera diturunkan hingga anak itu bisa melihat. Ia tertawa riang sambil terus memakan permen kapasnya. “Wah, lucu sekali. Makasih, Om.”

Ibu si anak tersenyum melihat mereka bertiga dari tempatnya duduk di bawah pohon akasia.

Seokjin memincingkan mata, tidak asing dengan wajah mungil yang terpampang di hadapannya.

“Kamu pernah bertemu keponakan saya, Kim?” tanya Taehyung karena melihat wajah berpikir muridnya.

Ah.

Sekarang Seokjin ingat. Anak itu adalah bagian dari keluarga yang ia temui dulu saat mengunjungi makan Sangyeob. Kulitnya sedikit lebih gelap — seperti madu — dibanding kebanyakan orang Korea, tetapi itulah yang membuat keponakan Taehyung tampak manis. Mata polos berbinar riang seakan belum pernah tersentuh kesedihan. Senyum kotak merepresentasikan adanya hubungan darah dengan Taehyung. Seokjin berpikir barangkali hal itu adalah ciri fisik paling dasar yang diturunkan keluarga konsulennya dari generasi ke generasi.

“Pernah, waktu saya mengunjungi makam.” Seokjin tersenyum melihat gigi seri atas anak itu yang tanggal satu. Cute. “Iya, kan, adik kecil?”

Anak itu mengangguk. “Iya, Om Jelly.

Mereka berdua tertawa.

Taehyung tidak ingin membahas siapa orang di balik makam yang Seokjin kunjungi. “Kalian berkenalan?”

Seokjin menggeleng. “Tidak, Dok, hanya saling tersenyum.” Lalu kemudian teringat. “Oh, saya waktu itu berikan jelly karena dia terus-terusan menatap saya. Malah, dia menunjuk jaket saya sambil bilang kalau RS SNU adalah tempat mendiang kakeknya dirawat.”

“Apa ibu saya dan kedua orang tuanya membiarkan dia menerima jelly itu?” Taehyung terdengar sedikit heran. Ia paham betul seketat apa keluarganya terhadap orang asing.

“Eh, iya, Dok. Mungkin karena saya pakai varsity SNU waktu itu?”

Masuk akal. Yang membuat Taehyung diam-diam ingin tersenyum adalah fakta bahwa keponakannya yang pendiam itu bahkan bisa sedikit terbuka kepada Seokjin. Setahu Taehyung, anak itu hanya mau berbicara dengan orang-orang yang ia percaya atau yang ia anggap baik. Seokjin barangkali memiliki aura kebaikan itu di mata anak-anak.

“Kenalan dulu, aku Kim Seokjin, kamu siapa?” Seokjin berjongkok untuk menjulurkan tangan.

Tangan kecil itu menyambut jemari panjang Seokjin. “Jun, kelas dua.” Baju Taehyung ditarik. “Ini Om Jelly.”

“Oh, jadi ini Om Jelly yang kamu ceritain, ya?” Taehyung ikut berjongkok. “Akhirnya ketemu lagi ya. Bilang apa waktu itu?”

“Makasih, Om.”

Fun fact, Jun bukan anak yang gampang berbicara dengan orang lain. Bahkan ketika saya pulang ke Korea, perlu waktu lama untuk membuat dia nyaman dengan saya. Selain itu, keluarga saya juga bukan tipikal orang-orang yang mudah percaya walau orang lain menggunakan identitas tertentu.” Taehyung menatap Seokjin sebelum beranjak mendekati food truck. Residen tahap satu itu ditinggalkan dengan sebuah tanda tanya. Ia menyiapkan kamera ponselnya, bermaksud membandingkan hasil jepretan kamera mahal dengan miliknya.

“Oh, tapi mereka tidak kelihatan seperti itu?” tanya Seokjin sambil memfokuskan objek. Taehyung hanya menatapnya dan menjawab dengan ujung bibir kiri yang sedikit melengkung naik, membiarkan anak itu menebak-nebak sebelum akhirnya kembali dengan permen kapas berbentuk RJ yang dipersembahkan untuk Seokjin seorang.

“Mau kenalan sama kakak ipar saya, ibunya Jun? Perempuan yang pakai kaus putih itu,” tanya Taehyung. Seokjin menoleh ke arah perempuan yang melambai kepadanya. Cantik sekali. “Dan Mama saya … di ujung sana. Di kedai ramyeon.”

Eh.

“Mau bantu saya mengantar permen kapas ini untuk beliau, Seokjin?”

Oh, Seokjin tidak bisa menolak, ‘kan?

--

--