ulisisme
11 min readJul 22, 2023

Jatuh Cinta Seperti di Drama Korea

Sumber: ist

Di dalam sebuah restoran mewah, seorang staf wanita sedang menyiapkan makan malam bersama bosnya. Sesekali mereka saling menatap, sambil membatin bahwa ada hal yang ingin mereka utarakan setelah makan malam ini.

Tapi suatu kejadian membuat alarm kebakaran berbunyi dan membuat alat penyiraman otomatis mengguyur seluruh tempat, termasuk mereka berdua.

Sang lelaki reflek mengangkat wanita ke meja, bertanya apakah ada yang terluka. Kemudian mereka tertawa di tengah kekacauan ini. Membawa mata mereka makin dekat, lebih dekat. Lelaki itu pun meminta izin untuk menciumnya. Si wanita mengangkat kepala sebagai jawaban.

TAP

Laptop yang sedari tadi ada di dada Jeni menutup dengan cukup keras. “sial” ucapnya.

Menurutnya kisah di drama King The Land yang baru saja ia tonton adalah cerita klasik yang berulang tapi tetap saja banyak yang menyukainya. Termasuk dirinya sendiri.

Tapi sepertinya kali ini ia agak kesal lantaran suasana hatinya yang berantakan. Pasca ditinggal, ralat, dighosting Ben, dia jadi agak sensitif dengan topik-topik percintaan.

“Kayaknya butuh rehat dulu dari genre romance,” katanya.

Jeni menyadari jam sudah menunjukkan pukul 01.00 pagi. Ini masih lebih awal, biasanya ia menyelesaikan tontonan jam 3 atau jam 4 pagi. Mungkin efek suasana hatinya yang sedang tidak baik-baik saja mempengaruhi mood menonton.

Pikirannya melayang pada adegan drakor yang barusan ia tonton. Menurutnya kisah romance di drakor selalu menyenangkan dan happy ending. Walau dalam perjalanannya ada benci jadi cinta, naksir naksir sebel, hingga berakhir bahagia selamanya.

“kenapa kisah cinta gue ga kayak di drama Korea sih,” ucapnya kesal.

Jeni menarik selimut bersiap untuk tidur. Ia besok punya janji untuk berjumpa dengan Laras.

Laras adalah sahabat Jeni dari masa kuliah. Meski sudah menikah dan memiliki anak, Laras masih menyempatkan diri bertemu Jeni untuk sekadar saling curhat (ghibah).

***

“kok sendiri, anak lo ga dibawa,” tanya Jeni saat Laras tiba.

“lagi sama mama di rumah. Gue lagi pengen ghibah dengan tenang juga” jawab Laras.

“pesen dulu deh”

Sikap Jeni yang tampak menghindari mata Laras seolah memberi tanda bahwa ia sedang ada masalah dan Laras paham akan hal itu.

“Lo kenapa”

“Ben.... ngilang”

“Ya udah cari yang lain”

“Ga gampang, males mulai lagi dari awal”

“Belom juga dicoba. Lagian kenapa ga perjuangin aja sih hubungan lo sama Ben, kan awalnya lo lost interest sama dia sampe akhirnya Ben capek dan ngilang. Pas dia ngilang malah lo galau gini”

“Dia bikin gue ilfeel. Typingnya kayak jamet, oblorannya bosenin, dia ga ngerti soal film, gitu lah pokonya”

“Lo tu gitu, selalu masalahin hal sepele. Lo juga harus sadar lo juga punya kekurangan yang mungkin bisa dia maklumin. Kalo gue liat, dia tu usaha banget biar bisa terus ngobrol sama lo, tapi lo nya aja yang ga interest sama hal apapun yang dia lakuin”

“Lo lagi nonton drakor apa”

Laras menghela napasnya karena Jeni mengalihkan pembicaraan.

“Tai banget sih, lagi ngomongin hal serius malah ganti topik drakor. Gue lagi nonton Celebrity” ucap Laras kesal.

