[525] Code Blue — Midnight Rain

alanine
9 min readFeb 10, 2024

--

Seokjin merasa tubuhnya lebih lelah dari hari-hari kemarin meski tidak jaga semalam. Sebagai residen yang terkomposisi atas 65% introvert, ronde besar bersama Dokter Kim Taeyeon benar-benar menghabiskan baterai sosialnya. Konsulen hemato-onkologi itu membantainya saat presentasi karena hal-hal sepele. Kehadiran Taehyung yang ia kira akan memperburuk harinya justru menjadi angin segar, sebab beliaulah yang lebih banyak berdiskusi dengan Taeyeon. Meski begitu, kedua telinga hamsternya tetap menegak saat ronde, berjaga kalau tiba-tiba ditanya ini dan itu. Selepas ronde besar yang menghabiskan waktu itu, ronde dan diskusi dilanjutkan bersama Taehyung, Jungkook, dan Namjoon.

Padatnya jadwal hari ini membuat Seokjin baru menyelesaikan segalanya pukul tujuh malam. Tubuhnya letih, kakinya terasa ingin copot, dahinya panas dan berkeringat. Ia tertidur di ruang residen dengan posisi yang tidak nyaman—terduduk di bangku dengan tangan melipat di dada. Laptopnya telah dimatikan, tetapi tidak sempat dilipat dan dimasukkan ke tas karena kepalang lelah. Jihoon dan Irene selaku dokter jaga malam itu beberapa kali membangunkannya untuk pindah ke kamar residen, tetapi Seokjin dengan sopan menolak. Ia berdalih, kamar itu bukan haknya. Anak itu memang terkadang bisa keras kepala melebihi yang orang kira.

Terbangun karena mimpi yang sedikit buruk, Seokjin mendengar hujan deras di balik jendela rumah sakit. Sudah berapa lama ia tertidur? Seokjin merogoh ponsel di kantung celana, bermaksud mengecek jam. Selimut biru kamar residen yang membungkus tubuh menghalangi pergerakannya.

Sejak kapan ia memakai selimut?

Seokjin mengerjapkan matanya yang bundar tempat galaksi bermuara. Di seberang tempat duduknya, tampak Irene sedang tekun membuat pengkajian pasien baru. Mungkinkah?

Ia berdeham. “Irene ….”

Ketikan pada keyboard terdengar berhenti, tetapi residen perempuan itu tidak lantas mengangkat wajah ataupun membalas sapaannya.

“Ini … lo ….” Seokjin menyentuh selimutnya. Siapa pun yang melakukan ini, ia sangat berterima kasih sebab Kim Seokjin adalah makhluk yang tidak tahan dingin.

Irene menatapnya sekilas dari balik bulu mata yang panjang. “Jihoon.”

Lalu, ketikan pada keyboard terdengar lagi.

Seokjin menelan ludah. Irene adalah ratu es, versi perempuan dan versi residen dari Kim Taehyung. Ia kesulitan mencari topik untuk membunuh kesunyian jika hanya berdua dengan mereka. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Bukan karena ia tengah berada satu ruangan —berdua saja — dengan seorang perempuan yang tak begitu ia pahami, tetapi karena ia tidak menyukai keheningan yang tidak menyenangkan ini. Seokjin bahkan tidak tahu Irene berkata jujur atau tidak meski pada akhirnya ia memilih percaya bahwa Jihoon — yang entah sekarang sedang berada di mana—adalah orang yang menyelimuti dirinya. Seokjin merasa harus menyapaikan ucapan ini kepada orang di hadapannya. “Oh, gitu. Hm, tapi lo yang matiin AC-nya, ‘kan? Jadi tetep makasih. Hehe.”

Ketikan pada keyboard berhenti lagi. Kalau Seokjin cukup peka, ia bisa melihat semburat merah muda menghiasi kulit wajah porselen teman satu angkatannya itu. Dua hal yang bisa Seokjin lihat hanyalah anggukan yang begitu tipis dan lonjakan kecil ponytail Irene. Seokjin tersenyum, melipat hingga rapi selimutnya karena harus segera pulang. Untungnya ia membawa payung lipat di dalam tas. “Gimana jaga malam ini?”

Pertanyaan basa-basi, Irene tahu itu. Ia mendengus kecil, tetapi diam-diam senang karena akhirnya memiliki waktu berdua bersama Seokjin. Residen itu selalu dikelilingi banyak orang, berbeda dengan dirinya yang ke mana pun selalu sendirian setelah ia membuang teman-teman palsu dari hidupnya. Diam-diam ia iri dengan Seokjin, tetapi lebih iri dengan orang-orang yang bisa dekat dengan laki-laki itu — Namjoon, Hoseok, Yoongi, Yuju dan perempuan-perempuan lain, juga Ken dan laki-laki lain. Ditambah, sekarang ke mana pun Seokjin melangkah, selalu ada Jungkook di sisinya. Belum lagi Kim Taehyung yang selalu memandang Seokjin terlalu dalam, sama sekali tidak berbeda dengan Jungkook. Ada afeksi yang tidak disadari pemiliknya di sana. Irene tahu, ia akan selalu kalah dan inilah konsekuensi dari seorang pengecut.

