Berkelana dan Berkenalan

Asa.
7 min readFeb 28, 2022

--

Lapangan parkir tampak begitu lenggang kala waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Hanya tersisa beberapa motor milik para siswa yang terparkir dengan rapi, juga sepasang insan yang sedang bercakap sambil menatap.

“Udah siap belum?” tanya Jay masih terduduk di atas sepeda motornya sambil memainkan kunci dengan gantungan miniatur rokok.

Mata Jungwon memicing. Menatap yang lebih tua dengan penuh kebingungan. “Siap? Kemana?”

“Ketemu orang-orang penting dan berjasa dalam hidup aku.”

Jungwon memutar matanya malas lalu bersiap untuk naik ke atas motor begitu memastikan bahwa helmnya telah terkait dengan sempurna. “Gayamu kaya presiden aja.”

“Loh? Serius, sayang.”

“Kalo bohong, aku pukul.”

Jay tertawa kecil, “Iya. Tapi kalo bener dapet cium ya?”

Jungwon dapat merasakan pipinya yang menghangat. Sial, mereka sudah bersama untuk waktu yang cukup lama tapi mengapa Ia masih saja salah tingkah begini ketika digoda oleh Jay?

“Males.” Telapak tangan kecil Jungwon menepuk bahu Jay pelan. Sebuah gestur perintah kepada sang pemilik dari motor hitam yang sedang mereka duduki itu agar segera meninggalkan lapangan parkir.

Jay menutup kaca helmnya lalu melirik si manis yang duduk tepat dibelakang melalui kaca spion. “Peluknya mana, sayang?”

“Yang erat!” Perintah Jay begitu lengan Jungwon telah melingkar pada pinggangnya dengan sempurna. Dibalik helm masing-masing, sepasang pemuda tersebut tersenyum dengan indah.

Jika boleh dikatakan, Jungwon merupakan salah satu variabel penentu dari segala perubahan yang terjadi dihidup pemuda bermarga Park tersebut. Sebelumnya, jangankan untuk mampu bertahan di sekolah hingga pukul lima sore, hadirnya tercatat dalam buku absensi saja sudah merupakan suatu keajaiban.

Bagi Jay; alasan pergi ke sekolah untuk mencari ilmu adalah nomor dua, karena yang utama akan selalu untuk memeta senyum manis Jungwon dalam ingatan. Lebih tepatnya, Jungwon akan selalu berada dalam urutan teratas yang menjadi dasar segala tindakan yang lebih tua.

Contoh kecilnya; ketika Ia malas belajar untuk mengikuti Ujian Nasional maka hanya dengan mengingat kalimat sakti dari Jungwon — ‘Kalo kamu ga lulus UN nanti papa ga izinin kita nikah loh, kak.’ — saja sudah berhasil membuat Jay tetap terjaga hingga pukul tiga pagi untuk belajar.

Atau mungkin ketika kopi yang selalu mengisi cangkirnya telah tergantikan dengan susu, dan sebatang tembakau yang kerap terselip diantara bilah bibirnya telah berubah menjadi permen Chupa Chups. ‘Kopi rokok terus, mau kena sakit jantung apa? Pelan-pelan ganti susu atau teh sama permen!’ perintah yang lebih muda, dan Jay akan menurut tanpa membatah.

Karena bagi Jay; mencintai Jungwon adalah pilihannya, dan membuat Jungwon bahagia adalah tugasnya.

“Untuk penumpang manis yang ada di belakang, kita udah sampe di pemberhentian pertama, nih.” Roda dua itu berhenti tepat di depan Warung Bi Sam. Warung berukuran sedang yang selalu menjadi tempat persinggahan Jay dan kawan-kawannya.

“Loh, kok balik lagi? Temen-temenmu baru aja pergi.”

Seorang perempuan paruh baya yang sedang menyapu halaman warung menyambut mereka. Kerutan-kerutan halus terlukis jelas kala bibirnya membentuk sebuah lengkung. Matanya menatap Jungwon dengan ramah dan sorot yang penuh akan kagum.

“Nak Jungwon? Tumben kesini lagi.”

Jungwon mengangguk dan menggamit tangan Bi Sam. Memberi salam dengan sopan. “Iya. Ikut kak Jay, Bi.”

“Bi,” lengan kanan Jay menarik pinggang Jungwon. Memeluk yang lebih kecil dengan erat secara tiba-tiba. “kenalin, calon suami aku. Cantik gak?” ujar Jay dengan penuh percaya diri. Matanya mengerling genit.

Sapu yang sedari tadi berada dalam genggaman tangan Bi Sam kini sudah bersandar pada meja warung. Wanita berusia paruh baya itu menatap sepasang pemuda dihadapannya dengan intens. “Suami-suami, sekolah itu yang bener. Biar Jungwon mau nikah sama kamu.” Bi Sam berkacak pinggang lalu menggeleng heran, “udah ini kamu sama Jungwon mau pesen apa? mie goreng?”

“Engga usah, Bi. Ini aku kesini cuma mau ngenalin Bibi sama calonku tok.” ujar Jay cengengesan sambil menggaruk tengkuk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal itu.

