Alisha ini sangat cantik di mata Julian. Benar-benar kecantikan anggun tetapi dalam diri seorang perempuan berprinsip kuat. Selama mereka kenal, tidak pernah sekalipun Alisha merendahkan diri di depannya.
“Halo, maaf kamar gue rada berantakan. Tadi Alena habis ke sini nyari baju.” Alisha membuka pintu kamarnya. Kamar itu hampir sama luasnya seperti milik Julian.
“Lebih rapi dari punya gua,” kata Julian.
“Standar rapi tiap orang beda-beda. Tadi di bawah udah dikasih minum? Gue cuma ada air mineral sama buah.”
“Udah kok, lu tiduran aja nggak papa.” Julian mengambil tempat duduk di sofa sebrang tempat tidur Alisha.
“Dibilang gue udah mendingan,” tegas Alisha. Dia menyusul duduk di sofa dengan jarak yang cukup lebar dari Julian.
Mereka diam beberapa saat setelah Alisha menerima telepon dari seseorang. Selama dua menit, gadis itu berkali-kali menegaskan bahwa dia tidak punya waktu luang minggu depan. Tidak lupa kata maaf yang terselip ketika Alisha mengutarakan rasa tidak nyamannya.
“Kesusahan nolak?” tanya Julian setelah Alisha terlihat lebih santai.
“Dia yang susah nerima. Percuma muka ganteng dan duit banyak kalau sopan santun nggak punya. Nggak semua cewek cari tampang sama duit doang.”
Julian perlahan sadar, yang diceritakan Alisha adalah artis itu. Memang salah satu yang paling tampan dan sukses.
“Keren ya didikan Om Dirga.”
Alisha mengernyit, tidak terlalu paham maksud Julian menyebut nama papanya.
“Om Dirga sama Tante Milena bisa didik lu nyampe sekeren ini. Cewek tangguh yang rasanya mustahil diraih.”
“Om Jonathan sama Tante Aruna juga sukses didik lo. Julian si cowok paling sederhana dan baik hati walaupun duit sama koneksinya banyak.”
“Kita lagi sesi lempar pujian?” Julian mengambil sepotong buah lalu mengunyahnya perlahan. Dia menelusuri kamar Alisha. “Buku-buku punya lu mirip kayak di rumah gua.”
“Jadi selama ini lo mikir gue cuma cari muka pas ngobrolin tentang buku waktu kita pertama ketemu?”
Julian menggeleng. “Masih nggak percaya ada cewek kayak lu.”
“Astaga, udah dong. Mau ke balkon? Taman rumah gue bagus diliat dari atas.”
Lalu Julian dan Alisha bersama-sama berdiri di balkon. Awalnya mereka membicarakan taman di halaman rumah itu. Kemudian tentang jadwal kuliah yang sedang padat-padatnya. Berhentilah mereka pada topik yang cukup berat dan sensitif.
“Gue mungkin adopsi anak,” kata Alisha. “Sekarang yang paling gue takutin itu melahirkan. Udah lama gue mikirin ini. Mungkin awalnya waktu gue sama papa nolong perempuan yang pecah ketuban di halaman toko.”
Julian memperhatikan dengan serius. Dia suka mendengarkan pemikiran-pemikiran Alisha yang kadang membuatnya takut bila itu diucapkan di depan banyak orang.
“Rasanya sakit, mama juga ngakuin itu. Gue mikir gini karena pernah waktu itu kena pecahan gelas dan rasa sakitnya susah gue toleransi padahal itu bukan luka yang lebar banget. Cuma satu senti kulit tangan gue ilang. Jelas itu bukan alasan bagus buat nangis tiap jam dua pagi nyampe matahari keliatan.” Alisha tersenyum sebentar.
“Gitu deh, sebenernya pilihan ini bisa jadi berubah. Sekarang kita masih awal dua puluhan. Perjalanan juga masih panjang.” Alisha mengakhiri.
“Pasangan lu nanti pasti menghargai apapun pilihan lu. Bukannya dipernikahan yang penting itu pendapat kalian? Selama kalian satu pendapat, itu udah cukup. Gue juga paham karena bunda dulu waktu lahirin Julia pemulihannya lama. Waktu adek terakhir gue pergi sebelum lahir, bunda sempet dibawa ke psikolog. Jadi, kalau itu pilihan lu, pasti lu udah buat banyak pertimbangan.”
Daun-daun kering terbang ke arah mereka. Pohon besar di samping balkon berisik terkena angin.
“Dari semua masalah hidup. Gue paling sebel kalau balkon kotor. Kadang daun-daun ini masuk kamar kalau gue lupa tutup pintu. Mau tebang pohonnya rada sayang. Bisa jadi nanti ada yang berjuang panjat pohon buat ketemu gue.”
Mereka mengambil daun-daun kering itu lalu membuangnya ke bawah. Satu persatu daun mendarat ke tanah.
“Cowok keren nggak akan panjat pohon buat ketemu. Dia pasti minta izin orang tua lu.”
Alisha memberikan dua jempolnya. “Terbukti lo nggak pernah baca buku yang di sana ada seorang cowok manjat pohon selama dua tahun buat ketemu cewek pujaannya. Karena cewek itu dilarang keluar kamar buat ketemu siapapun. Cewek itu bisa liat masa depan lewat tatapan mata.”
“Kenapa cowok itu mau ketemu si cewek?”
“Cowok itu sakit parah, jelas masa depannya berakhir di pemakaman. Bukan buku rekomendasi dari gue. Tapi itu cukup buat dinginin kepala.”
Julian menarik napasnya dalam-dalam. Dia berpikir sebentar. Menghadapi Alisha tidak mudah. Salah-salah dia malah masuk blacklist.
“Jujur, itu lebih cocok dibahas sama ayah gua.”
“Mungkin,” balas Alisha. Dia menghembuskan napas cukup keras. “Gue rada mual. Masuk lagi, yuk? Gue pengen tiduran.”
“Terus, lo sama Jihan gimana?” Alisha yang sudah berbaring menatap Julian yang duduk di kursi samping tempat tidurnya.
“Gua nggak lagi dalam kondisi bisa pacaran.”
“Bukannya dia ngejar lo terus? Cinta juga ‘kan?”
“Gua udah jelasin dan mereka nggak mau mundur. Jadi, terserah, gua nggak terlalu ambil pusing. Ini sifat jelek gua.”
Alisha menepuk-nepuk perutnya yang masih terasa mual. “Denger lo ngomong gitu bikin gue mau muntah.”
“Mau gua bantu ke kamar mandi?”
“Mending lo diem, jangan sok bijak soal percintaan. Lo masih aktif tanggepin chatnya Jihan, artinya lo buka jalan.”
“Alisha,” panggil Julian. Tapi gadis itu sudah memejamkan matanya. Tanda tidak ingin diganggu.
“Keluar dulu, gue mau tidur bentar. Nanti pulangnya hati-hati. Kondisi gue nggak terlalu bagus buat ketemu keluarga lo.”
Julian keluar dari kamar itu dengan banyak pertanyaan baru.