Maka, sekali ini saja, ia ingin Seokjin melihat ke arahnya.

“Bukannya kita enggak boleh ngomong jorok kalau lagi jaga?” Irene bermaksud menjawab dengan santai, tetapi intonasi yang terlalu datar membuatnya terdengar ketus. Ia menyesali jawabannya sedetik kemudian karena melihat Seokjin mematung.

Namun, hal yang tidak ia duga terjadi. Seokjin tertawa renyah. “Lo tau hal-hal kayak gituan juga, Ren?”

Irene mengernyitkan dahi. Apakah Seokjin berpikir mereka tidak berasal dari Bumi yang sama sehingga menganggap Irene tidak tahu kepercayaan semacam itu? Atau, memang sejauh itukah jaraknya dengan Seokjin?

“Eh maksud gue, kita jarang banget ngobrol jadi gue hampir enggak pernah denger lo nge-jokes kayak gitu.” Seokjin menggaruk tengkuknya. Irene merasa sedikit buruk karena membuat Seokjin tidak nyaman. Sumpah, ia cuma ingin bercanda dengan Seokjin.

“Berarti, mungkin … kita harus lebih sering ngobrol?” tanya Irene malu-malu. Sayangnya di mata Seokjin, Irene terdengar dingin dan ketus. Laki-laki itu salah tingkah karena mengira Irene bersikap sarkas.

“Um, bener juga. Kita udah kenal lama, tapi …” Seokjin menjeda ucapannya.

“Lo pulang jalan kaki?” tanya Irene. Seokjin terkejut bukan hanya karena perempuan itu tiba-tiba sedikit memberi perhatian, tetapi juga karena ia membalik tubuh untuk membuka lokernya, kemudian menyodorkan satu pouch berwarna putih agak transparan. “Enggak maksud ngusir, lo bisa pulang kapan pun. But, please, take this.

Seokjin terdiam sambil menerima barang yang Irene sodorkan.

“Ukurannya XXL kok, pasti muat buat lo. Payung aja enggak cukup buat hujan sederas ini.”

Seokjin bangkit dari duduknya sambil tersenyum hangat. Perempuan di hadapannya ini tidak sedingin yang orang lain katakan. Seokjin bahkan masih ingat bahwa Irene adalah orang yang memberitahunya tentang ronde geriatri dadakan beberapa waktu lalu. Hingga hari ini, ia masih sangat berterima kasih. Ada kebaikan yang tidak bisa banyak orang rasakan di balik paras cantik yang tajam itu.

Seokjin mendekat ke arahnya, lalu menepuk lembut puncak kepala temannya. Thanks, Ren.”

Irene membeku di tempat, tidak tahu harus bereaksi bagaimana selain jantungnya yang memompa darah lebih cepat hingga wajahnya memerah. “Okay.”

Jas hujan berwarna putih transparan terasa sebagai pintu gerbang bagi keduanya memulai pembicaraan yang lebih dari sekadar basa-basi.

Seokjin melirik ponsel — pukul 10.36 malam. Ia tidak pernah menyangka menghabiskan waktu satu setengah jam berbincang dengan Irene yang sangat tertutup (lebih tepatnya sekitar satu jam sebelum Jihoon kembali dari nurse station ke ruang residen untuk bergabung dengan mereka). Seokjin telah siap di selasar pintu utama RS SNU dengan jas hujan pemberian Irene dan payung yang menunggu dibuka. Hujan masih saja deras hingga membuat teman-temannya khawatir. Namjoon bahkan mengatakan akan menjemputnya kalau saja ia tidak memiliki jadwal jaga malam ini. Seokjin tersenyum, bersyukur memiliki orang-orang yang sangat peduli padanya. Bahkan, ia merasa senang karena bisa bersikap lebih santai di sekitar Irene sekarang.

Saat membaca sebuah pesan dari Jungkook, mobil hitam yang familier berhenti di hadapan Seokjin. Dunianya terpusat pada sebaris pesan hingga tidak menyadari bahwa pintu pengemudi mobil itu terbuka. Belum sempat pesan itu dibalas, payung hitam mengembang di atas kepala Seokjin meski masih terlindungi atap selasar RS SNU.

“Kim.”