Bi Sam hanya tersenyum lalu menghembuskan nafas pasrah. Namun dari hati yang terdalam ada perasaan lega dan bersyukur yang berkumpul disana. Bersyukur karena akhirnya Ia bisa melihat senyum yang mengembang pada wajah Jay lagi. Bi Sam memanjatkan doanya dalam diam, berharap kejadian beberapa bulan lalu tidak akan pernah terulang lagi.

Masih jelas dalam ingatan wanita tersebut bagaimana dulu Jay mengunjunginya seorang diri saat pulang sekolah. Wajahnya kusut, matanya terlihat sangat lelah, bibirnya terbuka dan mulai bercerita dengan pandangan kosong. Heeseung pergi dan Kastara tidak baik-baik saja. Mereka tidak pernah berkumpul bersama di warung lagi. Hanya Jay yang masih sesekali datang mengunjungi Bi Sam.

“Kamu tau gak yang tadi itu siapa?” tanya Jay membuka kaca helm agar Jungwon yang sedang berada dibelakang dapat mendengar suaranya dengan jelas.

Lampu lalu lintas sedang menyala merah. Jay menurunkan satu kaki untuk menjaga keseimbangan motor. Saat ini mereka sedang menuju ke pemberhentian selanjutnya. Sebuah pemberhentian yang tidak pernah diduga oleh Jungwon sebelumnya.

“Bi Sam ‘kan?”

“Salah.”

“Terus siapa?”

“Dia itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.”

Jungwon tertawa kecil, memajukan sedikit badannya. Ingin mendengar lebih lanjut penjelasan Jay tentang Bi Sam yang memiliki jabatan sebagai Menko Bidang Perekonomian. “Kenapa gitu?”

“Dulu sebelum sama kamu, Bi Sam suka kasi amandat buat ngurangin rokok. Kata dia mending duitnya ditabung buat masa depan. Nah sekarang aku lagi nerapin itu.”

“Nerapin apa?”

“Nabung demi kamu.”

“Kan Bi Sam nyuruh nabung demi masa depan?”

“Masa depanku kan kamu.”

Jungwon tertawa kecil lalu mempererat pelukannya pada pinggang Jay. “Terus habis ini kita mau ketemu Menteri apa lagi?”

“Menteri Sosial. Terakhir aku bawa kamu ke Istana Kepresidenan. Ayo peluk lagi!”

Jay kembali menarik gas motornya begitu nyala lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Pemuda itu lupa kapan terakhir kali Ia merasa sebahagia ini. Tangan kirinya melepas stang motor lalu beralih untuk mengusap tangan yang sedang memeluk pinggangnya erat. Jemari Jungwon terasa begitu hangat. Ia sangat menyukai bagaimana jemari tersebut terasa begitu kecil dan pas dalam genggamannya. Bolehkah Jay merasa sedikit terlalu percaya diri? Namun Ia merasa bahwa segalanya yang ada dalam tubuh Jungwon memanglah tercipta untuk dirinya.

Roda motor berputar, menghantarkan mereka ke tempat tujuan selanjutnya. Gerobak Mie Ayam Mas Doel. Sebuah gerobak makanan kaki lima yang dicat dengan warna cokelat. Jungwon mengerjapkan matanya bingung selama beberapa kali. Namun Ia tetap ikut turut dan menyantap seporsi mie ayam telur dan segelas es teh. Sama seperti sebelumnya, Jay memperkenalkan Jungwon kepada Mas Doel — si pedagang — sebagai calon suaminya.

Benar. Menteri Sosial yang dimaksud Jay adalah Mas Doel. Si penjual mie ayam. “Dulu tuh Mas Doel suka kasian liat aku kepengen mie ayam tapi duit sisa dua ribu. Yaudah dikasih ngebon dulu. Baik mah si Mas Doel itu, suka bagi rokok juga. Makanya dia aku kasi jabatan sebagai Menteri Sosial.” jelasnya.

Pukul enam lebih lima belas menit. Kali ini motor hitam itu melintas memasuki komplek perumahan elit di tengah kota. Mata Jungwon mengerjap beberapa kali. Terkesima dengan pemandangan rumah mewah dan megah yang berjejer secara vertikal. Jungwon menyadari bahwa rumahnya sudah termasuk kedalam kategori rumah berukuran besar, namun kali ini puluhan rumah yang berada dalam hadapannya memiliki ukuran dua kali lebih besar.

Motor berhenti tepat di depan rumah mewah yang berdiri mendekati ujung komplek. Glory Movement Residence 247x, terukir di atas keramik yang menjadi penanda alamat dari rumah tersebut.

“Wah, inimah beneran istana presiden.” ujar Jungwon yang masih penuh kagum. Matanya menelisik masuk kedalam rumah bernomor 247x itu. Pemandangan halaman rumah yang luas dengan kolam air mancur berukuran sedang adalah hal pertama yang tertangkap oleh indera pengelihatan pemuda itu. Dilanjutkan dengan sebuah garase mobil berukuran besar, lengkap dengan dua buah mobil yang berjejer rapi. Hingga sebuah spanduk bertuliskan ‘DIJUAL’ yang terikat pada sisi pagar berhasil menghentikan kekaguman Jungwon.

