Notasi Harian Gaza

LEA
6 min readFeb 10, 2024

--

1. Gaza dan Bincang-Bincang Santai dengan Sang Bunda Malam Itu

Malam ini, secara mendadak, Gaza memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Alasannya cukup sederhana: untuk membuat bubur dan berangkat bersama dengan Ran esok hari. Tentu saja begitu dirinya memberitahukan hal tersebut, ia langsung mendapatkan cemoohan dari teman karib sekaligus teman kostannya. Siapa lagi jika bukan Fazli dan Liel.

Di hari-hari biasa, tingkah kedua orang itu memang selalu saja menguji kesabaran Gaza yang tidak lebih tipis dari sebuah tisu.

“Gaza masak buburnya buat Ran?”

“Enggak juga.” laki-laki itu masih setia mengaduk bubur yang berada dalam panci yang sebentar lagi hampir matang. Meskipun malam sudah sedikit larut dan langit di luar sana sudah gelap gulita, mata Gaza masih tejaga dengan sempurna tanpa rasa kantuk sedikit pun. “Beberapa hari ini Gaza lagi mau masak, tapi enggak tau apa yang harus Gaza masak. Ditambah Gaza bosen beli sarapan, makan siang, sama makan malem yang gitu-gitu aja. Rasanya itu lagi, itu-itu lagi.”

Bunda Gaza hanya mengangguk merespon jawaban anaknya itu.

Lalu timbul senyum tipis di wajahnya.

“Buburnya udah mateng. Bunda mau makan? Gaza bikinnya lumayan banyak, sih. Maksudnya gak cuman satu atau dua porsi aja.” terangnya sambil melihat ke arah sang Bunda yang sedang duduk di kursi meja makan sambil memperhatikannya. “Jangan ngeliatin gituuu. Enak kok rasanya.” lanjut laki-laki itu bersamaan dengan cengiran khasnya.

Wanita itu beranjak dari tempat ia duduk. Dan kini sudah berdiri di sebelah Gaza untuk membantu mengambil mangkuk yang tersimpan di dalam lemari kabinet. Baru sempat menyentuh pegangan untuk membuka kabinet tersebut, Gaza malah menahan tangannya, “Gak apa-apa, sama Gaza aja. Bunda duduk aja.”

“Gaza.”

“Ya?”

“Padahal enggak apa-apa kalau Gaza bikin bubur cuman buat Ran aja.“

Gaza tidak langsung merespon kalimat yang terlontar dari mulut bundanya. Ia masih diam sambil menuangkan bubur yang berada di dalam panci ke dalam dua buah mangkuk secara sama rata. Setelah itu, Gaza menaruhnya di atas meja makan, lengkap bersama perintilannya seperti sendok dan gelas berisi air putih.

Laki-laki itu kemudian kembali ke tempat semula untuk membersihkan dapur yang ia gunakan untuk masak barusan. Gaza tidak bisa melihat dapur bersih di rumahnya dalam keadaan kacau dan tidak berseka seperti sekarang. Sangat tidak enak dipandang menurutnya. Soalnya kacaunya seperti telah terjadi pertempuran, pertempuran dengan alat-alat memasak lebih tepatnya.

Gaza memang bukan orang yang rajin bersih-bersih, tetapi ia bukan tipikal orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Jadi, sebelum makin malas mending langsung saja ia bereskan.

Beberapa menit berlalu dan kini laki-laki itu duduk manis berhadapan dengan sang bunda sambil meregangkan badan dan tangannya. “Soal yang tadi… ya, sebenernya itu juga salah satu alesannya Gaza bikin bubur malem ini. Tapi, selain itu kalau masih bisa masak buat orang-orang di rumah juga kenapa enggak?” ujarnya sambil menyuapkkan satu sendok bubur yang baru matang dari sebuah mangkok porselen berwarna putih gading yang mengeluarkan kepulan asap berwarna putih.

Lagi-lagi wanita di depannya itu tersenyum kecil mendengar jawaban anaknya.

Bagaimana mendengar jawaban anaknya yang ternyata masih tetap ingat dengan orang-orang di rumah bahkan hanya untuk hal yang sepele.

Enak enggak bubur buatan Gaza?”

