Kain Kita pada PechaKucha Night Jakarta

Nurdiyansah Dalidjo
Kain Kita
Published in
4 min readMay 17, 2018

Ketika sebuah undangan datang melalui surel dari PechaKucha untuk Kain Kita, Cass (Cassandra Grant) dan saya langsung saling berkabar. Mereka (penyelenggara PechaKucha Night/PKN Jakarta) mengundang kami untuk mengisi acara PKN Jakarta Vol. 33 dengan tema “Made in Indonesia.”

Kain Kita pada PKN Jkt Vo. 33 dengan tema “Made in Indonesia.”

PKN adalah pertemuan yang dilakukan secara santai di mana orang-orang kreatif saling berkumpul dan berbagi ide, karya, pandangan, atau apa pun yang menginspirasi dalam format 20 x 20. Saat ini, PKN hadir di lebih dari seribu kota di dunia dan menjadi platform yang unik dalam menghidupkan kreativitas sebuah kota. Pada PKN Jakarta Vol. 33, selain Kain Kita, turut hadir sebagai pembicara adalah Bhimanto Suwastoyo (Wastra Indonesia), Dinny Jusuf (Toraja Melo), Annisa Hendrato (Noesa), Melia Winata (Du’ Anyam), Angga Dwimas Sasongko (Filosofi Kopi), dan Sweta Kartika (Ragasukma). Tiga narasumber pertama kami kenal karena memiliki kecintaan sama.

Kami sangat antusias menyambut PKN Jakarta Vol. 33 tersebut sebab itu menjadi kesempatan pertama bagi Kain Kita untuk berinteraksi langsung dengan publik. Kain Kita sendiri baru diawali pada Januari 2018. Saat ini kami baru menghadirkan platform melalui Medium (@kain.kita.indo) dan Instagram (@kain_kita) sambil mempersiapkan kelahiran Forum Kain Kita sebagai ruang diskusi dan bertemunya para penggiat kain di Jakarta.

“Diyan, apa kamu tahu aturannya?” tanya Cass.

Saya pernah menghadiri event PKN Jakarta sebelumnya. Dan itu membuat kami punya rasa yang campur aduk. Setiap pembicara yang hadir memang ditantang. Artinya, kami harus membuat 20 halaman presentasi yang hanya bisa dipaparkan dalam waktu 20 detik untuk setiap slide-nya. Meski kami akan melakukannya berdua, tetapi waktu yang kami punya tetap cuma sekitar 7 menit! Saya dan Cass sedikit deg-degan juga. Bahkan, untuk mempersiapkan paparan, kami meluangkan waktu berjumpa beberapa kali untuk mendiskusikan apa yang akan kami ulas dan pastinya menghitung berapa detik yang kira-kira akan terkuras.

Tepatnya jam 7 malam pada Jumat, 20 April 2018, PKN Jakarta Vol. 33 dilangsungkan di sebuah gedung di Kuningan. Sekitar 50 orang mengisi penuh kursi audiens. Sebagian besar dari mereka adalah anak muda. Ada wajah-wajah yang kami kenal, seperti beberapa kawan dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang turut hadir.

Cass memaparkan tentang hal-hal yang melatarbelakangi ide dan gerakan Kain Kita.

Saya dan Cass mengawali perkenalan yang super singkat tentang profil kami masing-masing. Kami sepakat berganti peran. Cass akan menjelaskan tentang latar belakang, misi, dan platform Kain Kita. Sementara saya, kebagian berbagi cerita tentang perjalanan mengunjungi penenun songket di Sumatera Barat, tepatnya di Silungkang dan Pandai Sikek beberapa tahun silam. Itu menjadi momentum bagi saya mengenal kain dan melihat lebih dalam sosok perempuan penenun dalam kesehariannya.

Saya berbagi cerita perjumpaan dengan para penenun songket di Sumatera Barat.

Bagi saya dan Cass, kain menjadi lebih dari sekadar helaian tekstil untuk pakaian. Tradisi kain — yang secara umum dikenal di Indonesia dan secara khusus memiliki nama-nama lokal yang berbeda di setiap tempat atau komunitas adat — merepresentasikan segala aspek kehidupan masyarakat adat, terutama perempuan adat. Adalah kain yang bisa dikatakan pula merekam perjuangan hak-hak (kolektif) perempuan adat. Kain menjadi wujud dari hak perempuan adat atas pengetahuan (motif, teknik, proses pembuatan, filosofi, dan fungsi kain); wilayah kelola (ladang/kebun kapas, pewarna alam, dan tempat di mana material kain bersumber); serta peran/otoritas tubuh dan diri perempuan adat di komunitasnya (kain sebagai bagian penting dalam setiap ritual dan melekat dalam keseharian hidup masyarakat adat).

Sesi panel diskusi yang dipandu oleh Wicaksono.
Berfoto bersama pada pembicara (dari sisi kiri secara berurutan): Angga Dwimas Sasongko, Cass, saya, Bhimanto Suwastoyo, Melia Winata, Dinny Jusuf, Annisa Hendrato, dan Ong Hock Chuan (Maverick Indonesia).

Malam itu, PKN Jakarta Vol. 33 berlangsung dengan meriah dan menyenangkan. Kawan-kawan pendukung Kain Kita juga datang. Kami berjumpa dengan banyak orang dengan beragam semangat dan kreativitas. Itu membuat kami punya banyak alasan untuk terus menggalang dukungan dalam upaya mendokumentasikan dan mempromosikan kain-kain di Nusantara. Siapa pun dapat bergabung bersama kami dan berbagi cerita tentang pengetahuan tentang kain dan pertemuan dengan penenun.

Saya dan Cass akan terus menghidupkan Kain Kita bersama banyak kawan!

Berfoto bersama kawan-kawan Kain Kita. Dari kiri adalah kawan Hiyashinta, Hiyashinta (Lamerenan), Feby Bramandewi (Ageman), Cass, Grace Susetyo, Nisa, dan saya.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Kain Kita

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah