133.

ASHLEY
5 min readApr 4, 2023

--

“Jay.”

“Hm.”

“Jadi Gynna itu anaknya Rachel sama Steven, ya?”

“Iya.”

“Comblangin sama saya, dong!”

Kalau bukan karena sedang menyetir, sudah pasti Jayden akan memberikan tatapan mematikannya kepada gadis yang duduk di sampingnya tersebut. Alhasil, Jayden hanya bisa melirik sekilas ke arah Sofia, lalu menghela napasnya dengan berat.

“Saya gak ngerti maksud kamu.”

Sofia lantas memberikan cengiran jenakanya kepada Jayden setelah mendengar kejengkelan di dalam suara pria tersebut, lalu berkata, “I don’t know what’s the exact reason, but I wanna be friends with her sooo bad, Jay. Dan karena kamu deket sama keluarga Hughes, jadi pasti kamu bisa dong bantu saya buat hal sesepele ini?”

“Nggak,” ketus Jayden.

“Loh? Emangnya kenapa?!” Suara Sofia naik satu oktaf dan matanya pun melayangkan tatapan tidak terima kepada Jayden.

“Kalian gak akan cocok.”

“Kan belum dicoba?”

“Gynna itu masih kuliah, jadi tingkahnya masih kekanak-kanakan.”

“Sejak kapan saya bisa bersikap dewasa?”

“Bukan cuma tingkahnya yang buruk, tapi sifatnya pun keras dan rebel. That’s why I told you that you guys won’t get along.”

“Kamu kira salah satu alasan saya kabur ke sini karena apa if not for being rebellious against my family?”

Beriringan dengan rintik hujan yang secara tiba-tiba menyerbu mobil yang sedang mereka tumpangi, Jayden pun kembali menghela napasnya setelah menyadari bahwa ia harus mencari alasan yang lebih kuat lagi agar Sofia menyerah. Untungnya, hujan itu dengan segera membuat lalu lintas menjadi lebih lambat, sehingga Jayden pun bisa menoleh dan menatap Sofia tepat di matanya sembari berkata dengan pasrah,

“Intinya, jangan berteman dengan Gynna, Sofia. She won’t be a good friend for you.”

“Sebenernya kenapa, sih?” Tanya Sofia dengan murung, lalu beralih menyandarkan kepalanya pada jendela mobil yang sudah dihiasi rintik-rintik air hujan. “Dari dulu saya tuh payah kalo tentang hal cari temen, makanya yang bertahan sama saya sampai detik ini, ya, cuma Jivan.”

“Ya sudah, kamu berteman sama saya saja.”

Sofia lantas melirik Jayden yang ternyata juga sedang meliriknya, lalu mendengus untuk menahan tawanya yang hampir pecah. “Gak mau, ah. Kamu gak seru buat dijadiin temen,” ledek Sofia.

“Yakin?” Jayden bertanya dengan menaikkan sebelah alisnya, namun dengan pandangan yang kini sudah kembali fokus ke badan jalan.

Setelah mendengar pertanyaan Jayden, Sofia pun menyeringai jahil dan lantas membuat rencana untuk meledek pria itu lebih lama lagi. “Yakin, lah. Setiap saya ajak bercanda aja kamu selalu panik, terus ujung-ujungnya pasti marah-marah sendiri. Kalau begitu, di mana letak serunya coba? Gimana bisa kamu cocok jadi temen saya?”

“Oh, begitu.” Jayden memberi respons yang kepalang santai. “Tapi, kalau besok saya bisa menunjukkan ke kamu kalau saya ‘seru’, bagaimana?”

“Hah? Maksudnya?”

Kali ini giliran Jayden yang menyeringai kecil, sebab pria itu merasa cara ini akan sukses membuat Sofia melupakan agendanya berteman dengan Gynna. Beberapa saat kemudian, Jayden melirik ke arah Sofia yang sedang memandangnya dengan tatapan bingung, lalu bertanya,“Do you have any plans for tomorrow?”

“Nope. Emangnya kenapa?”

“Besok pagi saya jemput, terus kita pergi ke tempat-tempat seru yang pasti belum pernah kamu datangi sebelumnya.”

“Serius?!” Pekik Sofia yang kegirangan hingga gadis itu pun menegakkan posisi duduknya.

“Serius,” Jawab Jayden yang mulai merasa lega. “Tapi saya punya satu syarat yang harus kamu penuhi.”

“Apa?! Apa?!”

“Kamu sama sekali tidak boleh bertanya tentang destinasi apa saja yang besok akan kita kunjungi, jadi kamu bisa menganggap ini kejutan kecil dari saya.”

Perasaan girang yang memenuhi rongga dada Sofia semakin membuncah setelah gadis itu mendengar jawaban Jayden yang terdengar amat manis di telinganya. Bahkan, Sofia pun tidak menyadari bahwa ia hampir saja berjingkrak dari kursinya ketika mengatakan, “OK!”

