Jamuan Pengantar Pulang

kei
8 min readJun 24, 2023

--

Moonlight Chicken Alternative Universe

Photo by Sofia Khlebnikov on Unsplash

Sudah datang lelembut senja terpa ruangan Alan yang penuh tumpukan berkas. Sorot cakrawala tak mampu buat geming tubuh berpindah, pun mata dengan kantung berlipat tetap fokus tertuju pada layar monitor penuh angka.

Analisa yang harusnya selesai dalam seminggu, disulap pula menjadi tiga hari.

Seperti apa yang kau bilang selamanya, nyatanya hanya semenjana.

Waktu seakan tak penting bagi Alan. Jarum tetap berputar; jam berganti menit, menit berganti menjadi sekon dan Alan akan terus ada di dalam kubangan hitam ini sendirian.

Tanpa cahaya.

Tanpa kirana.

Tanpa Wen.

Pening kembali menyergap dirinya dengan sejuta jarum, berpikir kembali tentang bagaimana semesta meruntuhkan dirinya dalam satu waktu. Bukan berarti Alan tak pernah merasa kalau apa yang diterima selama setahun belakangan ini sekadar isapan jempol belaka. Hanya saja Alan terlalu terbiasa dengan keberadaan Wen; bangun bersambut dengkur, tidur bersama suam.

Akan terdengar sangat bodoh untuk seorang Relationship Manager bank terkemuka di Thailand untuk terus membiarkan apa yang seharusnya pergi dibiarkan tinggal hingga busuk menjadi bangkai. Tapi itulah manusia; meniti logika namun pecah ego tak terelak.

Alan sadar bagaimana Wen menatapnya selama satu tahun belakangan; seakan ia adalah bayang kosong yang tak pernah ada. Saat Wen menyentuh tubuhnya, ia merasa pijar, namun hanya sebatas itu, rasa dibiarkan beku dengan segudang tanya yang tak pernah terucap.

Hingga akhirnya tibalah titik kulminasi.

Retak hati menjadi patah, ukir jiwa dengan sayat.

Tiap kali bernafas, satu tarikan buat sesak sampai terasa berat. Dua tarikan napas, jantungnya seperti diremas. Tiga tarikan napas, perih dirasa sekujur raga.

Dan dari hari itu sampai detik ini, sekujur raga memberi sayat.

Retak. Patah. Sayat. Retak. Patah.

Wen mengukir jiwanya dengan abstrak.

Ruangan sudah sepi, meninggalkan Alan termakan gelapnya malam. Mungkin ini memang tempatnya, tempat seharusnya ia habiskan sisa hidupnya yang membosankan.

Bergumul di tengah kelam, menepis segala kirana.

Kaki belum sembuh betul namun sudah dipaksa untuk keras. Keras menopang berat tubuhnya; menopang setengah jiwa yang lebur dibawah kubang jelaga.

Photo by K X I T H V I S U A L S on Unsplash

Kedai kaki lima menjadi tujuan kudapan, agar lebih lama waktunya untuk tidak kembali pulang; karena memang tidak ada tempat untuk kembali pulang. Ricuh muda-mudi, gurau segerombol pekerja, mesra dua sejoli bina hubungan, dan dirinya hanyalah seonggok manusia sendiri yang terduduk sembari buka tutup botol bir yang ke-5.

Pulang. Pulang. Pulang.

Badan menjerit ingin pulang.

Khun Alan?” tengadah kepala, figur seorang pemuda bersuara layaknya surya menyapa. Gaipa ada disana, membawa sekantung plastik makanan ringan. “Apa kabar?”

Alan mengangguk dan melukis senyum, walau palsu namun tetap elok dipandang. “Kabar baik, kau sendiri?” Gaipa tarik bangku kosong di hadapan Alan, bibirnya melukiskan sabit dengan warna teduh.

Tak seperti milik Alan yang bernaungkan mendung.

“Coba daging asapnya, kombinasi paling tepat untuk minum bir.” alih menjawab kabar, sang jagal ayam berpaling pada hal lain. “Boleh aku ikut bergabung?”

