Siapa yang Tidak Mau Menjadi Cantik?

Kompleksitas gagasan akan kecantikan menenggelamkan banyak perempuan dalam arus obsesi tak berujung

On Women Indonesia
7 min readMay 7, 2019
Sumber

“…and say what your beauty means to you or your plainness, and what is your relation to the ever-changing and turning world of gloves and shoes…”

Saya tidak sedang membuat pertanyaan retorik, tetapi menolak pertanyaan ‘siapa yang tidak ingin menjadi cantik?’ adalah pengabaian yang dipaksakan.

Mari, mengakui bahwa memiliki struktur wajah yang tidak proporsional, kulit gelap atau tubuh gempal adalah gambaran yang kurang diharapkan. Sebaliknya, di Indonesia — yang penuh dengan netizen nyinyir — setidaknya sabar-sabar saja jika terlanjur memiliki fitur-fitur yang dianggap ‘tidak ideal’ tersebut.

“Sis, kulit kamu iteman banget! Mohon agar supaya mandi…”

Virginia Woolf, dalam sebuah esai berjudul A Room of One’s Own (1929), sudah jauh dahulu menyentil perempuan untuk mempertimbangkan kutipan pembuka di atas.

Bukan tanpa sebab — dunia semakin kompleks — dan rasa-rasanya perempuan ‘dididik’ untuk bersenang-senang saja dengan gempuran visual. Menterengnya industri kecantikan pun kemudian bertindak sebagai ‘ibu asuh’ yang memungkinkan segala hal.

Sumber

Surabhi (2011) dalam Womanatics membuat artikel tentang mengapa perempuan terobsesi dengan standar kecantikan. Setidaknya, terdapat tiga alasan mengapa perempuan tidak bisa menjejakkan kaki di luar lingkaran obsesi tersebut.

Pertama, industri kecantikan tidak sama sekali menginginkan perempuan untuk puas dengan penampilan mereka.

Kedua, perempuan hidup dengan berbagai penilaian dari orang lain, termasuk perempuan juga.

Ketiga, sebagian perempuan sangat kabur dengan tujuan hidup mereka sehingga lebih berfokus pada penampilan fisik.

Banyak perempuan mungkin menganggap bahwa memenuhi ekspektasi budaya tentang penampilan adalah hal yang melelahkan sekaligus mengeruk uang, ancaman terhadap kondisi fisik maupun kesejahteraan psikologis, dan juga berbagai diskriminasi di tempat kerja.

Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa mengejar kecantikan adalah kesenangan tersendiri dan pilihan setiap orang — bagus lagi untuk menunjukkan identitas budaya (Rhode, 2016).

Namun, apakah persoalan “menjadi cantik” ini tidak bisa dikembangkan ke dalam pemahaman bersama? Alih-alih mendikte perempuan, standar kecantikan justru harus kembali dipertanyakan.

Bagaimana Rasanya Menjadi Cantik?

Sumber

Sejarah jujur sekali memotret perempuan dalam fitur-fitur ‘ideal’ yang mendefinisikan apakah perempuan dapat dikatakan cantik atau tidak. Rekaman kronologis menunjukkan bahwa fitur-fitur tersebut berbeda dari waktu ke waktu.

Latarbelakang sosio-historis dianggap determinan utama untuk menentukan idealnya perempuan dari bentuk tubuh, struktur wajah, warna kulit dan lain-lain.

Misalnya saja, lukisan pertama di atas adalah penggambaran gagasan tentang perempuan cantik di zaman Mesir Kuno. Tubuh ramping, berkulit terang keemasan ataupun rambut gelap akan dianggap ideal. Gagasan ini tentu berbeda dengan pada masa pra-sejarah yang mengidealkan bahwa perempuan dengan tubuh berisi (healthy) sebagai perempuan cantik.

Di Indonesia sendiri pun, gagasan akan standar kecantikan sangat beragam tergantung sosial-budaya. Suku Dayak, misalnya, menganggap bahwa anting telinga memanjang, dikenal dengan istilah Telingaan Aruu, merupakan identitas kelas dalam budaya sekaligus menambah gagasan cantik kepada pemakainya.

Sumber

Tidak terlepas dari pengaruh tersebut, standar kecantikan adalah serangkaian simbol yang diakui secara universal tentang potret kesuburan dan sensualitas perempuan. Tulisan dari Kalsey-Sugg (2018) dalam laman ABC mengungkapkan bahwa daya tarik fisik seseorang adalah salah satu keunggulan evolusi.