Setelah itu, baik Sofia maupun Jayden sama-sama merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Sang puan kembali menyandarkan kepalanya pada jendela mobil sembari bersenandung kecil dan berimajinasi tentang harinya besok, sedangkan sang tuan bernapas lega karena rencananya untuk menjauhkan Sofia dari Gynna bisa dibilang berhasil untuk saat ini.

Ketika mobil mereka — lebih tepatnya mobil milik Javier Pramoedya — berhenti di lampu merah, Sofia juga ikut berhenti bersenandung setelah perhatiannya tiba-tiba terpaku pada telapak tangan kiri Jayden yang terbalut kain kasa. Hal itu dikarenakan noda merah kini mulai tampak di permukaan kain yang awalnya berwarna putih bersih tersebut, sehingga membuat Sofia khawatir akan kondisi luka Jayden yang bisa saja semakin memburuk.

“Jay,” seru Sofia sembari meraih tangan kiri Jayden yang saat itu sedang ditumpukan pada setir mobil. “Does it hurt? Kenapa di bagian sini ada noda darahnya?

Jayden bergeming karena ia merasa terkejut atas pergerakan tiba-tiba yang dilakukan Sofia. Matanya pun hanya bisa mengamati bagaimana gadisnya itu meraba-raba bagian kain kasanya yang bernoda merah dengan ekspresi khawatir yang teramat jelas.

“Jay, sumpah. Kita ke rumah sakit, ya? Saya takut luka kamu infeksi,” lanjut Sofia yang kini mendongakkan kepalanya untuk menatap Jayden dengan tatapan memohon, sehingga pria itu pun akhirnya menyadari bahwa lukanya tersebut adalah hal yang terlihat sangat serius di mata Sofia.

Bukannya senang atau tersanjung, kecemasan Sofia justru membuat Jayden merasa khawatir dengan Sofia di masa depan yang mungkin akan lebih sering melihat dirinya terluka seperti ini. Bukannya Jayden mendoakan hal yang tidak baik terjadi kepada dirinya sendiri, namun ia memang sudah bersiap diri untuk menghadapi skenario terburuk yang bisa menimpa dirinya setelah Sofia mengatakan bahwa sang ayah adalah sosok yang terlampau berbahaya.

“Gak perlu, Sofia.” Jayden menjawab dengan yakin, lebih tepatnya berusaha membuat Sofia yakin. “Saya gak merasa sakit sama sekali, jadi gak perlu sampai harus ke rumah sakit.”

“Bohong, ah. Masa berdarah gini kamu bilang gak sakit?” Balas Sofia yang lebih terdengar seperti rengekan.

“Memang gak sakit, Sofia. Lagi pula, darah di kain ini sudah kering, bukan? Berarti pendarahannya memang sudah berhenti dan gak perlu kamu khawatirkan lagi.”

“Iya, sih,” lirih Sofia yang kembali meraba telapak tangan kiri Jayden. “Tapi serius kamu gak ngerasain sakit sama sekali?”

Jayden tidak menjawab, melainkan langsung menggenggam erat tangan Sofia dan menautkan jari-jarinya dengan jari-jari lentik gadis cantiknya tersebut. “Coba lihat,” ujar Jayden sembari mengusap perlahan punggung tangan Sofia menggunakan ibu jarinya.

“Jay …”

“If I can hold your hand tightly like this,” bisik Jayden dengan lembut sembari menatap Sofia dengan tatapan yang sulit Sofia artikan, “isn’t it obvious that I don’t feel any pain at all?”

Sofia hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya seperti orang bodoh setelah merasa bahwa dirinya tidak mampu lagi berpikir dengan jernih. Harapannya saat itu hanya lah satu, yaitu Jayden segera melepaskan genggaman tangan mereka yang ternyata mampu melumpuhkan fungsi otaknya hanya dalam hitungan detik.

Sayangnya, harapan Sofia seketika sirna setelah Jayden justru semakin mengeratkan genggaman tangan mereka, tanpa peduli bahwa tangannya saat itu baru saja terluka dan sedang terbalut oleh kain kasa. Saat lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau, Jayden pun lebih memilih untuk kembali menyetir menggunakan satu tangan dibandingkan melepaskan genggaman eratnya pada tangan Sofia.

“Jay,” cicit Sofia dengan tatapan yang terpaku pada genggangam tangan mereka.

“Hm?”

“Why don’t you let go of my hand?”

“Because I want to stop making you worry about me,” jawab Jayden yang kembali mengelus lembut punggung tangan Sofia menggunakan ibu jarinya, namun dengan pandangan yang masih berfokus pada badan jalan.

“Selain itu, tangan kamu juga terlalu dingin, Sofia. Bisa bahaya kalau lepas dari genggaman saya.”

--

--