“Enak. Masakkan Gaza gak pernah gak enak.”

“Bohong, ah!”

“Beneran.”

Setelahnya, ibu dan anak itu saling diam untuk menikmati makanannya masing-masing. Sampai bunda Gaza selesai menghabiskan bubur yang ada di mangkoknya. “Gaza sayang sama Ran?” Gaza yang baru saja menelan suapan bubur terakhirnya, sedikit tersentak mendengar pertanyaan bundanya. Ia tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu seperti apa. Dan tiba-tiba saja suasana di ruang makan menjadi sedikit kikuk.

“Iya… ya… iya. Gitulah…” ia menjawabnya dengan nada canggung sambil memegang tengkuknya. Sedikit cengiran juga terdengar di akhir kata yang ia ucapkan. Gaza benar-benar tidak tahu harus menjawabnya seperti apa. Apalagi yang bertanya langsung adalah bundanya.

Begitu mendengar respon yang keluar dari mulut anaknya, wanita itu terkekeh seraya menaruh sendok yang ia gengam sebelumnya kembali ke dalam mangkok, “Gak usah malu-malu gitu deh ngejawabnya. Sok imut kamu.” Gaza yang mendengarnya langsung mengerucutkan bibirnya saat itu juga.

“Kalau gitu dijaga, ya. Anak orang jangan dibawa ke jalan yang enggak bener. Jangan dikasarin, apalagi dijahatin. Inget, loh, ya.”

“Iyaa.”

“Sebenernya Bunda gak usah ngasih tau ini, sih. Soalnya pasti kamu udah ngerti. Bunda cuman mau ngingetin doang, jangan lupa juga antara pacaran sama akademiknya harus balance. Biar Gaza gak ngerasa nyesel aja waktu merenung. Semangat anak Bunda!”

Malam itu, setelah selesai makan bubur yang ia buat sendiri, ruang makan diisi oleh obrolan-obrolan yang tak menentu arahnya. Seperti jalan raya dengan mobil-mobil yang semrawut barisannya. Apa saja yang sedang terlintas dalam pikiran, semuanya diceritakan. Si anak banyak cerita mengenai berbagai hal termasuk mimpinya. Sementara sang Ibu, sesekali meresponnya dengan kekehan, gurauan, dan sedikit nasihat.

2. Perdebatan Paper Bag Burgundy dan Bubur di Pagi Hari

Setelah sampai di parkiran kampus, Gaza mengisyaratkan supaya perempuan itu tidak langsung turun dari mobil. Lalu, dirinya berjalan keluar, membuka bagasi, mengambil beberapa barang yang bisa Ran lihat sepertinya adalah sebuah kotak makan bundar yang terbuat dari bahan stainless steel dan sebuah paper bag berwarna merah burgundy. Kemudian, laki-laki itu melangkahkan kakinya lagi untuk masuk ke dalam mobil.

Suasana hati Gaza hari ini sedang bagus, bak mentari di pagi hari. Hal ini terbukti melalui sebuah lengkungan tipis yang sedari tadi selalu tampak di wajahnya seakan tidak pernah luntur. Senyumnya semakin lebar saat memberikan paper bag tersebut kepada perempuan di sebelahnya. “Ini buat lo. Yang gue bilang di chat semalem. Rencananya mau ngasih ini kemaren, tapi sayang banget ternyata enggak ketemu lo seharian.”

“Terus baru tau lagi ternyata pacar gue lagi sakit. Haduh, enggak diingetin buat jaga kesehatan sebentar doang udah sakit lagi.” ujarnya berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan itu tahu betul yang diucapkan oleh Gaza merupakan sebuah sindiran halus. Lalu, hanya sebuah cengiran lah yang mampu Ran tunjukkan untuk menjawab laki-laki di sebelahnya itu.

Ran menerima paper bag pemberian Gaza dengan ragu-ragu. Waktu melihat ke dalam isinya, Ran sempat membulatkan matanya. Dan beralih untuk melihat ke arah wajah Gaza dengan tatapan tidak percaya. Sebetulnya, ada sedikit rasa tidak enak dalam perasaannya karena laki-laki itu kerap kali memberikan beberapa barang yang sama sekali tidak Ran minta. Perempuan itu sudah sering kali memberitahunya agar tidak membuang-buang uang hanya untuk seorang wanita, kecuali ibunya. Tetapi, yang namanya Gaza, begitulah keras kepala.