Obrolan mereka pun berlanjut jadi seputar drakor yang sedang ditonton.

Namun sebenarnya, Jeni memikirkan ucapan Laras soal menerima kekurangan orang lain. Ia jadi mengingat bagaimana kisah percintaanya yang kebanyakan, hampir semua, berakhir buruk.

Satu waktu ia pernah berjumpa dengan seorang yang begitu ia dambakan, semuanya benar-benar sesuai dengan apa yang ia harapkan dan butuhkan. Tapi takdir tidak memihak, lelaki itu meninggal dunia karena kecelakaan.

Butuh waktu bagi Jeni untuk bisa menerima kenyataan bahwa memang ia tidak ditakdirkan bersama dengan kekasihnya itu. Ia menenggelamkan rasa dukanya pada kesendirian dan tontonan drama Korea. Laras lah orang yang dengan susah payah membujuk agar ia mau melanjutkan hidup, kembali membuka hati untuk orang yang baru. Sampai suatu hari Laras menikah, membuat Jeni sadar bahwa ia tidak punya sahabat lain. Pernikahan sahabatnya membuatnya sadar untuk melanjutkan hidup.

Sayangnya, tiap Jeni dekat dengan cowok ia tidak pernah bisa lepas dari bayang-bayang sang kekasih yang sudah tenang di alam sana. Ia menginginkan kesempurnaan, sosok Kapten Ri dalam Crash Landing on You, Hong Bajang dalam Hometown Cha Cha Cha, atau Lee Ik Jun dalam Hospital Playlist.

“ada ga sih yang kayak gitu” kata Jeni yang sebenarnya juga meragukan keyakinanya.

Usai dari pertemuan dengan Laras ia pun menuju studio foto tempatnya bekerja. Studio yang ia rintis sendiri itu kini dibantu 2 karyawan. Sebenarnya Jeni tidak perlu bekerja keras karena ia dari keluarga kaya. Tapi ia sadar, ada orang lain yang butuh gaji dari studio yang ia rintis ini.

Bel pintu masuk berbunyi menandakan ada pelanggan yang datang. Seorang lelaki berkaos hitam yang datang itu langsung menuju tempat Jeni duduk. Dalam bayangan Jeni, kehadirannya seperti adegan slow motion yang diiringi musik syahdu dengan angin yang mengibas rambut. Ditambah aroma Sauvage Dior tercium sejak kedatangannya.

“Permisi, mau ambil foto atas nama Mark”

Mark melambai-lambaikan tangan ke arah Jeni yang masih terpesona dengan kehadirannya.

“Eh, iya maaf,” ucap Jeni yang gugup.

Jeni pun segera mencari pesanan yang dimaksud dan memeriksa apakah foto yang dimaksud memang benar milik lelaki itu.

“Yang ini ya fotonya”. Terlihat foto Mark bersama seorang kakek terlihat sangat akrab.

“Iya. Makasih ya”

Usai mengambil pesanannya Mark langsung pergi. Jeni yang masih setengah sadar langsung memegang dadanya yang berdegup kencang.

“Wangi banget” katanya pelan.

Belum lama Mark kembali lagi.

“Kenapa? Ada yang ketinggalan?” tanya Jeni.

“Mau nanya sesuatu. Lo yang punya tempat ini?”

“Iya”

“Bisa motret donk. Mau ga bantuin project gue”

“Project apa? Kapan? Dimana?”

“Wow banyak ya pertanyaanya. Gue lagi bikin film pendek sih, jadi butuh fotograper buat behind the scene. Cuma sehari kok tempatnya di Cafe Seduh. Hari Rabu depan”

“Gue liat jadwal gue dulu yah”

“Oh iya, gue Mark”

“Jeni”

Mereka pun saling bertukar kontak untuk membicarakan kelanjutan projectnya nanti. Jeni masih senyum-senyum sendiri dengan “teman” barunya itu.

