Film “Meri Pyaari Bindu”: Perempuan, Ambisi, dan Masa Depan

Nian Sarsa
3 min readSep 21, 2018

--

Beberapa waktu lalu saya menonton film berjudul "Meri Pyaari Bindu" (2017) atau kalau dalam Bahasa Indonesia "Binduku yang Manis". Ide kisahnya memang bukan hal yang baru: dua orang manusia berlainan jenis bertemu saat kecil, bersahabat, lalu saling jatuh cinta, memutuskan untuk menikah, dst dst dst.

Film ini mengingatkan saya dengan kisah cinta antara Kizuki dan Naoko dalam novel "Norwegian Wood"-nya Haruki Murakami (baiklah, karena koleksi bacaan saya masih sedikit, pun tontonan saya belum banyak maka NW lah yang teringat).

Bindu dan Bablu sama halnya dengan Naoko dan Kizuki yang memulai kisah cinta mereka sejak kecil. Jika Naoko dan Kizuki sempat menjalin hubungan, Bindu dan Bablu bahkan tak pernah bisa lebih dari teman. Namun, kesamaan lainnya, kisah cinta keduanya tak berakhir dengan pemaksaan. Indah.

Bindu dikisahkan sebagai seorang perempuan yang ekspresif, tak ingin terkekang, berambisi menjadi seorang penyanyi, dan cukup agresif. Berkebalikan dengan Bablu yang hidupnya lurus melulu. Ayolah, justru kegilaan Bindu lah yang membuat Bablu jatuh hati. Bindu yang berkali-kali akan menikah, lalu berakhir tanpa pernah ada pernikahan karena perbedaan prinsipnya dengan calon-calonnya tadi. Agak sulit memang membuat seorang Bindu memasuki dunia pernikahan jika bukan bersama orang yang dapat memahami jalan pikirannya yang semrawut. Bahkan seorang Bablu sekalipun.

Suatu ketika Bablu melamar Bindu dengan cara yang unik: permainan TTS. Bindu justru mencandainya.

“I love you Bablu.” Sambil tersenyum. Tentu saja ini tidak benar-benar serius. Sulit menjelaskannya. Bablu? Girang bukan kepalang.

Adegan yang cukup menarik perhatianku adalah ketika album Bindu akhirnya release. Sayangnya, tak laku di pasaran. Bindu frustasi. Merasa cita-citanya hancur. Gelap. Tak ada ujung cahaya. Bablu menenangkan dan berkata bahwa ia masih punya masa depan: menjadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya. Kita akan menikah!

Oh, ayolah! Cita-cita tetaplah cita-cita. Ia tak bisa ditukar dengan pernikahan sekalipun. Dua hal berbeda. Bindu pergi. Bablu pun diam lalu mengambil jarak.

Sebenarnya kisah ini tentang Bablu yang sedang stagnan menelurkan buku baru. Setelah tak berkomunikasi lagi dengan Bindu, ia keluar dari pekerjaannya dan memilih menjadi penulis buku horor. Penulis yang konvensional, ketika kompi sudah keluar, ia memilih menggunakan mesin tik jadul. Selama 2 tahun dikejar penerbit, akhirnya ia yang awalnya anti menulis kisah cinta memutuskan menuliskan kisahnya bersama Bindu sebagai bahan untuk buku barunya.

Capek ah mbahas. Kok rasanya jadi kurang greget. Kok jadi berasa sedang menuliskan kisah menye-menye. Padahal, asliii... ini filmnya bagus, menurutku, sih hahaha. Emang lebih enak membahas masalah posisi perempuan dalam film ini.

Btw, saya suka dengan ending kisahnya. Bindu, pada akhirnya meninggalkan cita-citanya setelah menemukan lelaki yang mampu memahaminya. Ia "bahagia" menjalani statusnya sebagai seorang Ibu. Bindu menikah dan punya anak perempuan. Bablu tetap melajang — dan masih mencintai Bindu.

See? Perempuan semacam ini tak bisa didoktrin. Ia hanya butuh menemukan — atau ditemukan — setidaknya oleh satu orang saja yang mampu memahami kerumitannya. Maka setelahnya, bahkan prinsip hingga cita-cita yang ia agungkan bisa dikompromi bahkan diganti. Cita-cita atau ambisi bisa diganti dengan pernikahan jika pasangan yang akan mendampingi bisa membuatnya yakin menghadapi berbagai ketakutan dalam dirinya. Menyadari bahwa ambisinya tak perlu lagi dikejar, misalnya. Di sisi lain, meski cinta sekalipun, sahabat tetaplah sahabat. Jika kau nikahi, belum tentu "rasa" akan terus bertahan. Akan berbeda. Apabila kau ingin ia tetap ada, tetaplah seperti itu. Saja. Mengubur perasaanmu demi persahabatan. Atau kalau tak sanggup, maka ungkapkan lalu terima efek selanjutnya.

Aha, satu lagi. Terkadang dalam hal membunuh perasaan, perempuan adalah ahlinya. Ia bisa melepaskan orang yang ia cintai dan memulai hidup bersama orang yang belum tentu dicintainya. Berbeda dengan lelaki, yang barangkali lebih sulit melakukannya jika tak ada cinta di sana, imho.

Seusai menonton ini, saya jadi ingin bilang bahwa perempuan tak untuk ditaklukan, tetapi dipahami. Setelahnya ia akan mendatangimu secara utuh.

08 Juli 2017

Love,

Nus.

--

--