Biologi evolusioner mengaminkan dengan istilah kualitas genetika. Kerangka biologi tersebut kemudian mewajarkan bahwa seseorang akan cenderung mengejar partner yang dipersepsikan ‘cantik’.

Artikel berjudul Survival the prettiest: the mysterious power of attractive people (2016) yang diterbitkan dalam MacLean juga mengungkapkan hal serupa. Teori seleksi alam membuka peluang orang-orang dengan daya tarik fisik sebagai pemenang dengan berbagai kemudahan dalam hidup. Memiliki pasangan, banyak anak maupun pekerjaan yang menjanjikan.

Dalam banyak hal, penampilan mereka menjadi simbol kesehatan fisik maupun mental — yang secara alamiah membuat kita ingin dekat dengan mereka — atau membuat mereka lebih dipertimbangkan sebagai pemimpin. Semata-mata untuk melestarikan spesies.

Artikel lain berjudul The surprising power of a beautiful face (2014) dalam Psychology Today juga menguatkan pernyataan di atas. Kesan positif yang ditimbulkan dari penampilan mengindikasikan persepsi terhadap karakter seseorang.

Daya tarik fisik juga memiliki efek domino terhadap persepsi untuk dianggap lebih ‘pintar’, lebih ‘murah hati’ ataupun ‘dapat dipercaya’. Stereotipe yang muncul adalah ‘mereka yang indah itu baik’. Dan, persepsi itu bertolakbelakang dengan mereka yang dianggap “kurang menarik” sehingga berujung pada diskriminasi dalam berbagai bidang, seperti di dunia pendidikan dan tempat kerja.

Pada konteks perempuan, keunggulan fisik memiliki keistimewaan tambahan. Dilansir dari artikel dari The Huffington Post (2017), kecantikan perempuan adalah sumber kekuatan, kebahagiaan dan kebebasan.

Kecantikan menjadi bagian dari konsep diri dan dianggap sebagai aset sosial tinggi yang memengaruhi penerimaan sosial. Keunggulan menjadi cantik di sini adalah sebuah kebenaran yang sulit ditolak.

Keunggulan menjadi cantik menjadi kebenaran yang sulit ditolak.

Citra Tubuh, Kapitalisme dan Hegemoni Media

Persoalan cantik sebenarnya tidak melulu harus menjadi keributan. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa kecantikan sifatnya relatif tergantung selera maupun budaya. Tipe maupun kualitas tersebut kadangkala ditentukan masing-masing orang. Cantik adalah “tergantung yang melihat”.

Dalam sebuah riset yang dipublikasikan tahun 2015, terdapat kesimpulan yang menyiratkan bahwa kecantikan tergantung preferensi atau pilihan seseorang. Preferensi tersebut berkembang dari pengalaman seseorang yang hadir dari lingkungan mereka.

Misalnya, dalam sebuah artikel di Business Insider (2017), Lebowitz mengungkapkan bahwa kecantikan ditentukan oleh kelas sosial. Seseorang dengan status sosio-ekonomi rendah lebih cenderung menyukai kecantikan dengan standar “tubuh yang lebih berisi”, begitupun sebaliknya.

Namun, kecantikan di atas pun bersifat diskriminatif. Ada anggapan bahwa penampilan merefleksikan privilese kelas. Standar kecantikan saat ini melemahkan perempuan yang dianggap tidak memiliki sumber daya untuk berinvestasi pada kecantikan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah dan minoritas di atas memiliki postur tubuh yang tidak proporsional sehingga menegaskan bukti bahwa “”kemiskinan menggemukkan”.

Belum lagi, landasan biologi evolusioner menyatakan kecantikan adalah sesuatu yang sifatnya higly-sex typical dengan pengaruh hormon-hormon seksual. Tidak semua perempuan diberkati dengan bawaan gen tersebut.

Dengan situasi bahwa tidak semua orang mampu memenuhi kualitas tersebut bagi dirinya sendiri atau masyarakat, perempuan kemudian terobsesi mengoreksi tubuhnya untuk lebih diterima sebagai seseorang “yang berharga”.

Obsesi di atas juga tidak dilepaskan oleh pengaruh industri kecantikan dan media. Naomi Wolf, dalam The Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women (1991), menyindir bahwa standar kecantikan saat ini menjadi semacam mata uang yang dipengaruhi oleh politik dan ekonomi.