“Apakah ini tanda dari semesta bahwa mungkin dia bakal jadi jodoh gue” batinnya.

Mark yang wangi itu pun terus berputar-putar dalam kepala Jeni. Ia pun seolah tidak sabar untuk menceritakan pada Laras tentang hal menarik yang baru ia alami.

“Sabar bego, lo mah apa-apa suka ngegas banget. Ntar kehabisan bensin duluan malah kejadiannya kayak yang udah-udah,” respon Laras saat Jeni cerita via telpon.

“Ya gimana donk, dia wangi soalnya, kan gue pengen deket-deket terus jadinya”

“Coba kalo kenalan sama orang baru tuh lo setting di kepala tu sebagai temen dulu. Siapa pun itu, mau cewek mau cowok. Hal pertama tu lo harus bisa temenan dulu. Supaya kalo ga sesuai sama kriteria cowok idaman lo, ga bikin lo kecewa trus lo bosen, lo nyebelin jadinya”

“Hmm okey”

“Lo mah ok ok aja, dilakuin juga ngga”

“Dilakuin kali ini, Laras”

“Udah ya, anak gue lagi berak. Mau nyebokin dulu”

***

Butuh waktu dua hari bagi Jeni untuk memberikan jawaban pada Mark. Ini juga karena dirinya berusaha untuk menahan diri. Jeni sebenarnya punya banyak waktu kosong tapi ia mengingat kata-kata Laras untuk take it slow, jadi dia pun mencobanya, walau berat.

Hari yang dinanti Jeni pun tiba. Ia semprotkan Parfum Coco Chanel andalannya di titik nadi. Headset terpasang di telinga. Lagu Crazy Over You – BLACKPINK menggema. Dengan motor scoopy andalannya ia menuju Cafe Seduh.

Sepanjang jalan ia sudah merapalkan mantra “tenang, tenang, tenang” agar ketika berjumpa Mark ia tidak terlalu brutal. Tapi tetap saja, clumsy adalah nama tengah Jeni. Ketika sampai di tempat, Mark menghampiri.

Aroma Sauvage Dior sampai di indra penciumannya. Walau belum melihat ke arah Mark, ia tahu bahwa Mark ada di dekatnya.

“Susah ga nyari tempatnya?” tanya Mark sambil jalan menuju dalam cafe.

“Gampang kok, pernah ke sini soalnya” jawab Jeni dengan mencoba kalem dan pura-pura tenang.

“Nanti lo bebas aja ya mau ambil foto yang kayak gimana asal ga masuk adegan aja. Pokonya tentang behind the scene proses film ini”

Jeni mengangguk tanda ia paham walau sebenarnya ia setengah sadar. Ia masih menata degup jantungnya yang berdetak begitu kencang.

Selama proses memotret ia mencoba untuk fokus. Walau sekali-kali matanya tertuju pada Mark. Lelaki wangi itu makin terlihat mempesona kala fokus mendirect film pendeknya.

Tiga jam berlalu. Proses pengambilan adegan telah selesai. Jeni menunggu Mark yang sedang mengobrol dengan temannya.

“Sorry lama”

“Eh iya santai”

Mark memberikan mineral pada Jeni dengan membukakan tutup botolnya. Yang entah bagaimana, hal kecil ini makin membuat Jeni tergila-gila pada Mark.

“Abis ini mau kemana”

“Ga ada rencana lagi sih. Kayaknya pulang mau lanjut nonton drakor”

“Haha mau makan dulu ga. Di sini aja sih, soalnya agak ribet kalo harus pergi lagi. Tapi kalo lo punya rekomendasi tempat makan lain juga boleh”

“Di sini aja, nasi gorengnya enak”.

