Berakhir.

ayang_i
3 min readOct 11, 2022

Suara deburan ombak terus bersahutan. Seperti tidak berikan kesempatan untuk kalah dari tawa riang orang-orang sekitar. Di ujung belahan bumi, dapat Renjun lihat matahari yang selalu ia puja mulai terkikis cahayanya perlahan-lahan.

Gerak jarum jam di pergelangan tangan meski lirih, dapat Renjun dengar samar-samar. Sederet manusia yang turut ingin saksikan keindahan matahari tenggelam pun mulai bergerak mendekat.

Renjun tersenyum tipis. Merasakan segala pergerakan di sekitarnya. Entah itu manusia, sang matahari yang agung, air yang terbawa ombak, atau jarum jam yang berputar tiada henti.

Waktu terus berjalan, tapi Renjun masih di sini. Diam di tempat yang sama. Berdiri tanpa bisa beranjak untuk melangkah maju. Lagi-lagi ia tersenyum. Namun, kini yang terukir pada bibir manisnya hanya senyuman getir. Untuk apa? Mengasihani diri sendiri? Menyalahkan diri sendiri? Renjun bahkan sudah muak. Sudah tak terhitung lagi dalam benaknya, berapa kali ia menangis tertekan atas kekurangan diri.

Di sisinya ada Jeno, sosok yang senantiasa berada di sampingnya. Bersedia menjadi penopang dalam hidupnya. Berupaya selalu berikan yang terbaik untuk dirinya.

Semua terasa seakan sia-sia. Renjun mati rasa. Mau seberjuang apapun, mau sehangat apapun, Renjun tetap tak rasakan apa-apa dalam hatinya.

Jen, tolong putusin aku. Ini saat yang tepat buat kamu menyerah, Jen.” ucap Renjun pada akhirnya.

Jeno masih tampak duduk tenang, seakan sudah mengira cepat atau lambat sang kekasih akan ucapkan kalimat terlarang ini. Meski begitu, mimiknya tak sejalan dengan detak jantung yang terus terpacu. Karna jika ia boleh jujur, momen inilah yang selalu jadi mimpi buruk bagi Jeno.

Aku gak mau.” jawab Jeno final.

Ia putar posisi duduknya hingga satu-satunya yang dapat Jeno lihat hanyalah sang pemilik hati. Tangannya terulur, mengurung kedua pipi si manis yang tengah menunduk agar memandang lurus pada kedua matanya.

Lihat aku, Ren. Kamu bisa bilang kurangku apa, kamu bisa bilang aku punya salah apa, pun kamu juga bisa marah ke aku kalau perilakuku menyakiti kamu. Tapi tolong jangan minta aku buat pergi dari kamu ya?” semua kalimat itu lolos dari mulut Jeno. Tanpa terdengar menuntut, tanpa terdengar memaksa. Seluruh tutur katanya lembut, membuat siapa pun yang mendengat turut larut.

Tapi aku cuma jadi beban buat kamu, Jen. Aku gak bisa ngasih kamu apa-apa. Aku gak bisa balas semua yang udah kamu kasih ke aku. Bahkan, untuk sekedar sayang sama diri sendiri aja aku gak mampu. Gimana aku bisa sayang sama kamu?” Setetes, dua tetes air mata mulai luruh perlahan.

Di sini, di dalam hubungan ini, cuma ada kamu yang selalu memberi dan aku si gak tahu malu. Kamu yang selalu jagain aku, kamu yang selalu meluk aku, kamu yang selalu ngasih semua pintaku. Sedangkan aku? Aku bisa ngasih apa ke kamu, Jen? Aku bisa apa?

Aku cuma orang cacat mental yang harus bolak-balik ke psikiater dan bergantung sama obat-obatan. Jen, kamu sempurna. Kamu pantas dapetin segala versi terbaik yang dunia sediakan. Kamu sangat pantas bahagia, Jen.” Wajah Renjun sudah basah, terguyur seluruh air mata.

Menyakitkan. Rasanya sangat menyakitkan melihat kekasih hatinya terbelenggu dalam keterpurukan. Jika bisa, biar Jeno saja. Biar Jeno saja yang gantikan posisi Renjun-nya. Biar Jeno saja yang menderita. Tak apa, asal bukan cintanya.

Bahagiaku ada di kamu, sayang. Aku gakpapa. Aku gak pernah mempermasalahkan kekurangan kamu. Ada kamu di siniㅡdi sampingku, aku udah sangat bersyukur. Kamu gak perlu ngasih aku apapun. Aku cuma butuh presensi kamu di dekatku, sudah cukup. Aku gak butuh apapun lagi.

Kamu gak pernah ngerepotin aku. Kamu bukan beban bagi aku. Kamu berharga, sayang. Kamu amat sangat berharga. Jangan pandang rendah diri kamu sendiri ya?” Jeno bawa Renjun beristirahat dalam peluknya.

Maafin aku. Maafin aku karna cuma bisa nguatin kamu dengan cara seperti ini. Maafin aku karna gak bisa hapus lukamu dengan segera. Sebagai ganti rugi, aku janji bakal nemenin kamu sampai kamu sembuh. Aku bakal di samping kamu selalu. Aku gak akan ninggalin kamu sendirian.

Aku cuma punya kamu, Ren. Satu-satunya. Matahariku, kesayanganku. Jadi, tolong jangan dorong aku menjauh dari kamu.” Jeno kecup dalam dahi sang kekasih, mencoba salurkan segala perasaan dalam diri. Berharap semoga dapat ditangkap dengan kepalangan hati.

Ditemani matahari yang kian dekat untuk berlabuh, Renjun masih terus tersedu. Menangisi takdir malang Jeno yang harus berakhir dengan seorang lelaki sepertinya. Mungkin juga di atas sana Tuhan sedang mengutuk Renjun karna tak kenal rasa syukur telah hadirkan manusia tanpa cela yang selalu setia menunggunya.

--

--