“Tentu saja, Gaipa — kita bukan orang asing kan?”

“Hmm — tiga kali pertemuan buat kita jadi orang dekat?” guyon Gaipa menggoda Alan.

Mendadak batin Alan berteriak keras;

Banyaknya frekuensi tak jadi jaminan, pujangga muda.

Bahkan yang sudah menahun berpeluk nyatanya berganti ganjil. Dikata yang bisa dihitung jari berlabuh secepat angin membawa pergi raksinya ke peraduan lain?

“Setidaknya cukup untuk tidak jadikan kita orang asing.” Alan tuang bir pada gelas kosong, “Bagaimana gerai ayam potongmu?”

“Baik, pelangganku semakin banyak karena ulasan Paman Jim tentang daging ayam moonlight chicken. Banyak yang datang karena penasaran dengan bahan baku moonlight chicken, padahal sama saja dengan yang lain, sama-sama berasal dari dalam pasar kotor.” pendar maniknya kalahkan temaram lampu yang menyinari trotoar. “Kurasa aku cukup baik untuk memahami peranku sebagai jagal ayam.”

Gelas sudah kosong melompong, habis di tenggak pemuda yang kelam maniknya kalahkan gelapnya malam. “Bagaimana dengamu, Khun? Kakimu sudah baik?”

Alan tersenyum kecil; garis kerut ulah begadang dan hidup serampangan kentara jelas di paras. “Baik, hanya tinggal nyeri sedikit”

“Benar sudah sembuh total?”

Nong, kan sudah kubilang — ”

“Kau — maksudku. Khun, sudah sembuh?”

Sembuh?

Jemari lentiknya membetulkan lorot kacamata, ia menatap manik jelaga Gaipa dengan tanda tanya besar. “Iya, aku sudah sembuh..? Kakiku baik dan kata dokter hanya perlu kontrol sekali lagi.”

Kau, Khun Alan.” vokalnya menekan, Gaipa tuang bir ke gelas, kemudian menenggaknya dalam sekali teguk. Lagi. “Sedari pertemuan pertama, wajahmu selalu seperti itu.”

“Seperti apa?”

“Terluka.”

Lima botol hampir kosong, Alan pesan dua botol lagi. Gaipa buka topik yang gugat atensinya naik. “Nong, kau terlalu banyak menonton film.” gurau Alan berharap tak dikulik semakin dalam. “Darimana kau tau aku terluka?”

“Karena aku juga terluka.” jawabnya hentikan tuang bir dari genggam Alan. “Aku tau bagaimana pandang orang dengan setumpuk luka.”

Jelaga membasuh madu, Alan tenggelam dalam samudera Gaipa.

Berenang melarung ombaknya yang teduh, mencari jawab dari kesungguhan berbalik niscaya. Mengarung dalam lautnya, dimana temukan sebuah pulau kecil dimana raga Gaipa terselubung kabut pekat.

Sendu berbanding dengan kirana yang dilihat beberapa sekon lalu.

Manik madu Alan tak lagi melihat utuh Gaipa di depan. Hanya seonggok manusia dengan pusaran besar di tengah dada, berlubang pula menembus tubuh hingga apa yang seharusnya utuh menjadi separuh.

Tidak utuh.

Hanya separuh.

Sama seperti dirinya.

“Kalau begitu kita rayakan luka ini dengan bersulang,” Alan raih gelas, angkat tepat di paras Gaipa. “Alcohol washed away sorrows, right?

Gaipa tertawa, bahaknya gelitik timpani Alan sampai pada bawah perut. “Cheers, Khun.” Suara kerincing dua kaca bertemu dan mereka telan cairan pahit pelepas lara bersamaan. Pipi Alan panas bukan karena bakar daging sang pedagang yang membara, namun karena buncah yang tak karuan.

Hangat. Suam. Nyaman.

Lumat getir alkohol basuh luka Alan hingga buat sekujur tubuh menegang. Pipinya memerah karena sadar sudah dibawah imaji; pergi nan jauh dari gundah distraksi. Salahkan bagaimana sang bulan sorot rupa Gaipa dengan teduh, Alan rasa napasnya agak sedikit ringan ketika maniknya telanjangi sosok yang juga sama merah seperti dirinya.