Seakan bisa membaca air muka miliknya, laki-laki itu mengeluarkan suaranya lagi, “Jangan merasa gak enak, gue kebetulan waktu itu mampir ke Ace buat beliin kado mobil-mobilan buat sepupu gue. Terus tiba tiba ngeliat boneka Sylvanian yang lo pernah ceritain itu.”

“Gue ganti, deh, sama barang juga soalnya empat ratus ribu tuh mahal banget tau.”

Lagi-lagi orang itu tersenyum sampai-sampai matanya membentuk seperti bulan sabit. Tangan kirinya tergerak untuk mengusap kepala Ran, “Dibilangin juga enggak perlu, Ran.”

“Gak apa-apa Gaza ini, gue aja yang mau ngasih.”

“Ya udah, deh.” jawab orang itu dengan nada pasrah.

“Ran abis ini sembuh ya, besok-besok jangan sakit lagi. Kalau sakit lagi nanti aku kasih hadiah lagi, loh.” guraunya dan langsung mendapatkan pukulan kecil di lengannya, “Gak usah kasih-kasih hadiah mulu. Ntar gue juga yang rugi bandar harus ngasih hadiah mulu ke lo. Masa lo doang yang terus-terusan ngasih hadiah — ”

“Nanti apa kata dunia?” Gaza langsung memotong ucapan perempuan itu sambil mengeluarkan ekspresi malasnya, “Gue tau lo mau bilang itu. Sudahi perdebatan ini, mending sekarang makan aja. Nanti, telat nilai lo dapet diskon lima puluh persen, emang mau?”

Laki-laki itu lalu membuka kotak makan yang berada di tangannya. Ia juga mengambil sebuah sendok yang terletak terpisah di dalam kotak kecil. Gaza mengarahkan sendok yang berisi bubur tersebut ke arah mulut perempuan di sebelahnya sembari mengisyaratkan perempuan itu untuk membuka mulutnya. “Eh, aku bisa makan sendiri.”

“Aku emang mau nyuapin kamu. Soalnya kamu kalau makan lama. Nanti, malah telat yang ada — ”

“Mau didiskon lima puluh persen nilainya.” sambung Ran.

Setelah mendengar itu, keduanya langsung tertawa lepas.

“Gak mau, ah! Aku bisa makan sendiri.”

“Aku mau nyuapin!”

“Aku enggak mau!”

“Tapi, aku mau!”

Karena jarum jam selalu barjalan maju dan tidak akan pernah bisa berhenti atau mundur, akhirnya mau-tidak-mau perempuan itu mengalah. Berdebat dengan Gaza tidak akan ada habisnya. Selalu saja memakan waktu yang lama, lagi-lagi karena orang itu terkadang keras kepala. Dan hanya membuat otot-otot mulutnya lelah dan kaku. Namun, terkadang beradu mulut dengan Gaza cukup mengasikkan, dengan ketentuan tidak membawa topik yang serius. Mental Ran selalu jiper duluan jika sudah berdebat dengan topik yang serius bersama laki-laki itu.

“Terus kamu enggak makan?”

“Nanti aja di kelas. Soalnya kelas pertama aku mulainya setengah sembilan.” laki-laki itu menjawabnya dengan enteng sambil mengedikkan bahunya dan menyuapkan bubur lagi kepada Ran. “Masih lama dong berarti?”

“Enggak, bentaran doang. Cuman nunggu tiga puluh menit mah gak ada apa-apanya.”

“Itu lamaaa!”

“Gak lama kok, sayang.” timpalnya sambil mencium pipi perempuan itu sekilas. “Ya ampun pacar aku cerewet banget, deh.”

Setelah itu tidak ada percakapan lagi yang keluar dari mulut keduanya. Gaza sibuk menyuapkan bubur untuk Ran sampai habis. Sementara itu, Ran sibuk mengatur detak jantungnya yang tidak karuan ditambah lagi sensasi geli dari kupu-kupu yang membludak untuk beterbangan di dalam perutnya.

--

--