“Gue keluar bentar ya, mau ngerokok. Minta tolong pesenin menu yang sama aja kayak lo”

Jeni mengangguk mempersilahkan. Posisi Jeni yang duduk dekat jendela membuatnya tetap bisa melihat Mark yang duduk di depan jendela tersebut. Saat Mark membelakanginya, ini membuatnya bisa lebih leluasa menatap Mark walau dari belakang.

Jeni yang gampang ilfeel dengan orang ini merasa belum menemukan kekurangan dari Mark. Ntah memang belum menemukan atau rasa sukanya yang terlampau besar menutupi kekurangan lelaki wangi itu.

Saat makanan tiba, Mark juga kembali karena sudah menghabiskan sebatang rokok. Obrolan berjalan santai dan mengalir walau sebenarnya Jeni bukan orang yang jago mengobrol dengan orang baru juga, tapi Mark mampu membuat Jeni terus berceloteh.

“Gue ga nyangka lo suka drakor juga”

“Kenapa, karna gue cowok? Kan drakor banyak action juga. Kayak Vagabond, Black Knight, Squid Game, ya yang gitu-gitu lah yang gue tonton”

Mark yang ternyata suka drakor makin membuat Jeni tergila-gila. Kadang Jeni bisa mengontrol diri untuk stay calm, tapi kadang dia lupa diri dan mengeluarkan sisi liarnya. Saat-saat seperti itu justru membuat Mark tertawa karna melihat tingkah Jeni yang bisa tiba-tiba gila.

“Gue boleh nanya sesuatu ga” ucap Jeni.

“Lo ngomong gini kayak mau confess perasaan lo tau ga sih. Ya tanya aja langsung”

“Haha gue mau nanya waktu lo foto di studio gue itu sama siapa, kenapa cuma berdua doang”

“Oh itu kakek gue. Ya pengen aja punya foto berdua. Tadinya pengen bertiga kan sama nenek juga tapi nenek gue udah meninggal. Jadi ya sama kakek gue aja”

“Sorry”

“It’s ok. Gue di sini tinggal sama kakek gue. Bulan depan udah balik lagi ke kota J”

“Lo bukan orang sini?”

“Bukan”

Seketika harapan yang Jeni bangun sejak pertemuan pertama itu runtuh seketika. Ia bukan orang yang suka menjalani hubungan jarak jauh. Ketika ia tahu orang yang dia suka tinggal beda kota dengannya, ia jadi hilang arah.

“Kan udah gue bilang temenan dulu. Harapan lo kan yang ngancurin diri lo sendiri” cecar Laras saat mendengar curhatan Jeni.

“Yang namanya perasaan cinta mana bisa gue kontrol, Ras”

“Lo bukan cinta, lo tu Cuma penasaran. Dia masih di sini sebulan lagi, jadi manfaatin buat jadi temen lo selama sebulan”

“Udah males gue”

“Tuh balik lagi kan lo jadi nyebelin. Ngegas diawal doang. Gue minta lo temanan sama Mark bukan kawin sekarang juga”

“Iya dah”

***

Jeni masih merenungi ucapan Mark yang akan pulang ke kotanya bulan depan. Ia menikmati obrolan terakhir saat di Cafe Seduh tempo hari. Ia ingin itu berjalan seterusnya tapi ia sadar itu mustahil.

Mark mengirim pesan untuk mengajak Jeni bertemu. Tapi Jeni memberi alasan karena menurutnya ia perlu menetralisir perasaanya terlebih dulu.

Dua kali Jeni menolak ajakan Mark. Jeni pun menyibukkan diri di studio walau hanya membersihkan peralatan.

Tiba-tiba aroma Sauvage Dior menyapa indra penciumannya. Walau ia tahu siapa yang datang, jelas ia tidak siap dengan kedatangannya.

“Hai Jen”

“Hai” balas Jeni pura-pura santai walau sebenarnya gugup.

“Apa kabar”

“Gini-gini aja”

“Gue mau minta temenin hunting foto bisa ga”

“Ga bisa, gue sibuk” jawab Jeni cepat.