Temaram surai cepak, tegas bingkai alis, bangir hidung jambu, dan sorot mata yang tajam namun teduh.

Rupawan sang arjuna.

Alan rasa alkohol renggut sadarnya ketika berpikir demikian.

“Terima kasih, Khun,” Gaipa mengambil sumpit, kudapan yang dipesan datang dengan asap mengepul. “Sudah membiarkanku makan bersamamu malam ini.”

Alan tunjuk kantung plastik berisi apa yang diduga makanan pula. “Nggak perlu berterima kasih, lalu bagaimana dengan makananmu?”

“Ah, ini?” Gaipa angkat plastik miliknya. “Ini kacang rebus, aku bisa memasukannya ke kulkas dan memakannya besok.” jelasnya menenangkan.

Kali ini ada gelap yang menaungi teduh jelaga Gaipa. “Biasanya, Ibuku menyukai makanan seperti ini. Kami sering memakan kacang rebus sambil menonton acara lelucon yang disiarkan di televisi sampai mengantuk.”

Luka.

Kali ini Alan menangkap jelas sayat dibalik teduh sang jelaga.

“Kadang aku sering tak sadar siapkan dua porsi untuk sarapan.” getar suaranya seperti badai, “Dan aku harus membuang salah satunya setelah makananku habis hahaha.” getirnya terbahak.

Alan juga sering buat kudapan kesukaan Wen yang sepatutnya bukan seleranya sebagai awal memulai hari. Hanya untuk menenangkan pikir bahwa harumnya masih ada, walau nyata sudah lenyap dibawa peluk orang lain.

Sialan memang, nyata yang dulu menenangkan ternyata bukanlah yang dimenangkan.

“Pasti berat,” Alan mengambil kudapan miliknya, “meninggalkan kebiasaan yang sudah bertahun-tahun jadi rutinitas.”

“Aku bahkan tak berniat meninggalkan kebiasaan itu.” Gaipa mencebik, jelaganya gemetar menahan bulir air. “Karena dengan itu, aku masih merasa sosoknya ada di dekatku, Khun. Aku merasa rumahku hidup. Aku merasa hidup.”

Fana menghidupkan tenang, walau riuh akan datang bila dibiarkan lama. Kuasa Alan meneguk bir walau kabut mulai datang penuhi benak. “Nong, apa menurutmu harus terluka agar bisa hidup?”

Dimainkan gelasnya, lalu bibirnya kembali berujar. “Aku bertanya bukan karena ingin menabur garam, tapi aku serius ingin tahu. Saking seringnya, rasanya hampa kalau hidup tanpa luka. Jadi aku ingin bertanya, wajar memang ketika luka dijadikan alasan untuk tetap hidup?”

Sengat merah pipi merona layaknya mawar. “Sakit memang, tapi ketika aku merasa tenang — rasanya aneh, seperti tidak hidup.” lantur tuturnya pertanda alkohol mulai bekerja. “Kau tau ketika napasmu tenang, nyaman, damai, tanpa sesak, justru itu buat takut?”

Alan menepuk dadanya. “Rasanya aneh, seperti sekarang, ketika aku berbicara denganmu.”

Sorot Alan membiru dibiarkan jatuh. Lentik bulu mata menyapu bawah kantung, tangan dibiarkan tetap di dada, meremas kemejanya hingga kusut tak terbentuk. “Harusnya aku tak merasa itu semua kan?” polos kedip manik madu giliran buat Gaipa terbatuk.

Pahat Tuhan sebegitu sempurna, sial alkohol juga ikut renggut warasnya.

Mulanya Gaipa pikir Paman Jim pemilik rupa terindah yang pernah ditemui; bisep kekar, kulit eksotis, dan bijak pikir dalam bertindak. Ternyata ada yang lain. Ternyata pahat indah tak hanya diwariskan pada Paman Jim.

Pun Alan juga sama indahnya.