Deep voice yang sehari-hari ia dengar mengagetkan Seokjin hingga ponsel dan payung yang berada di genggamannya terjatuh ke lantai.

Di hadapannya berdiri Kim Taehyung dengan wajah yang datar tetapi tetap rupawan, seperti Irene. Namun, tidak seperti residen perempuan itu, mata Taehyung jauh lebih banyak berbicara. Iris matanya yang berwarna kecokelatan di bawah lampu neon putih rumah sakit seakan mempertanyakan kehadiran Seokjin di jam dan tempat yang tak terduga, tetapi juga sarat dengan rasa khawatir. Rasa peduli miliknya berusaha disembunyikan sedemikian rupa, tetapi nyatanya mudah dibaca oleh siapa pun yang melihatnya, kecuali Seokjin.

“Dokter?” ujar Seokjin kikuk.

Taehyung menghela napas, lalu membungkukkan tubuh untuk mengambil payung dan ponsel Seokjin. Residen itu ingin mencegah tetapi sudah terlambat.

“Dasar ceroboh.” Ujung ponsel ditempelkan lembut ke kening Seokjin. “Sedang apa kamu di sini, Kim? Bukannya ini waktunya residen istirahat kecuali sedang tugas jaga?”

Seokjin bermaksud mengambil ponselnya, tetapi Taehyung dengan cepat menjauhkan tangannya dari gapaian si residen tahap satu. Seokjin membulatkan mata dan bibir, kaget dengan sikap Taehyung. “Saya cuma terima jawaban jujur. Kalau tidak, ponsel ini saya simpan.”

Tanpa sadar, Seokjin mengecurutkan bibirnya. Jas hujan putih agak transparan yang membungkus tubuhnya membuat wajah yang sudah kecil itu tampak lebih mungil. Sumpah, Taehyung rasanya ingin membawa Seokjin pulang lalu menjadikan residen itu mainan squishy karena terlampau menggemaskan.

“Hm?” Taehyung menunggu jawaban.

Seokjin meremas ujung jas hujannya. Menjawab jujur tidak apa-apa, ‘kan? Tidak ada efek buruknya, ‘kan? Ketiduran adalah hal yang sangat normal untuk residen mengingat kegiatan sehari-hari mereka yang sangat menguras pikiran, tenaga, dan waktu. Toh, Seokjin melakukannya di luar jam kerja. Toh, sudah terjadi. Taehyung tidak akan bisa berbuat apa-apa, ‘kan?

“Ketiduran, Dok,” jawab Seokjin sedikit berteriak.

Suara hujan yang keras membentur atap dan permukaan jalanan, lengkap dengan gemuruh dan petir membuat Taehyung tidak dapat mendengar dengan begitu baik. Ia melangkah semakin dekat dengan Seokjin hingga aroma parfumnya yang maskulin semakin tercium meski di tengah aroma hujan. Taehyung berbisik di telinga kanan Seokjin. Dekat, terlalu dekat hingga Seokjin menyadari ada banyak moles di wajah Taehyung yang menyerupai sebuah konstelasi mini yang apik. “Apa?”

Seokjin mundur selangkah, lalu sedikit memutar tubuh ke arah Taehyung di sebelah kanan untuk menjawab. Ia bermaksud mengulang jawaban untuk konsulennya. Namun, yang tidak ia duga, dalam satu per sekian detik, Taehyung juga bergerak sedikit ke kiri hingga wajah mereka hampir bertubrukan. Mereka terlalu dekat hingga tidak ada apa pun yang memasuki jarak pandangnya kecuali wajah Taehyung. Tangan sang konsulen menubruk dada Seokjin hingga payung malang itu terjatuh sekali lagi.

Oh, God. What just happened?

Seokjin tahu bahwa konsulennya populer di kalangan perempuan, baik sesama tenaga kesehatan ataupun pasien dan keluarganya. Terlihat dari gelagat mereka ketika Taehyung datang untuk visite. Wajah yang mutlak rupawan terbalut sikap yang cool, penampilan yang rapi sekaligus beraroma maksulin membuat perempuan mana pun penasaran untuk menaklukannya. Seokjin tahu, tetapi tidak pernah menggubris kenyataan itu. Sebab, bertemu orang-orang rupawan di kesehariannya merupakan hal biasa.

Namun, takdir memang paling pandai membukakan mata di saat yang tidak terduga. Kini seluruh fakta itu terpampang jelas di sekujur kulit hingga ujung jemari sampai-sampai Seokjin tidak bisa bersembunyi untuk menyangkal. Alasan-alasan mengapa malam ini langit memilih menangis tanpa henti.

Sebab langit mempersilakan seluruh bintang itu terjatuh ke mata seorang Kim Taehyung.