“Gue liat lo lagi ga ngapa-ngapain”

“Gue sibuk bernapas, berkedip” ucap Jeni sambil membesar-besarkan tarikan napasnya dan kedipan matanya.

Jelas tingkah Jeni membuat Mark tertawa.

“Mau ya” tanya Mark lagi dengan suara memohon.

Jeni jelas terhipnotis dengan perlakuan Mark. Seketika ia mengangguk.

Walau sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak jatuh cinta, nyatanya Jeni tetap terperangkap juga. Perlakuan Mark yang manis plus aroma Mark yang wangi, membuat Jeni tidak bisa bilang tidak untuk permintaan Mark.

Laras seolah jadi bodyguard bagi Jeni untuk selalu mengigatkan bahwa Mark hanya teman, jadi jangan terlalu bilang “iya” untuk apapun yang Mark mau.

“Ya lo tetep lakuin kerjaan lo, lah. Tetep kayak biasanya aja. Inget, dia tu Cuma turis di sini, sewaktu-waktu bisa pergi. Jangan sampe ketika dia pergi ninggalin lo dengan luka” kata Laras mengingatkan Jeni.

Jeni berusaha untuk tetap waras dengan melakukan apapun yang ia suka. Nonton, baca, bersepeda, kerja. Tetap saja pikirannya tertuju pada Mark. Mark yang begitu. Mark yang begitu. Mark. Mark. Mark.

“AAARGGGHHH”

Teriakan Jeni mengejutkan Laras yang sedang menina-bobo-kan anaknya. Laras melempar boneka yang dekat dengan tangannya ke arah Jeni. Beruntung anak Laras tidak terbangun karena teriakan Jeni.

Jeni pun menunggu di ruang tengah sambil menonton drama Celebrity yang sedang ditonton Laras.

“Kok lo nonton ini ga kelar-kelar sih. Kan Cuma 8 episode”

“Gue kan udah punya anak. Sehari satu episode aja belum tentu kelar”

Alasan Jeni mengunjungi rumah Laras tentu saja untuk menghindari Mark. Ia sangat ingin terus berada di dekat Mark.

“Meskipun lo udah tau ujung ceritanya bakal ga bareng. Bukan berarti lo harus nyiksa diri kayak gini. Lo harus nikmati prosesnya, rasa senengnya waktu bareng Mark. Udah lama kan ga ngerasain kupu-kupu di perut berterbangan. Seengganya ini bikin lo sadar kalo jatuh cinta lagi tu ga seburuk yang lo kira”

“Menurut lo gue harus confess perasaan gue ga”

“Meskipun gue bilang ngga, emang lo bakal nurut”

Jeni nyengir mendengar jawaban dari Laras. Ia sebenarnya masih ragu dengan rencananya. Apakah ia akan mengungkapkan perasaanya atau tidak. Yang jelas ia tahu ujungnya, tidak bisa bersama.

***

Hari lainnya Jeni dan Mark bersama. Jeni ingin lebih bisa menikmati tiap momen bersama Mark-nya. Obrolan mereka yang makin mendalam tentang kehidupan satu sama lain. Termasuk tentang kehidupan percintaan masing-masing.

“Love language lo apa” tanya Mark.

“Hmm, physical touch, quality time, sama uang satu milyar”

Lagi-lagi jawaban Jeni membuat Mark terbahak.

“Kalo lo apa”

“Gue sama deh kayak lo”

“Ih ikut-ikutan”

“Emang beneran, love language gue tu physical touch sama quality time, sama uang satu milyar juga, haha”

“Berati ga bisa donk kalo LDR”

“Hmm ga bisa. Gue ga pernah LDR”

“Kalo lo udah pulang nanti. Lo bakal sering ke sini ga sih” tanya Jeni ragu.