Terduduk figurnya dengan kerah kemeja sedikit terbuka menampakkan lekuk belikat yang menonjol, dasi serampangan terjulur ke bawah, kacamata turun pada bangir tulang hidung dan riak manik yang terlihat kosong namun penuh harap. Belum lagi Gaipa tak bisa alihkan pandangnya pada bagaimana rekah kulit pucatnya meruam merah akibat alkohol dan fluktuasi suhu.

Ada gilanya pemuda satu ini.

Belum apa-apa sudah buat elusif naik dengan magis.

“Khun….” tutur Gaipa menyeruak tanpa dipikir ulang. Terhipnotis tangan sang jagal ayam untuk meraih Alan, namun tertahan oleh kewarasan yang tersisa setengah. Ia turunkan tangan kemudian mengusap dagunya berpikir. “Aku punya ide yang lebih bagus daripada meminum cairan yang rasanya mirip solar itu.”

Gaipa menyejajarkan tubuhnya pada Alan yang sudah ambruk terkena serangan alkohol. “Bagaimana kalau kita pulang?” ajakan retoris Gaipa berdasarkan konklusi yang tak ingin buat dirinya lepas saat warasnya kabur.

Kuncup mawar ingin dikecup, walau tau durinya akan menusuk, kala serakah tergesa ingin kuasa.

Alan mengusap lehernya, bingung menjawab apa ditengah kesadaran yang setipis kertas. “Pulang ya..?”

“Hmm… aku harus bekerja…” digaruk lehernya yang tak gatal hingga memerah. “Bekerja… terus sampai lelah.” kacau lanturnya semakin parah, tangan hendak meraih gelas tetiba ditahan oleh sang lawan bicara.

“Kurasa sudah cukup alkohol untuk hari ini, Khun.”

“Eh~?” Alan merajuk dengan bibir mengerucut. “Nong, sekali saja?”

“Sudah malam, Khun. Lebih baik kita pulang.” Kaki Gaipa melangkah untuk membayar kudapan yang tak seberapa, tak sebanding dengan apa yang ia dapatkan dari Alan malam ini; obrolan tentang keniscayaan dunia.

Kemana?” parau suara Alan kacaukan segala fokus Gaipa dan berbalik beri atensi pada madu yang tadi begitu polos, nyatanya tumpah deras di permukaan pipi Alan. “Aku tak punya tempat pulang.” tubuh jangkung itu bergetar, dengan wajah terbenam pada siku sembunyikan lara agar semesta tak ikut bermuram melihat nestapanya.

Tapi Gaipa ingin.

Gaipa mau mendamba seberapa dalam nestapa sang mawar berduri, pun mau merawat lara yang diramu hingga durinya melunak.

Sehingga hasrat Gaipa mencetuskan sebuah keputusan prematur malam ini.

Khun, kau suka… bubur ayam..?”

Alan mengangguk dalam kepala yang masih terbenam siku. “Tanpa kacang.”

“Kalau begitu,” Gaipa melangkah mendekati Alan, ia condongkan tubuhnya ke bawah untuk meraih Alan, menariknya keluar dari kelam kungkung yang dibangun sebagai pembatas.

Kian dekat, raksi Alan mulai tercium.

Antara sengit alkohol bergelut amber serta sedikit cedarwood.

Waktu biarkan Gaipa menghidu semerbak Alan untuk menanam memori dalam aroma.

Alan tak punya tempat untuk pulang, sedangkan Gaipa ingin kembali menghidupkan rumahnya seperti dahulu kala.

Terlontar tanpa pikir buah dari pemikiran prematur tadi.

Mau pulang ke rumahku?”

Alan perlahan bangkit dari dalam kungkung, terkejut pula lihat Gaipa bersinar. Sinarnya seperti pantulan mentari yang menari di birunya laut, gemerlapnya sempat silaukan mata hingga buat buta sejenak.

Salahkan delusi alkohol buatnya menyerukan apa yang tubuh dambakan. Desir menggebu layaknya ekstasi baru buat candu.

Serangan kembang api berderai di dada, Alan berakhir tumpah ruah dalam satu kalimat.

Iya, aku mau pulang.” tandasnya dengan mata mengembun.

©Keinosky, June 2023.

--

--