Kecantikan semakin mengokohkan dominasi patriarki — dan bahkan mengundang kapitalisme untuk berjalan beriringan dalam rangka menundukkan perempuan sekaligus uang mereka.

Perempuan dalam masyarakat kita dipaksa untuk berkompetisi demi penerimaan laki-laki, diperbudak dengan standar kecantikan yang tidak masuk akal — dan sayangnya, perempuan melihat kondisi itu sebagai sesuatu yang serius. Seolah-olah seluruh tubuh perempuan adalah potongan bagian yang perlu diperbaiki.

Sumber

Industri kecantikan kemudian menciptakan mitos-mitos kecantikan yang menyerang perempuan. Misalnya, produk skin-care, produk diet, operasi plastik, maupun layanan perawatan lainnya, yang dicitrakan dapat mengabulkan keinginan perempuan untuk memenuhi mitos tersebut dengan hanya membelinya.

Rhode (2016) juga menegaskan bahwa tekanan pasar melenakan. Stigma produk kecantikan telah terkikis — bukan lagi telah melunturkan kesucian, tetapi lebih sebagai bentuk ekspresi diri, emansipasi dan juga sebagai alat untuk masuk ke pasar pernikahan. Zelda Fitzgerald lebih dahulu menyebutnya dengan “kompetitor sukses dalam permainan hidup”.

Mungkinkah Meredefinisi Cantik?

Standar kecantikan dan perempuan seperti rantai yang saling mengejar. Preferensi tentang kecantikan menjadi momok bagi perempuan sekaligus menanamkan insekuritas. Citra tubuh bukan lagi tentang perempuan menilai dirinya — tetapi lebih bagaimana orang lain menilai mereka.

Bahkan, tubuh mereka adalah alat untuk menghukum orang lain dengan cara menaklukkan dan mengelompokkan mereka berdasarkan kemampuan memenuhi kualitas kecantikan yang diidealkan.

Mitos “ideal” tersebut menimbulkan biaya yang besar — bukan hanya tentang uang, tetapi juga psikologis. Ada serangan yang menanamkan “rasa tidak layak” maupun “tidak nyaman” pada diri perempuan. Perhatian yang berlebihan terhadap penampilan berujung pada depresi, kecemasan dan rasa rendah diri (Puhl & Brownwell, 2006).

Ada serangan yang menanamkan “rasa tidak layak” maupun “tidak nyaman” pada diri perempuan.

Situasi di atas akan tetap menjadi korosif ketika siapapun tak berani melepaskan standar kecantikan pada perempuan. Perlu banyak digali bahwa kecantikan sangat bervariasi di setiap orang, kondisi sosial budaya, atau bahkan negara. Kecantikan merefleksikan ras, etnisitas, usia maupun ukuran tubuh. Dan, kecantikan ideal bukanlah sesuatu yang harus dilebih-lebihkan. Apalagi, sampai menjadi dasar penilaian terhadap kompetensi maupun pencapaian seseorang.

Sumber

Variasi tersebut harus dirayakan untuk mendorong setiap perempuan menjadi dirinya sendirinya dan lebih percaya diri. Hal tersebut juga dapat dimulai dengan lepasnya diskriminasi berdasarkan penampilan di berbagai sektor, baik di dunia pendidikan maupun pekerjaan.

Hal yang lebih penting lagi adalah perempuan harus mendobrak dan menolak mitos kecantikan. Kita dapat mengedukasi diri sendiri dan orang lain mengenai risiko-risiko produk kecantikan dan mengurangi paparan produk tersebut ke tubuh — apalagi dari hegemoni media.

Alih-alih mengabaikan, para perempuan dapat saling menguatkan satu sama lain. Mereka dapat mengembangkan cara mengkomunikasikan hal ini dengan baik untuk meredefinisi kembali “menjadi cantik” bagi mereka. Tentu, untuk merumuskan identitas dan peluang bersama sebagai seorang perempuan sepenuhnya.

Tulisan ini disalin ulang dari https://medium.com/@ntriwhy/ dan berbagai saduran dari post On Women Indonesia

--

--

On Women Indonesia

Wadah kajian dan edukasi gender | Narasi-narasi “perempuan” dan “berkeadilan” | Instagram: @onwomen.id