“Mau masuk ke dalam?” tanya Jay yang disambut dengan tatapan penuh tanya Jungwon. “Aku ada kuncinya.” lanjut Jay dengan tangan kanan yang langsung meraba kantong jaket bagian depan, mengeluarkan sebuah kunci. Sekaligus menjawab pertanyaan Jungwon — gimana cara masuknya? — yang hanya mengapung di udara.

Jungwon kehilangan kata-kata kala kaki yang masih terbalut celana sekolah berwarna abu tersebut melangkah masuk melewati pintu kayu yang terukir mewah. Keramik marmer yang sedang Ia pijaki itu memantulkan bayangannya. Seluruh perabot dalam rumah didominasi oleh warna silver dan abu. Semakin menambah kesan mahal khas kaum borjuis. Matanya mengedar, mengabsen seluruh benda mewah yang bersemayam di dalam rumah. Mulai dari guci antik yang diletakkan di atas meja, rak kaca berisi kepingan CD 90'an, lukisan-lukisan yang melekat di dinding — yang Jungwon yakini berharga milyaran rupiah, sampai akhirnya sebuah pas foto berukuran besar yang menggantung tepat di tengah dinding berhasil mengunci atensinya.

Sebuah foto keluarga yang terlihat begitu harmonis. Lengkap dengan sang kepala keluarga, ibu, dan seorang anak laki-laki yang tersenyum lebar menghadap kamera.

Ada wajah Adit disana.

“Oh, kamu belum pernah liat papa sama mama tiri aku kan? Nah itu mereka.” jelas Jay santai sambil mendudukkan tubuhnya di atas sofa. “Sini duduk, aku mau cerita.” Jay menepuk ruang kosong disebelahnya, meminta Jungwon agar menyusulnya.

“Pacarku cantik banget.” satu kecup mendarat pada bilah bibir Jungwon begitu pemuda manis itu mendaratkan bokongnya disamping Jay. “Jadi, ini rumah keluarga papa yang baru. Adit tinggal disini.” Jay mulai bercerita, matanya memandang seisi ruangan.

“Satu bulan lalu aku beli rumah ini dari Agen Property. Katanya si pemilik rumah bangkrut, kelilit utang dan rumah ini dijual. Gede ya rumahnya? Kamu sampe terkagum-kagum dari baru masuk.” Jay mengusap pipi Jungwon yang tengah menatapnya tanpa kedip.

“Lalu… papa dan mama tiri kamu kemana?” tanya Jungwon dengan pelan

Jay menghembuskan nafasnya berat, seperti mencoba untuk melepaskan seluruh beban dalam hidupnya. “Entah, aku gak cari tau. Sekarang yang terpenting rumah ini udah jadi milikku, Ju. Bunda pasti seneng.”

Jemari Jungwon bergerak mengelus punggung Jay. Setiap harinya Jay selalu berhasil membuat Jungwon terkagum dan jatuh hati tanpa henti. Jay merebahkan tubuhnya di atas sofa, menjadikan paha Jungwon sebagai bantalan kepalanya. Netra Jay memeta wajah kekasihnya. Jungwon tampak seratus kali lebih cantik dari bawah sini. “Jungwon, aku sayang kamu. Makasih buat semuanya, ya? I’m so lucky that i have you.

Tidak. Jay tidak berbohong ketika mengucapkan bahwa dirinya sangat beruntung karena memiliki Jungwon. Jika Ia harus menukarkan seluruh hal yang Ia miliki, bahkan nyawanya sekalipun untuk membuat Jungwon bahagia, maka tanpa ragu Ia akan melakukan hal itu. Jay sangat mencintai Jungwon. Jay ingin seluruh dunia tahu bahwa pemuda manis bernama Yang Jungwon adalah miliknya.

Itulah alasan dibalik kegiatan randomnya hari ini. Memperkenalkan Jungwon kepada seluruh dunia. Mulai dari penghuni instagram, Bi Sam, Mas Doel si penjual mie ayam, hingga rumah mewah yang memang Ia beli untuk masa depan mereka nanti. Rumah mewah yang memiliki tetesan keringat Athalia Basaghita — wanita cantik yang Ia panggil dengan sebutan bunda — sebagai pondasinya.

“Ju, nanti kita menua bersama disini ya?”

Jungwon tersenyum manis lalu mendaratkan sebuah kecupan singkat tepat pada dahi Jay. Pemuda tersebut mengangguk. Menerima penawaran Jay untuk menua bersama.

Hari itu dunia menjadi saksi dari sepasang remaja yang mengikat janji untuk menua bersama hingga mati. Segalanya telah disiapkan oleh yang lebih tua. Maka ketika Yang Hyunbin memberi pertanyaan; “Kamu punya apa berani lamar anak saya?”

Maka dengan tanpa ragu Jay akan menjawab; Segalanya.

--

--