“Ga tau ya. Ada banyak hal yang harus gue urus di sana. Tapi lebih ke kerjaan sih, mau focus buat bikin PH sendiri dulu kan”

Jawaban dari Mark membuat Jeni makin yakin, bahwa ia tidak mungkin bersama dengan Mark.

***

Saat hari perpisahan tiba, Jeni mengantar Mark ke bandara dengan motor scoopynya. Setelah bergelut dengan perasaanya, dia memutuskan untuk confess perasaanya pada Mark ketika diperjalanan. Ia mendekatkan diri ke bahu Mark agar lelaki itu bisa mendengar ucapannya, disamping ia juga ingin menghirup aroma Mark yang wangi.

“Mark gue mau ngomong”

“Ngomong aja, Jen”

“Gue...seneng sebulan ini bisa deket sama lo, jadi temen lo, dengerin cerita lo. Gue suka...aroma parfum lo. Gue suka tiap lo bukain minum buat gue. Gue rasa...gue sayang sama lo, Mark”

...

“Jen, gue ga denger lo ngomong apa. Gue Cuma denger suara angin”

Jeni menggeplak helm Mark. Ia pun langsung bete seketika. Jeni pun memutuskan untuk diam sepanjang perjalanan. Walau sebenarnya dia antara seneng dan sedih. Seneng karena Mark ga denger jadi dia ga perlu malu, sedih juga karena Mark ga tau perasaanya yang sebenernya.

Ketika sampai bandara, mereka masih saling diam hingga ke depan pintu keberangkatan. Makin lama perasaan Jeni makin berat. Ia sedih karena harus berpisah dengan Mark.

“Haus ga” suara Mark memecah keheningan diantara keduanya. Mark membukakan botol mineral dan memberikan pada Jeni.

“Iya makasih” Jeni meminum air pemberian Mark.

“Gue juga”

Jeni pun memberikan botol minum itu pada Mark.

“Gue juga, Jen”

“Ya ini minum, lo juga haus kan”

“Bukan, omongan lo tadi di motor, gue juga sayang sama lo”

Jeni masih terdiam kala Mark bilang ia mendengar ucapannya tadi di Motor. Rasa malunya kini menjalar ke seluruh tubuh. Ia dapat merasakan wajahnya memerah.

“Tadi lo bilang ga denger”

“Denger. Tapi tadi ga tau mau jawab apa. Ga expect lo bakal ngomong gitu. Bukan lo doang yang ngerasain, gue juga. Tapi gue sadar saat ini kita ga ke arah yang sama”

“Iya. Makasih ya”

“Buat apa”

“Jujur sama perasaan lo”

“Iya makasih juga lo udah jujur. Pasti berat banget ya buat orang gengsian kayak lo bilang sayang duluan”

“Haha”

“Pamit ya”

“Iya hati-hati di jalan. Sampe ketemu lagi”

Keduanya menatap satu sama lain. Tanpa aba-aba tangan keduanya bergerak, tangan Jeni menuju tengkuk Mark untuk mempersempit jarak mereka. Mark memeluk pinggang Jeni erat. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh. Kepala keduanya saling terbenam di ceruk leher satu sama lain. Saling menghirup aroma tubuh yang suatu saat mereka akan rindukan.

Pelukan yang bertahan beberapa detik itu terlepas. Mark menjauh tanpa melihat mata Jeni lagi. Jeni menatap punggung Mark sampai ia hilang dari pandangan.

Ia pun kembali dengan perasaan yang campur aduk. Jeni ingin bercerita ke Laras, tapi rasanya ia ingin sendiri dulu saat ini. Di perjalanan pulang, tidak terasa air matanya mengalir. Entah karena lagu This Life – Mun Seongnam yang tanpa sengaja terputar atau memang kepedihan dalam dirinya.

“Anjir kenapa cerita gue endingnya kayak Dokter Cha. Gue masih ga punya pasangan sampe ending cerita ini”

DJB, 22/7/2023