Sebab langit mengizinkan seluruh pesona Kim Taehyung tumpah ruah sederas hujan tengah malam.

Di hadapan Kim Seokjin seorang.

Seokjin mulai kehilangan jejak perhitungan berapa kali ia pulang bersama Taehyung. Di dalam mobil konsulennya yang hangat, mereka berdua terdiam. Hanya alunan suara penyiar radio yang mengisi kesunyian. Namun, ini jenis kesunyian yang berbeda. Jika dibandingkan dengan kesunyian saat bersama Irene di mana Seokjin merasa harus mencari topik, atau saat bersama Jungkook di mana kesunyiannya terasa aman, atau saat bersama Namjoon di mana ia akan selalu nyaman karena sudah mengenal lama — bersama Taehyung kesunyian selalu terasa mendebarkan.

Pertama, Taehyung adalah konsulen. Salah bersikap sedikit pasti akan menjadi penilaian buruk (meski ia telah melakukannya saat hari pertama bertemu). Kedua, usia yang terpaut agak jauh membuat Seokjin tidak tahu harus membahas apa (walau banyak). Ketiga, Taehyung dengan isi otaknya yang padat bisa saja diam-diam menertawakan otak Seokjin yang kopong saat mereka berbincang (ya ini sih pikiran jelek Seokjin aja). Keempat, entah kenapa Taehyung yang ia temui di kehidupan nyata jauh lebih kaku dan misterius dibandingkan dengan yang ia jumpai di Instagram (kebanyakan orang juga begini, sih). Kelima, aroma maskulinnya serupa anti-sedasi yang membuat ia terjaga sepanjang perjalanan (Seokjin mau tahu mereknya walau tahu enggak akan mampu beli).

Namun, kata-kata telah masak di otak hingga ujung lidah. Jadi, Seokjin memilih membuka mulutnya. “Dok, terima kasih. Ternyata hujannya terlalu deras dan banyak petirnya.”

Taehyung tidak langsung menjawab. Tatapannya fokus pada jalanan di depan sana. “Tidak masalah, Kim.”

Seokjin membuang pandangan keluar jendela. “Dokter baru selesai ngelab?”

Taehyung diam-diam tersenyum tipis. Oh, rupanya anak itu ingat. “Yeah.

Sang residen tahap satu ingin meminta maaf karena penelitiannyalah yang membuat penelitian Taehyung padat karena hanya bisa dilakukan di hari Kamis malam. Namun, ia ingat konsulennya itu tidak menyukai kata maaf terlalu banyak. “Boleh tahu tentang apa, Dok?”

Pertanyaan yang tak pernah Taehyung duga. Tapi ia tidak terlalu keberatan untuk menjawab. “Metabolik kardiovaskular. Kamu mau mendengarkan? Tapi asramamu tidak jauh lagi.”

“Oh, enggak apa-apa, Dok. Saya mau dengarkan kok,” ujar Seokjin antusias. Mendengar cerita konsulennya tengah malam di antara derasnya hujan bukan ide buruk, kok. Ketenangan yang mengisi jiwanya akan bertambah menjadi dua kali lipat. Seokjin tidak akan berkilah kalau ada yang mengatakan bahwa suara Taehyung menyejukkan seperti penyiar radio tengah malam.

Diam-diam Taehyung tertawa dalam hati, penasaran kenapa Seokjin bersemangat mendengarkan ceritanya yang berpotensi menyebabkan kantuk. “Kenapa?”

Seokjin, yang sudah tak terbalut lagi jas hujan Irene, memandang Taehyung bingung. “Kenapa apanya, Dok?”

Taehyung membasahi bibir, salah satu kebiasaan yang tak luput dari mata Seokjin sekarang. “Kenapa penasaran?”

Tepat ketika Seokjin membuka mulut untuk menjawab, Taehyung buru-buru berujar, “Simpan untuk acara makan ramen nanti, Kim. Kita sudah sampai, selamat malam.”

Setelah itu terjadi beberapa hal dengan sangat cepat. Taehyung menyuruhnya menunggu di dalam mobil, kemudian membukakan pintu untuk Seokjin dan memayungi dirinya hingga ke pintu asrama.

Mereka berjalan berdua di bawah payung hitam besar yang sebenarnya tak cukup lebar karena Seokjin melihat bahu kiri konsulennya kebasahan. Dalam diam, dalam napas yang memberat, dalam detakan jantung yang iregular. Mengabaikan fakta bahwa Seokjin memiliki jas hujan dan payung sendiri.

Untuk kedua kalinya di malam itu.

Namun kali ini dengan tambahan, “Please, sleep like a bear tonight. You deserve it, Kim.”

--

--