— 01 ;Kulo

𝒏𝒂,
3 min readNov 24, 2022

--

Sial!

Nadira menggerutu sepanjang perjalanannya menaiki taksi menuju salah satu gedung di pusat kota. Terlambat setengah jam karena bangun kesiangan menjadi pembuka yang buruk untuk harinya. Pertemuan dengan bos baru terpaksa mundur setelah dia dua kali di telepon oleh Kak Raya. Belum ada lima menit setelah Kak Raya mengabarkan kalau bosnya sudah pergi ke sebuah acara peresmian restoran baru. Nadira diberi pesan untuk menunggu sampai bosnya kembali ke kantor.

Itulah yang dia tidak suka. Menunggu untuk diberi konsekuensi atas kesalahan yang dia perbuat tentu terasa tidak nyaman. Seperti sekarang ini dia menatap sekeliling ruangan yang tampak berbeda setelah ditinggalkan oleh Pak Wira. Biasanya Pak Wira memasang lukisan bunga matahari di ruangannya, namun kini berganti dengan bingkai foto kesibukan malam hari di Manhattan.

“Kamu beneran nggak ada kerjaan, Dir?” Kak Raya masuk membawa segelas minuman.

“Nggak ada, Kak. Harusnya kan aku nggak ke sini. Masih lama ya dia datengnya?”

Kak Raya terkekeh, dia lupa memberitahukan nama bos baru mereka. “Namanya Pak Prakash Dita Respati.”

Nadira mengangguk-angguk, mencoba mengulang kembali nama itu dalam hati. “Kayak mirip nama siapa gitu nggak sih, Kak?”

“Wira Ditya Respati?”

“Nah, iya!” seru Nadira. “Mirip banget beda dikit doang.”

“Kakak adik mereka itu. Aku juga baru tau abis Pak Wira kirim email kemarin.”

Seketika Nadira bergidik ngeri. Dia bahkan langsung menyiapkan daftar tempat mana saja yang bisa dia kirimi lamaran pekerjaan. Tamatlah sudah. Tentu saja Pak Wira tidak segan-segan memecatnya yang bertingkah kurang ajar.

“Ya udah kamu nunggu sini aja, Pak Pras bilang cuma dua jam perginya. Jangan kemana-mana daripada nanti kamu telat lagi.”

Benar, dia tidak kemana-mana. Sofa yang didudukinya mendadak terasa sangat nyaman. Tidak sampai sepuluh menit setelah menyender ke sofa yang empuk itu, Nadira tertidur. Dia tidak tahu lima menit kemudian bosnya masuk ke ruangan dengan wajah yang masam.

Pras menatap wanita yang mendengkur halus di dalam ruang kerjanya. Ternyata seperti yang dia duga, karyawannya itu terlihat seperti manusia yang hidup seenaknya tanpa aturan. Menaikkan dua kaki ke meja, mendengkur dan sesekali mengingau. Dia sudah gemas ingin menyetel musik super kencang, tetapi urung setelah mendapatkan telepon dari kakaknya.

“Akhir bulan ini, Mas?”

“Nginep di hotel aja jangan di rumahku. Ibu pasti komentar macem-macem masalah tempat tinggalku. Nanya ini itu, aku dapet uang dari mana.”

“Ini nggak sekalian aja aku dikasih biodata lengkap perempuan itu, nggak usah minta aku main tebak-tebakkan.”

“Yaudah, Mas. Aku ada urusan, pegawaimu ada yang kurang ajar. Sak penake dewe (sesukanya sendiri).”

Angel lehku arep njelaske (Susah aku mau jelasin). Pecat aja pegawai ini.”

Pras menutup teleponnya. Dia yang tadi memunggungi Nadira, lekas berbalik setelah mendengar bunyi berisik dari wanita itu. Wajah pucat yang Nadira tunjukkan membuat Pras kebingungan.

Nyuwun pangapunten, Mas. (Maaf, Kak)”

Pras mengernyit heran mendengar Nadira bicara dengan bahasa daerahnya.

Kulo mboten — ” (Saya tidak — )

Pras menunggu kelanjutannya.

“Maaf, Pak. Saya kemarin tidak sengaja, lebih tepatnya tidak teliti. Saya tidak mengenali Pak Pras sebagai bos. Saya minta maaf.”

“Kalimatmu jelek.” Pras menimpali dengan logat Jogjanya yang kental. “Nggak usah sok ngomong bahasa jawa kalo nggak bisa. Dipikir kesalahan kamu kemarin bisa langsung hilang kalo kamu pakai bahasa daerah saya?”

Nadira menggertakkan giginya, dia itu bisa hanya saja tadi mendadak lupa.

“Ibu saya asli Jawa, Pak. Sekarang menetap di Boyolali. Saya SD di Jogja, kuliah juga di sana. Saya bisa kok, Pak, bicara pakai bahasa jawa.”

“Penjelasanmu nggak penting.” Pras berjalan ke mejanya lalu duduk dengan tenang di kursi yang biasa diduduki Wira. “Rekap pekerjaanmu selama dua tahun ini, serahkan ke saya sebelum jam makan siang.”

Artinya tinggal satu jam lagi!

“Tapi, Pak, bukannya kita mau membahas — ”

“Masih bisa kamu tawar menawar sama saya setelah lancang tidur di ruangan ini, terlambat masuk kantor dan sok akrab dengan saya?”

“Maaf, Pak.”

Nadira meremas ujung bajunya. Dia tersinggung, malu, kesal sekaligus terpesona dengan bos barunya itu.

--

--